Mengabadikan yang Retak di Tawangmangu

Jembatan yang disebut jembatan persahabatan rumah atsiri. Hemat saya, jembatan ini memperlihatkan sentuhan berkelas Ir.Soekarno, sebagai salah satu arsitek handal sekaligus visinya yang lintas waktu. Melalui jembatan itu kita dihubungkan dengan masa lalu dan masa depan dan diharapkan untuk mengakrabinya seperti sahabat. Sumber gambar www.fb.com/rumahatsiri.


pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada
apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
(Kwatrin Tentang Sebuah Poci-Goenawan Mohamad)

Salah satu tempat yang membuat kita tak pernah kehilangan masa lalu adalah museum. Bicara tentang museum tak lain bicara tentang kenangan. Museum adalah rumah kenangan. Di sana berbagai hal masa silam hadir kembali, dipelihara dan diawetkan.

Kisah, cerita, gambar, hingga potongan peninggalan masa lalu dalam berbagai bentuk dan jenis dirawat. Dengan keterbatasan memori atau daya ingat, museum membantu manusia merujuk kembali pada yang telah lalu, sesuatu yang telah pergi, bahkan jauh dan sangat jauh di masa lampau.

Walau kadang tak utuh, setidaknya di museum jejak masa lalu tak hilang sama sekali. Melalui museum itu pula kita bisa melihat saat ini, dan memproyeksi masa depan. Museum menjadi penghubung antara masa lalu, kini dan masa yang akan datang. Karena itu, untuk satu dari sekian banyak alasan, berbagai rupa dan bentuk museum didirikan, dijaga dan tak pernah kehabisan pengunjung.

Usaha menegakan kembali sisa-sisa kejayaan masa lalu di Kelurahan Plumbon, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah adalah dalam rangka tersebut. Walau kini dan kelak akan bergati rupa menjadi sebuah museum, setidaknya di tempat itu, kita bisa menghadirkan kembali kenangan akan proyek mercusuar sang pendiri bangsa, Ir.Soekarno. Bahwa pada tahun 1963 pernah berdiri sebuah pabrik minyak atsiri terbesar di Asia Tenggara.

Pak Sukir, mantan pekerja di barik tersebut yang kini menjadi saksi hidup bertutur, “Saya mulai bekerja di Citronella tahun 1964, sedangkan pabrik itu sendiri dibangun mulai tahun 1963. Besi dibawa dari Bulgaria, sedangkan semen pada awalnya juga mau bawa dari Bulgaria, tetapi tidak jadi, karena semen Indonesia lebih bagus dibanding semen sana. Mulai dari galian tanah sampai bangunan itu berdiri saya melihatnya. Beberapa tenaga ahli dari Bulgaria dulu didatangkan ke sini untuk mengerjakan proyek ini, ada insinyur dan juga ahli mesin.” (dikutip dari www.fb.com/rumahatsiri)

Walau saya tak melihat secara langsung, dari penuturan Sukir di atas dan sisa-sisa kecil masa lalu yang terekam dalam gambar dan dipubliksikan di jejaring sosial ww.fb.com/rumahatsirisedikit menyingkap kemasyuran masa silam itu. Potongan gedung kokoh dari material batu dan semen terpilih yang didesain dengan sentuhan seni arsitektural khas (ala Soekarno) serta tong-tong raksasa kukuh (dari besi??)-sebagian dari rangkaian peralatan yang katanya sudah tidak ada lagi-adalah sedikit dari mozaik kebesaran masa jaya pabrik tersebut.

Kemudian, sisa-sisa tersebut coba dipertahankan, walau pada titik tertentu terpaksa dialifungsikan seperti di ruang peralatan (yang tinggal kenangan) yang disulap menjadi ruang penyajian pengetahuan tentang sejarah atsiri dan sebagainya.

Mengabadikan yang retak
Tempat ini pun hadir dengan wajah baru namun tetap tak kehilangan esensi sebagai ruang merawat kenangan. Namun, hemat saya, merawat kenangan saja tidak cukup. Kita tak bisa hanya memerangkap kejayaan masa silam. Pun sekadar berbangga dengan pencapaian masa lalu.

Kehadiran taman berbagai jenis tanaman yang bisa disuling menjadi minyak atsiri, laboratorium anak (KidsLab) dan berbagai peruntukan adalah dalam rangka menghindari perangkat romantisme sejarah. Menjadikan termpat tersebut tak sekadar objek mati tanpa potensi setidaknya mengarahkan kita pada sejumlah tujuan penting.

Pada titik ini, keberadaan sebuah museum bernilai lebih. Bila kini, saat berkunjung ke Auschwitz, sekitar 60 km barat daya Krakow, ibu kota Polandia, kita akan menemukan tiga kamp utama dan sekitar 40-50 sub-kamp, tempat ribuan bahkan jutaan orang Yahudi meregang nyawa karena kekejaman Nazi Jerman.

Tempat yang kemudian diawetkan dan ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 1979 itu menjadi pengingat bahwa segala bentuk kekejaman apalagi hingga menghilangkan nyawa manusia adalah praktik biadab. Maka setiap kali kita memandang ke sana, kita mengingat pesan moral nan penting tersebut.

Demikianpun dalam arti berbeda, keberadaan Museum Atsiri adalah ruang kita mendapatkan inspirasi dan energi untuk masa kini dan masa depan. Dari Tawangmangu itu kita merangkai kembali serba kemungkinan yang bisa jadi membawa kita lagi ke masa lalu yang jaya itu.

Hal yang saya utarakan di atas tampaknya bukan isapan jempol belaka. Minyak atsiri atau minyak eteris (aetheric oil) secara potensial ada di bumi nusantara. Berasal dari ekstrak bunga, biji, daun, kulit batang, kayu dan akar tumbuh-tumbuhan, sumber minyat ini tentu tak sulit ditemukan.

Potensi pemanfaatannya pun setali tiga uang. Kegunaannya, di antaranya bahan dasar obat dan kosmetik, berpelukan dengan tingkat dan tren kebutuhan akan produk nabati yang meningkat. Saat ini dunia berpaling lagi pada sejumlah komoditas yang merana dan mulai hilang di dalam negeri seperti rempah-rempah (asam jawa, kayu manis, pinang, panili, pala, lada, dan lain-lain).
Dan itu artinya dunia sedang  menatap sumber-sumber penghasil cairan lembut esensial yang dalam bahasa Latin disebut aether (Inggris: upper air atau pure air) atau aither (Inggris: to glow) dalam bahasa Yunani itu.

Bahkan dari kisah Yusuf Elton Porwayla, salah satu pembuat minyak atsiri di Hukurila, Kecamatan Leitimur Selatan, Ambon, Maluku tergambar bahwa permintaan itu sudah ada sejak lama.  Seperti dilaporkan Detik.com, Senin, 25 Maret 2013, sumber minyak atsiri yang diekstrak  Yusuf dari tanaman kayu putih, batang cengkeh (fuli) dan biji pala itu laris manis.

"Tidak sulit untuk memasarkan minyak atsiri. Jumlah minyak atsiri yang saya produksi selalu habis, bahkan belum bisa memenuhi permintaan pembeli. Akibatnya, sejumlah permintaan terpaksa ditolak," tuturnya.

Secara ekonomis pun menjanjikan. Yusuf menjual satu liter minyak pala sampai Rp 800.000, minyak cengkeh Rp 115.000 dan minyak kayu putih Rp 150.000 per liter. Pendapatan bersih Yusuf dari membuat minyak atsiri pun bisa mencapai Rp 8 juta sampai Rp 11 juta per bulan. Dengan harga setinggi itu, tak heran minyak atsiri pun disebut sebagai emas hijau.

Di Yogyakarta dari pemberitaan Detik.com, Selasa, 8 Juni 2010, minyak atsiri menjadi primadona untuk Pendapatan Asli Daerah. Dengan kehadiran pablrik pengolahan minyak kayu putih di Gunung Kidul, jumlah produksi disinyalir meningkat dari tahun ke tahun.

“Dari 40 ribu liter produksi minyak atsiri tahun 2009, target produksi meningkat menjadi 43.260 liter tahun 2010 dan akan mencapai 49.115 liter pada tahun 2014. Perhitungan pendapatan pun meningkat dari Rp 4,46 miliar tahun 2010 menjadi Rp 5,75 miliar pada lima tahun mendatang.”

Saat ini, di sejumlah negara, kebutuhan bumbu dapur, berikut makanan yang natural dan bersih kian meningkat (Kompas, Kamis 26 Mei 2016, hal.17). Pergeseran pola hidup di perkotaan yang selaras lingkungan mendorong orang untuk mengkonsumsi bahan-bahan antioksidan yang diyakini  banyak terdapat dalam rempah-rempah itu.

Selain sebagai bahan antioksidan, dari sejumlah riset yang dilakukan di negara maju ditemukan banyak khasiat baru dari rempah di antaranya antikanker, menekan kegemukan dan antimikrobial.
  
Kedua, patut diakui tingginya tingkat permintaan itu tak dibarengi dengan langkah maju seperti yang sudah dilakukan negara-negara maju. Kita masih terperangkap pada cerita turun-temurun atau terperangkap pada mitos, sementara negara-negara maju sudah melakukan penelitian dengan hasil temuan yang menggiurkan baik secara ekonomis, maupun kemanfaatan lainnya.

Bahkan para pembuat dan penjual minyak atsiri seperti Yusuf di atas tak terlalu pahmam tentang pemanfaatannya. Ia hanya tahu bahwa ada permintaan tinggi yang mengalir ke mancanegara, seperti Singapura.

Kisah yang sama tertulis di halaman depan Kompas, Selasa 24 Maret 2016. Beberapa petani di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan beberapa daerah lain, tidak pernah tahu manfaat komoditas pinang, kemenyan, gambir, pala, cendana dan sebagainya.

“Meraka hanya mengetahui komoditas itu dijual ke pengepul dan kemudian baru diekspor ke Singapura dan negara lainnya.”

Menurut Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk Putri K Wardani, mengutip sumber tersebut, “banyak bahan baku kosmetik berasal dari tanaman di Indonesia, tetapi pengolahannya menjadi bahan penolong terjadi di luar negeri. Setelah itu, pengusaha baru mengimpor dari beberapa negara.”

Hal yang sama terjadi juga pada obat herbal. Walau menunjukkan tren penurunan, dari data Kompas, untuk kebutuhan obat herbal kita masih mengimpor jahe (6.308 ton pada 2013 dan 1.007 ton pada Januari-Juni 2014), temulawak (249 ton pada 2013 dan 170 ton pada Januari-Juni 2014), dan rempah-rempah lainnya (634 ton pada 2013 dan 334 ton pada Januari-Juni 2014) dari luar negeri. Per Januari-Juni 2014, Tiongkok masih menjadi sumber utama impor obat herbal (51,5 persen), India (17,8 persen), Nigeria (8,7 persen), Turki (5,2 persen), Belanda (5,2 persen), Jerman (2,7 persen), Vietnam (2,4 persen) dan Pakistan (1,7 persen).

Hal ini tentu disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya riset komoditas dalam negeri yang tak berjalan, minimnya dukungan dana pemerintah, ketertutupan dari para pelaku usaha dan masih banyak lagi.

Intinya, bila hal ini tak segera dicarikan solusi, maka bukan hanya menjadi penonton di blantika bisnis dan industri komoditas yang kian menggiurkan, berbagai komoditas yang kini diburu asing itu menjadi semakin langka. Pada suatu waktu bakal punah seperti yang mulai terjadi pada getah kemenyan. Di Prancis minyaknya (setelah disuling) digunakan sebagai pengikat parfum supaya awet di badan, di Jerman getahnya dijadikan pengawet obat, dan ampasnya sebagai pewangi dupa di Tiongkok dan India.

Pada titik tertentu, keberadaan museum Atsiri adalah salah satu bentuk usaha untuk menghidupkan bahkan menggalakan kembali potensi minyak atsiri dalam negeri.

Keberadaan laboratorium anak, dan berbagai ikhtiar pendidikan dan keilmuan lain di museum tersebut, adalah jalan pulang untuk kembali pada kekayaan bangsa. Selain mengawetkan kekayaan itu, langkah ilmiah perlu serius dilakukan.

Belajar dari negara-negara maju yang sudah galakan penelitian terhadap komoditas rempah, penelitian lanjutan terhadap kekayaan minyak atsiri tersebut perlu mulai dilakukan secara intensif. Arah angin pola hidup dunia yang sudah mulai terlihat di atas perlu dibaca sebagai peluang agar jangan sampai nasib minyak atsiri seperti aneka komoditas yang dahulu sangat potensial dan menjadi primadona bangsa-bangsa hingga menjadikan nusantara sebagai negara jajahan, seperti rempah-rempah, juga kelapa.

Dari kisah rempah-rempah kita belajar tentang pentingnya riset. Bahkan kini negara maju, yang sudah menemukan bahan aktif di dalam rempah, sedang mencari cara memproduksi bahan aktif secara massal di antaranya melalui pembiakan mikrobia. Dampaknya, kemasyuran rempah kembali melambung dan bila tak segera dikejar akan mengancam Indonesia karena mereka akan berpesta pora menikmati hasil dari tanaman yang hidup di bumi pertiwi.

Sementara dari kelapa kita dibangunkan dari mimpi. Lama tidak diperhatikan, tiba-tiba permintaan pasar kelapa baik air maupun daging meningkat karena sangat bermanfaat untuk kesehatan, namun apa daya peluang emas di depan mata tak kita tangkap maksimal karena kelapa sudah lama merana di Tanah Air.Karena itu, bangunan yang kini tegak di Tawangmangu itu tidak hanya mengingatkan tetapi juga berdaya menggerakan.

Bila mengingat masa lalu sang kekasih, sang penyair Goenawan Mohammad bisa memandang sebuah poci keramik, prasasti minyak atsiri (dan kekayaan komoditas) kita kini ada di Tawangmangu. Namun, seperti poci itu, yang bisa retak dan pecah, maka terhadap Tawangmangu yang bisa dilupakan atau dianggap sebagai proyek mercusuar tanpa makna, atau obyek wisata belaka, pun ilusi saja (seperti pada goresan tahun 1973 itu), maka tugas kita kini adalah “membikinnya abadi”.

Selamat datang di Tawangmangu.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 23 Juli 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing