BUNDA

(Cerpen Atel Lewokeda)

    Ayah …!!! Ryan tersentak bangun. Seluruh tubuhnya berkeringat. Napasnya tidak teratur seakan memberi pratanda ada sesuatu yang baru terjadi. Mimpi buruk itu datang lagi. Ia menjadi sangat ketakutan karena mimpi itu terus saja datang. Ia sendiri tidak lagi bertanya kepada sang bunda tentang siapa ayahnya, sejak pertanyaan pertamanya yang dijawab ibu dengan hujan air mata. Sang ibu hanya menyampaikan bahwa ayah Ryan sudah lama pergi entah kemana.
    Senja baru saja Nampak dari layar siang. Angin seakan bersandar pada pojok langit sebagai sebuah isyarat akan datangnya sebuah petang. Hawa dingin merayap perlahan menggenangi sisi kehidupan yang akan ditelan malam. Petani sawah mulai menutup saluran sambil berharap air dapat tersebar secara merata. Para gembala mulai mengembalikan ternak piaraannya ke pelataran kandang. Dari jauh terdengar suara adjzan magrib yang terus menggema di keremangan malam itu. Ryan kembali begulat dengan tumpukan pelajaran. Di sudut kamar kecil itu, ia menulis sepucuk surat , memohon doa dari ibu untuk keberhasilan ujian yang akan dihadapinya.
    Perempuan setengah baya itu masih belum beranjak juga dari sengatan bara dan siraman asap di ruangan yang penuh jelaga itu. Demi sang putra, ia menulis dibawa redup dian yang diakhiri dengan pesan khusus seperti dulu…“doa dan kecupan bunda akan tetap menyertaimu selalu”. Perempuan itu hampir saja lupa bahwa malam hampir lelap pada dada jagat. Ia baru ke dipan usai menyelesaikan tulisan itu. Dian kecil yang makin suram itu pun akhirnya padam. Tak ada lagi suara terdengar. Kata-kata terkubur. Nyanyian nina bobo lenyap sementara. Para penghuni gubuk telah dibuai ratu mimpi. Kegelapan menjadi satu-satunya penguasa tiap cela ruangan itu.
    Di villa de ropa nan indah itu, Ryan kuyub terbawa malam sembari menantikan mimpi balasan dari sang bunda. ”Ema..Ema sayang. Ema so jalan jao lepa kita, terada kasihan lepa tora, kase ana yatim piatu, hido sendiri terada kasih ema....,” nada dering telepon genggam Ryan berbunyi. ”Ema memanggil......”. ”Kuatkan hatimu nak dan jangan takut, doa ibu tetap menyertaimu selalu. Ibu minta maaf karena tidak bisa hadir pada acara wisuda mu nanti. Dengan suara terbata-bata Ryan berusah untuk memaklumi ketidakhadiran ibunya. Usai pembicaran singkat itu Ryan mematung dan kenangan akan pelukan dan pesan sang bunda kembai mengalir dalam benaknya. Di atas pelukan itulah dia bisa menikmati kasih dan cinta seorang bunda. Di atas pesan itulah ia menyandarkan asanya untuk berjumpa dengan ibundanya yang tercinta. Saat malam mulai menjemput badan, tangan sang bunda kembali membelai buah hatinya tuk melewati sisa hari, usai menikmati hidangan yang cuma segenggam, sisa makan tadi siang. Ingatan akan kenangan itu membawa dia dalam sepenggal doanya…”Tuhan, jaga ibuku baik-baik.. Minta ampun untuk segalanya. Beri ibu berkat melimpah….”
    Dengan semangat tinggi Ryan bergegas menuju kampus sambil menggenggam kekuatan penuh untuk mengikuti ujian akhir hari itu. Seratus delapan puluh menit lamanya ia bergulat dengan beraneka pertanyaan dari profesor penguji. ”Tinggal menghitung hari, bunda akan memandang Ryan mengenakan pakaian bertoga,” kata Ryan dalam hatinya saat keluar dari ruangan ujian tersebut. Ryan akan menjadikan momen ini sebagai hadiah istimewa buat bunda tersayang. Toga dipindahkan dan butiran bening perlahan mengalir dari kedua pupilnya. Ia lulus dengan predikat sangat memuaskan. Tembang kenangan Bale Nagi, mengiringi Ryan meninggalkan kota karang, tempat ia mengemas pendidikan selama empat tahun demi masa depannya. Kampung halaman di lereng Gunung Boleng sudah lama menanti.
    Pagi yang menyapa dengan riang seakan tak menghibur hati Ryan seperti biasanya. Kehangatan pagi yang mulai menceritakan perjalanan sebuah malam yang kudus tidak mengusik Ryan untuk beranjak dari dipan tua peningagalan ibunya. Ryan masih bergulat dengan kenangan bersama bundanya yang berjalan begitu cepat sementara gerimis embun yang merobek helai mawar baru selesai menyirami bukit dan lembah. Ryan kehilangan nafas harapan ketika mulai menyaksikan daun-daun dengan perkasa menampung cahaya pertama. Suara anak-anak yang bermain layang-layang semakin menyiksa Ryan pada rindu yang tetap tak kesampaian. Ia belum sempat menyaksikan fajar yang memekarkan kuntum baru. Ia hanya menyaksikan kupu-kupu yang terbang menebar pesona di ambang jendela tanpa menyaksikan kupu-kupu kecil berwarna-warni keluar dari kepompong. Ia sampai lupa usia hidup mereka cuma sehari, tapi itu tidak mengubur kebahagian sebelum senja merenggut malam yang akan menguburkan mereka. Kehilangan bundanya serentak membunuh semangat hidup Ryan yang tinggal sejengkal. Hari-hari dilalui Ryan bertemankan kesendirian. Tanpa suara yang menyapa. Tiada kata yang menegur. Tidak ada lagi wajah yang memandang, apalagi mata yang menatap. Tenggelam dalam kesendiriannya menghantar Ryan pada permenungan tentang hidup yang harus dikembalikan.
    Sekian banyak waktu dihabiskannya dengan tatapan hampa di samping makam bunda. Kupu-kupu yang hinggap di pucuk kamboja dengan gembira menyanyikan kidung dan melantumkan puisi penghiburan. Ia percaya bunda sedang mendengar isi hatinya. Ia yakin dari kemuliaan negeri seberang bunda selalu mendampingi. Seandainya alam ini bisa melukis dan menyanyikan segala perasaan yang berkecamuk dalam kalbunya, Ryan ingin lembar-lembar kamboja ini menjadi alas kepalanya menemani bunda. Sebelum dibelai mimpi ia kembali bernyanyi, nyanyian tanpa suara pada tangan yang selalu menggores tepian sisa daun lontar. Karena tidak ada lagi tangan yang menopang lelah. Belaian yang melelapkan telah terkubur. Dekapan yang menyelimuti pergi bersama empunya. Dalam bahasa yang tak terucapkan, Ryan membiarkannya mengalir bersama deraian air mata yang kian menjelajahi pipinya. ”Bunda…Ku tulis ceritamu pada dipan tua yang beralaskan tikar daun lontar. Aku tahu tulisan ini tak akan bertahan karena akan hancur termakan usia. Tapi aku akan tetap menulis lagi, agar semua yang sempat membaca tahu bahwa aku telah kehilangan sumber cinta yang sembilan bulan memeluk jiwaku dengan rahimnya. Ada selimut yang pernah membalut kulitku….”. Hingga pada batas kesendirian ini aku akan tetap menulis dan terus menulis suara bunda tanpa wajah. Aku masih ingat nafas cintamu, bunda. Nafas yang menembusi jendela ketakberdayaanku dan melewati langit hatiku. Bahwa diriku pernah beristirahat dalam rahimmu hingga air mata tuntaskan perjuanganmu hadirkan diriku. Kini aku sungguh sendirian ibu. Aku nyaris mati di kemarau sebuah hati. Sementara sepi dan sunyi bergantian memagut kekosongan nuraniku…aku lelah mengejar kehidupan yang pecah di ujung asa. Perkenankan aku bersimpuh di tikar yang kumuh untuk mencium wajahmu yang hadir dari bayang yang telah redup. Jika Tuhan merestui, besok aku akan mengenang hari kelahiran bunda. Suara Ryan hilang di antara nyanyian malam yang menenun kata pisah bersama hari itu, sambil menyambut asa yang dalam mimpi akan hadirnya hari yang baru. ”Kupu-kupu itu” menjadi kata terakhir yang tergaris sebelum semuanya menjadi gelap.
    Keranjang anyaman dari daun lontar digunakan Ryan untuk membawa kuntum menuju makam bunda. Kembang-kembang sederhana yang dipetik Ryan di halaman rumah melepaskan wangi tersendiri bersama langkah Ryan. Di depan gerbang, matanya langsung tertuju pada gundukan tanah merah yang baru saja menjadi sebuah kubur. Di antara dinding duka dan bahagia Ryan mencurahkan segala isi hatinya. Di hadapan nisan itu, ia mencari segumpal senyum sambil berharap ibu tahu ia datang ingin mengucapkan selamat ulang tahun buatnya. Ryan menangis hingga tak ada lagi air yang bisa keluar dari kedua biji matanya. Bunda kapan lagi kita bisa berjumpa? Tertawa dan bercanda bersama. Susah dan duka datang silih berganti. Bunda, kau tak pernah mengeluh. Beban yang selalu menunggu pada tiap ketukan hari. Bunda telah jauh pergi. Tinggalkan aku seorang diri tanpa ayah dan ibu. Bunda yang tercinta, ingat anakmu yang bangun di tengah malam dan menangis. Bunda ingat anakmu yang sekarang jadi yatim piatu ini. ”Selamat Ulang Tahun Bunda”, ujar Ryan usai membaca tulisan itu. Ryan pergi membiarkan tulisan itu melayang-layang sebelum jatuh di atas potret bunda di atas pusara.
**********
Baberapa arti:
1. ”Ema..Ema sayang: ibu..ibu tercinta.
2. Ema so jalan jao lepa kita: ibu sudah jalan tinggalkan aku.
3. Terada kasiha lepa tora: tanpa kasihan tinggalkan sayaBunda


*Pernah dimuat di Pos Kupang, Minggu, 15 Februari 2009

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...