Akankah "Lagu Lama" Terdengar Lagi di Bumi Parahyangan?
Gambar
dari www.facebook.com/ponjawabarat
Pekan Olahraga Nasional (PON)XIX yang akan dihelat di Jawa
Barat tinggal dalam hitungan hari. Tak kurang dari seminggu lebih, 34 provinsi
di Indonesia akan unjuk kebolehan dalam 44 cabang olahraga di 68 arena yang tersebar di 16 kabupaten/kota
di Jawa Barat, terhitung sejak 17-29 September nanti. Pertanyaan kini, apakah setiap daerah sudah
siap “berpesta” merebut medali? Sudah siapkah tuan rumah menjamu dan menyelenggarakan
pesta tersebut? Akankah pesta itu bakal meninggalkan faedah bagi setiap
peserta?
Laporan di halaman depan harian Kompas, Senin 5 September kemarin mengguratkan kecemasan. Betapa
tidak, tuan rumah masih berpacu dengan waktu menyelesaikan pembangunan sejumlah
arena, melengkapi sejumlah fasilitas dan memenuhi peralatan yang dibutuhkan.
Baru persiapan cabang angkat besi/angkat berat, balap sepeda
dan tenis meja yang mendekati 100 persen. Selebihnya masih berkutat dengan aneka kekurangan di sana sini. Tribun
penonton, sarana penerangan (listrik), penyempurnaan kolam untuk cabang polo
air yang akan dihelat di Kompleks Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung
masih dikebut. Persiapan fasilitas cabang
ini terbilang paling lambat, dengan tingkat kekurangan paling tinggi.
Pengeringan trek atletik dan pagar pembatas tribun penonton
untuk cabang sepak bola di Stadion Patriot Chandrabaga sedang dikejar. Cabang
bulu tangkis: karpet arena, pendingin ruangan dan ruang medis belum siap.
Sementara peralatan cabang atletik-dijadwalkan dihelat di
Stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor- masih tertahan di pelabuhan
sehingga butuh waktu lebih dan kerja ekstra sebelum digunakan. Semua peralatan
perlu ditera ulang sesuai standar internasional. Selain itu peralatan “photo
finish” belum terpasang. Saluran kabel masih terlihat mengganggu lintasan.
Selain itu, akses tol untuk mengurai kemacetan dari dan menuju
Stadion Si Jalak Harupat, baru menginjak 60-70 persen. Kondisi terkini masih
berupa tanah dan pengerasan sehingga besar kemungkinan tak akan selesai pada
waktunya.
Dalam kondisi seperti itu jelas mempengaruhi persiapan para
atlet sebelum tampil di hari H. Persiapan yang tak optimal membuat test event atau uji coba pertandingan
dan arena PON tak bisa dilakukan secara maksimal. Dampaknya, pertandingan dan
pencapaian prestasi atlet pun jadi tak optimal.
Kondisi ini jauh dari harapan untuk sebuah pesta olahraga terakbar
di tanah air. Idealnya, arena dan perlengkapan pertandingan sudah siap beberapa
bulan sebelumnya agar bisa digunakan untuk uji coba. Selain mempengaruhi pencapaian
prestasi atlet, test event penting untuk mendapatkan gambaran jelas terkait
kondisi arena dan jalannya pertandingan.Bila ditemukan kekurangan, kerusakan
atau kelemahan bisa segera dibenahi. Bila sampai tak dilakukan uji coba atau
tes arena, ataupaun dilakukan namun tak maksimal, maka tugas penting
penyelenggara adalah benar-benar memastikan tak akan ada gangguan saat hari
perlombaan tiba. Dalam situasi terjepit seperti ini apakah penyelenggara
sanggup memikul tanggung jawab ganda?
Persiapan
Stadion Patriot Jelang PON XIX Jawa Barat. Pekerja merapikan rumput Stadion
Patriot Candrabhaga di Bekasi, Jabar, Kamis (1/9/2016). Stadion Patriot
Candrabhaga dengan kapasitas 30 ribu penonton itu menjadi tempat pertandingan
sepak bola pada PON kali ini. Gambar dan keterangan gambar ANTARA /Wahyu Putro
A.
Lagu lama
Kita tentu menyayangkan persiapan terburu-buru seperti ini. Padahal
tuan rumah PON 2016 sudah ditetapkan sejak enam tahun silam, atau tahun 2010
lalu. Apakah rentang waktu persiapan tersebut terlalu singkat untuk perbaikan
dan pembangunan arena serta persiapan peralatan pertandingan?
Masih dari sumber yang sama, Menteri Pemuda dan Olahraga,
Imam Nahrawi mengaku molornya persiapan terkendala pencairan anggaran. Diketahui
anggaran pembangunan sembilan arena baru dari 68 arena yang dibutuhkan, perlengkapan serta
sarana pendukung-di antaranya jalan menuju arena sebesar Rp700 miliar-menelan
anggaran sebesar Rp2,3 triliun. Sebanyak 14 persen dari total anggaran tersebut
berasal dari pemerintah pusat dan Provinsi Jawa Barat, sementara selebihnya
dari swasta.
Pertanyaan, apa sebab anggaran terlambat dicairkan? Apakah
anggaran tersebut terlalu sedikit untuk 44 cabang olahraga yang diikuti oleh
lebih dari delapan ribu atlet dari seluruh nusantara? Atau, sedemikian rumitkah
birokrasi pemerintah kita? Jangan-jangan ada persoalan terkait koordinasi dan
kerja sama antarpihak?
Dengan tanpa perlu menyelisik lebih dalam, kenyataan seperti
ini mudah membawa kita pada ingatan umum.
Bukan baru pertama hal seperti itu terjadi. Sudah menjadi rahasia umum
persiapan pertandingan event olahraga dalam negeri selalu dikejar waktu.
Di sisi lain, kondisi seperti itu mudah mengantar kita ke
sejumlah kasus korupsi pembangunan infrastruktur olahraga yang terjadi silih
berganti. Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON)
Hambalang adalahi salah satu saksi bisu proyek negara yang mangkrak karena dana
negara dikorupsi Rp464,6 miliar. Kasus itu melibatkan mantan Menteri Pemuda dan
Olahraga Andi Mallarangeng, eks Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum,
serta Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras Machfud Suroso.
Presiden RI Joko Widodo meninjau langsung lokasi proyek
pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit
Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (18/3/2016). Foto dan keterangan foto KOMPAS.com
/ RAMDHAN TRIYADI BEMPAH
Selain itu, pembangunan wisma atlet SEA Games 2011 di
Palembang, Sumatera Selatan yang menyeret mantan Sekretaris Menpora Wafid
Muharram dan eks Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazzarudin.
Pembangunan arena PON Riau 2012 pun ternoda korupsi yang
melibatkan mantan Gubernur Riau Rusli Zainal dan 10 anggota DPR Riau. Terkini,
tercium dugaan korupsi pembangunan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) sebagai
salah satu venue PON Jawa Barat.
Dugaan itu tengah didalami Badan Reserse Kriminal Polri dan
telah memeriksa sekitar 80 orang termasuk saksi Gubernur Jabar Ahmad Heryawan
dan eks Wali Kota Bandung Dada Rosada.
“Kami masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara dalam
kasus korupsi GBLA atas tersangka Yayat Ahmad Sudrajat (mantan Sekretaris Dinas
Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung). Jika sudah ditemukan total kerugian
negara, berkas penyidikan segera dilimpahkan ke kejaksaan,”tandas Direktur
Tindak Pidana Korupsi barekskrim Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Wiyagus (Kompas, Rabu 7 September 2016, hal1.)
Bila sampai PON Jabar ternoda korupsi maka lengkaplah kisah
buruk penyelenggaraan olahraga di Indonesia. Di atas segalanya, kondisi ini mempertegas
buruknya investasi dan pembangunan olahraga di tanah air. Ketidakmerataan dan ketidaklengkapan sarana prasarana di satu
sisi, serta program pembangunan setengah hati-karena selebihnya masuk kantong
pribadi, di sisi lain.
Dalam kisah buruk seperti itu sulit kita mengharapkan prestasi
maksimal dari para atlet. Tak perlu kita menaruh harapan tinggi pada terciptanya
rekor-rekor mencengangkan. Sehingga perhelatan seperti itu tak lebih dari
rutinitas belaka.
Program olahraga yang tak berkesinambungan membuat arena
olahraga pun mubazir setelah event digelar
seperti yang kini terjadi di arena cabang menembak dan stadion utama bekas PON
Riau. Proyek yang dikorupsi diperparah dengan pemeliharaan serta penggunaan yang
tak berkesinambungan sehingga anggaran Rp40 miliar untuk arena menembak dan
Rp1,18 triliun untuk stadion utama, menguap sia-sia.
Kondisi stadion utama PON Riau sangat memprihatinkan/ MI/
Bagus H Pratomo.
Bila kondisi seperti ini tak segera diperbaiki maka peluang
berulangnya lagu lama di tempat-tempat pesta olahraga yang baru berpeluang
terjadi. Karena itu sejumlah langkah penting sekiranya perlu diambil.
Selain regulasi yang jelas dan aparatus yang kredibel, road
map pembangunan olahraga Indonesia perlu disusun secara jelas. Target yang
dicapai perlu didukung dengan langkah-langkah strategis yang terukur sehingga
mudah dievaluasi. Dalam kaitan dengan PON perlu dipikirkan matang-matang jumlah cabang olahraga yang dipertandingkan.
Hal tersebut penting untuk menjamin kesinambungan prestasi
dan penggunaan sarana yang telah dibangun. Jangan sampai cabang olahraga dengan
mudah diperbanyak atau diubah-ubah di setiap penyelenggaraan PON dengan tanpa
memperhitungkan jenjang prestasi, animo pembinaan dan keberlanjutan fungsi fasilitas.
Alangkah baik cabang olahraga yang dipertandingkan mengikuti
atau tak berlebihan dari yang dipertandingkan di Olimpiade yang merupakan
kiblat prestasi setiap atlet dunia. Acuan tersebut mempermudah setiap daerah membuat
persiapan, baik untuk jenjang regenerasi, kelengkapan sarana-prasarana serta
kebijakan dan regulasi yang jelas.
Bila tidak dilakukan secara terencana dan terukur maka
perkembangan olahraga di tanah air akan tetap jalan di tempat. Penyelenggaraan setiap
PON tak lebih dari ritus tanpa makna karena tak lebih dari hura-hura mengejar
bonus sesaat dan nama besar semu, dan laku olahraga yang menjemukkan karena
selalu memperdengarkan lagu lama: jual beli pemain, korupsi, dan mubazir .
Akankah "lagu lama" itu terdengar lagi di Bumi Parahyangan?
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, Rabu 8 September 2016.
Comments
Post a Comment