LOIS !


(Cerpen Atel. Lewokeda)

Hari baru pukul empat dini hari. Lois beranjak meninggalkan rumahnya tepat beduk bertalu. Pagi di dusun msih terlalu sunyi. Hanya terdengar kokok jago dari bukit. Para petani masih lelap di atas dipan tua. Pedagang-pedangan sayur baru mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk dijual pagi itu. Dalam pagi yang masih remang-remang saat tetes embun masih ingin membasahi daun kamboja di samping rumah dengan siraman yang paling mesra, Lois meninggalkan halaman rumahnya. Dua keranjang yang dijinjin tidak terlalu berat namun keduanya berisi penuh dengan barang-barang dagangan.
Matahari belum terlalu memuncak ketika langkah Lois kian pelan, menyusuri lorong-lorang yang mulai ramai. “Kerupuk…,kerupuk.., kerupuk.,” teriak Lois untuk menjual barang dagangannya. Satu per satu orang mulai mendekati Lois untuk melihat barang yang dibawanya. “Yang sedang ini dua ribu lima ratus, sedangkan yang besar ini lima ribu per bungkus”, jawab Lois terhadap beberapa calon pembeli yang berdiri tepat di hadapannya. Matahari Kota Renha yang membakar tubuhnya tak dipedulikan.
Kadang Lois harus berjalan lama, berjam-jam agar kerupuk dagangannya bisa habis terjual. Dengan telapak kaki tak beralas, Lois tak jenuh-jenuhnya menjajakan kerupuk dagangannya. Lorong-lorong sepanjang Kota Renha tidak lagi menjadi asing. Nama-nama lorong dihafalnya dengan baik walau dia hanya seorang tamatan sekolah dasar. Bertemankan terik mentari dan gelombang angin yang tak pernah bosan menyentuh seluruh tubuhnya Lois kadang harus pulang ke rumah pada siang hari menjelang lonceng gereja berdentang. Lois selalu riang ketika kacang-kacangnya habis terjual. Kadang dia berlari-lari kecil biar lebih cepat sampai di rumah. Di rumah, ibundanya selalu setia menunggu kapulangan anak sematang wayangnya. Sebenarnya Lois memiliki dua saudari, tapi keduanya harus lebih dulu menghadap Tuhan bersama ayah mereka karena bencana tsunami yang mengguncang ujung timur pulau Flores tahun 1992 silam. Waktu itu Lois baru berumur lima bulan.
Seminggu kemudian setelah ia resmi mendeklamasikan dirinya sebagai seorang pedagang kerupuk, di suatu pagi, Lois merasakan hawa dingin yang datang menjemput kurang bersahabat. Di rumah, ibundanya tidak sesegar hari-hari sebelumnya karena demam yang menimpanya semalam. Lorong-lorong kota yang biasa dilalui Lois terasa begitu sepi. Orang tidak seperti biasanya berdatangan untuk membeli barang jualannya. Ia terus berjalan melewati lorong-lorong, hingga lorong yang terakhir. Tubuhnya kian bermandikan keringat. Baju putih yang mulai usang terlihat basah. Sementara matahari hampir tiba di puncak siang, Lois masih membawa barang-barangnya yang belum habis terjual. Dalam kekalutan hati dan bayangan wajah ibunya yang sedang terbaring lesuh di rumah, Lois memutuskan untuk kembali ke rumah melewati jalan negara. Ia ingin segera tiba di rumah menemui ibundanya. Di apotek dekat pasar baru ia sempatkan diri membeli obat secukupnya untuk ibundanya. Kesempatan terakhir untuk bisa menjual barang dagangannya adalah di jalan umum saat lampu jalan menunjukkan larangan untuk lewat. “Kerupuk.., kerupuk.., kerupuk..,” teriak Lois dengan nada lesuh. Tepat di depan mobil kijang terakhir, ia mendengar ada suara yang memanggilnya. Dengan langkah sedikit semangat ia mendekati suara yang memanggilnya. Setelah terjadi sedikit perbincangan, dengan nada sedikit memelas terdengar suara Lois, “Semuanya ini dua puluh lima ribu rupiah, tapi dua puluh ribu juga saya mau”, Lois mengakhiri kalimatnya sembari mengeringkan keringat di wajahnya. Sungguh di luar dugaan Lois menerima selembar uang lima puluh ribu rupiah. Usai mengucapkan terima kasih, Lois langsung mengambil langkah seribu menuju rumah melewati jalan terdekat. Si pembeli hanya memandang dengan kagum sambil membayangkan betapa besarnya kebahagiaan yang sedang dialami bocah yang belum dikenal itu.
*****
Suasana pameran begitu ramai. Ada panggung untuk bunga-bunga. Di ujung selatan terdapat panggung khusus untuk tenunan daerah; ada sarung, selendang dan pernak pernik tradisional lainnya. Di arah dekat pantai terdapat ukiran dan pahatan-pahatan dari kayu dengan motif yang berbeda, harganya juga berbeda-beda. Di arah tepat pintu masuk terdapat panggung yang dikhususkan untuk makanan khas daerah. Pada masing-masing panggung tampak para penjaganya masing-masing sedang menawarkan dan menjelaskan barang-barang yang sedang dipamerkan. Para tamu yang datang ke pameran itu juga berbeda-beda. Ada yang datang dengan kijang mengkilat. Tidak banyak juga yang datang dengan kendaraan beroda dua. Umumnya para tamu yang datang sekeluarga mengendarai angkutan umum. Setengah dari pengunjung yang ada datang dengan kendaraan tanpa roda alias jalan kaki.
Hari terakhir pameran ditutup dengan pengumuman juara pameran dengan barang pameran terbaik. Pemilihan pemenang ditentukan oleh para pengunjung. Masing-masing panggung selalu dipenuhi dengan para pengunjung. Setiap pengunjung di panggung makanan khas daerah selalu pulang dengan kecewa karena salah satu makanan yang dicarinya telah habis dibeli sejak hari pertama pameran dimulai. Persediaan barang yang terbatas membuat petugas di panggung makanan khas daerah harus menahan malu. Situasi ini yang membuat para petugas di panggung itu kehilangan harapan untuk meraih kemenangan dalam pameran tahun ini.
Panitia pameran sedang sibuk menyiapkan hadiah yang akan diberikan kepada masing-msing pemenang. “Syarat pertama yagn harus dipenuhi adalah permintaan yang besar dari masing-masing pengunjung pameran terhadap suatu barang yang pernah dipamerkan selama hari-hari pameran berlangsung”, ketua panitia membuka pengumuman pemenang dalam pameran kali ini. “Oleh karena itu yang berhak menjadi juara ketiga dalam pameran kali ini adalah”, ketua panitia berhenti sejenak sambil memandang ke arah pengunjung yang sempat datang, panggung Tangan Ajaib, dengan ukiran dari kayu bermotif patung Mater Dolorosa.” Tepuk tangan meriah dan gemuruh kegembiraan meledak. Para petugas di panggung pengrajin kayu mengungkapkan kegembiraan mereka dengan spontan. Ada yang saling berpelukan, yang lain saling berjabatan tangan. “Selanjutnya, yang menjadi juara kedua adalah panggung Mekar Asri dengan bunga Euferbia Kuning.
Di tengah kerumunan para pengunjung pameran, Lois berusaha untuk mencari tempat yang tepat agar bisa menyaksikan pengumumam yang sedang terjadi. Hari ini Lois ada di tengah kerumunan orang tanpa barang dagangan kesayangannya. Ibundanya yang lagi sakit tidak bisa berbuat banyak untuk hari ini. Lois kebingungan karena tidak ada satu pun hal yang bisa dibuatnya, kecuali menonton orang-orang yang terus berdatangan. “Dan yang menjadi juara pertama pameran kali ini adalah”, semua peserta pameran menahan nafas untuk mendengar pemenang utama. Suasana paling sepi terasa di panggung Tite Hena. “Yang menjadi pemenang adalah panggung Tite Hena dengan kerupuk Chips Mente.” Para petugas di panggung Tite Hena hampir tidak percaya dengan hasil yang dicapai. Sementara para petugas lain saling mengucapkan proviciat, pemimpin panggung Tite Hena dengan langkah pelan dan berwibawa berjalan menuju panggung pengumuman untuk menerima hadiah utama. “Kerupuk Chips Mente yang sempat kami sertakan dalam pameran kali ini bukanlah hasil dari kami para anggota Tite Hena. Kerupuk ini milik seorang bocah yang kami beli dalam perjalan ke sini. Kami sendiri mengucapkan terima kasih banyak atas penghargaan yang diberikan kepada kelompok kami oleh panitia pameran. Yang lebih berhak untuk mendapatkan penghargaan ini adalah bocah yang sekarang ada di tengah-tengah kita.” Tangan pemimpin panggung Tite Hena menujuk ke arah Lois yang berdiri pada barisan paling depan. Jantung Lois berdetak tak beraturan. Butir-butir kecil mulai berlomba menembusi pori kecilnya. Lois sungguh gemetar ketakutan karena semua mata memandang ke arahnya. Tatapan-tatapan terasa sungguh memagut bibir hatinya dan senyum pun mulai membanjir dari seluruh pengunjung yang ada. Dari atas panggung panitia dengan nada gemetar Lois mengungkapkan bahwa kerupuk yang dijual itu adalah hasil usaha ibundanya sendiri yang sekarang sedang menahan sakit di rumah.

Jumlah uang tunai sebagai hadiah yang diperoleh telah lebih dari cukup untuk membiayai pengobatan ibundanya di rumah sakit. Lois masih tetap menjual kerupuk buatan ibundanya. Tiap pagi ia harus pergi menghantar ke pelanggan-pelanggan tetap. Sementara itu di rumah, ibundanya sibuk membantu dan mengajari para pengrajin muda yang ingin membuka usaha yang sama. Sejak saat itu Lois dan ibunya selalu tidur lebih awal dan malam selalu menjadi lebih indah dan agung buat mereka sekeluarga.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...