MENGENANG 70 TAHUN LEDALERO

Ledalero, bukan pilihan pertama…


Prioritas misi di era 20-an adalah mempersiapkan tenaga imam pribumi. Monsinyur Verstraelen, di tahun 1926 coba menawarkan ide itu. Suatu saat generasi baru mesti menggantikan tugas misionaris-misionaris asing yang sudah tua. Lembaga pendidikan seminari merupakan sebuah wacana yang tidak bisa tidak mengingat pendidikan iman di daerah Nusa Tenggara (Sunda Kecil, waktu itu) sudah lama terjadi. Sebelum misionaris Serikat Sabda Allah datang, sudah ada misionaris Yesuit, Dominikan dan Fransiskan yang berkarya di wilayah Nusa Tenggara.
Dasawarsa pertama berlalu dan meninggalkan cerita. Sejarah awal berdirinya seminari misi di pulau Flores, persisnya adalah kisah nekat orang-orang yang menamakan dirinya misionaris. Sejak Maximum Illud, ensiklik Paus Benediktus XV di tahun 1919 dan keberanian para SVD memulai sebuah seminari di Sikka dan Mataloko, masa depan misi di tanah Flores mulai membukukan kisahnya sendiri. Apa yang awalnya dianggap ”coba-coba” dan mungkin dibuat dengan ”harap-harap cemas” berakhir menggembirakan. Sang penabur tidak menjatuhkan benih di tempat yang salah.
Jumlah seminaris dan lulusan tiap angkatan bertambah. Rencana memindahkan Seminari Tinggi adalah tema yang mulai dipikirkan secara serius pada tahun 1935. Adalah Pater J. Bouma, Pater H. Hermens dan P. A. Visser, tiga SVD, sang empunya mimpi. Menurut mereka, Seminari Tinggi dan Novisiat mesti dibangun terpisah dari Seminari Menengah. Tiga serangkai asal Eropa itu memegang kendali untuk mewujudkan impian.
Lembah Hokeng di Flores Timur menjadi pilihan pertama. Keinginan sudah bulat, tinggal menunggu waktu. Selidik punya selidik, Hokeng adalah sarang nyamuk Anopheles, pembawa malaria, penyakit yang sangat ditakuti kala itu. Dari segi kesehatan, untuk memilih Hokeng orang mesti berpikir dua kali. Tetapi mencari lokasi lain bukan usaha yang gampang. Ledalero sama sekali tidak masuk daftar.
Don Thomas Xiemenes da Silva, raja Sikka waktu itu, adalah satu nama lagi yang patut disebutkan di sini. Mendekatinya tidak terlalu sulit. Beliau dikenal sebagai seorang Katolik yang sangat menghargai karya misi. Permintaan untuk mendirikan Seminari Tinggi di wilayah kekuasaannya disambut dengan tangan terbuka. Masa depan karya misi rupanya dikehendaki Tuhan untuk dimulai di atas tanah ini. Kurang lebih satu dekade berlalu setelah Seminari Menengah pertama di Flores yang didirikan di Sikka-Lela hijrah ke Todabelu, Nian Tana Sikka kembali menerima tawaran yang sama. Pemerintah dan rakyat merestui pembangunan Seminari ini.    
Ledalero menjadi pilihan. Sebuah bukit dekat paroki besar Nita dan kebetulan tidak jauh dari Maumere yang telah menjadi ibukota kerajaan Sikka. Tempat ini angker sekali. Masyarakat tidak biasa lewat sendirian di sana. Konon, bukit itu punya penghuni seorang pria yang selalu mengganggu orang-orang yang lewat sendirian menjelang malam ketika pulang kebun. Alkisah, seorang pemuda Nita bernama Lero meninggal dan mayatnya digantungkan di atas pohon enau yang banyak tumbuh di sekitar bukit ini. Karena mayat si Lero digantungkan di tempat yang tinggi (Leda, dalam bahasa Sikka), maka lahirlah nama Ledalero atau “bukit tempat mayat si Lero digantung”. Menurut penuturan orang-orang sekitar, inilah asal-muasal nama Ledalero. Namun ada versi lain yang lebih meluas, yakni sebagai bukit tempat sandar matahari (leda: sandaran, lero: matahari). Pada bukit ini penduduk masih melihat matahari bertengger sebelum hijrah ke balik malam. Makna ini memiliki muatan simbolis yang kuat.
Biar angker, rencana pembangunan seminari tidak mungkin batal. Bulan Mei 1936 kerja keras itu pelan-pelan dimulai Bruder Victor Buchner, SVD. Pipa-pipa air menjadi prioritas. Pertengahan Agustus tahun yang sama tenaga kerja ditambah. Tujuhpuluhan karyawan didampingi Bruder Willibrordus Donkers, SVD dan Br. Odulphus Brouwer, SVD mulai mengubah wajah bukit angker Ledalero. Batu pertama diletakkan, pembangunan tahap pertama berangsur rampung. Pembangunan-pembangunan berikut menyusul dan nama bukit ini “dibaptis” juga dalam sejarah panjang perjalanannya. Sudah tujuh puluh tahun Ledalero sungguh menjadi bukit tempat sandar sang matahari ilahi.
Ledalero di bulan Mei dan Juni 1937 mengalami hari-hari penuh kenangan. Di awal Mei, Ledalero mendapat kabar baik dari Vatikan. Tepatnya tanggal 5 bulan itu di tahun1937, Takhta Suci menyetujui berdirinya Seminari Tinggi Ledalero, sebuah pengakuan resmi dari pemimpin Gereja sejagat. Menyusuli persetujuan itu, maka pada tanggal 20 Mei 1937 Generalat Serikat Sabda Allah di Roma memberikan keputusannya untuk memindahkan Seminari Tinggi dari Todabelu ke Ledalero.
Awal Juni, Ledalero lagi-lagi mendapat kabar baik. Tahta Suci mensahkan pemindahan Novisiat SVD dari Todabelu ke Ledalero dengan satu surat pengesahan tertanggal 1 Juni 1937. Sebulan setelah pengesahan tersebut, yakni pada tanggal 7 Juli 1937, magister novis P. J. Koemeester, SVD, Frater Fr. Lukas Lusi dan Fr. Niko Meak hijrah dari Todabelu dan menjadi penghuni pertama Ledalero. Mereka disambut hangat oleh umat, yang terungkap dalam kalimat: “He miu ata novisen mole ata frater, mai baa deri ei Ledalero” yang berarti: Hai para novis dan para frater, kamu sudah datang dan tinggal di Ledalero. Tiga hari kemudian, sembilan orang frater dan P. C. Molenaar menyusul ke Ledalero. Inilah angkatan pertama yang menghuni Seminari Agung Ledalero. Keberadaan sebagai rumah formasi sebuah tarekat religius menjadi semakin jelas, ketika pada tanggal 15 Agustus 1937 tiga frater mengikrarkan kaul untuk kedua kali, tiga mengucapkan kaul pertama dan enam calon novis menerima jubah.

Pernah menjadi sarang serdadu Jepang
Ledalero di awal tahun 40-an adalah bukit yang terang-benderang di tengah malam. Listrik, waktu itu, adalah lampu ajaib seperti dalam adegan sulap yang menjadi tontonan wah. Listrik sering menjadi buah bibir di mana-mana. Setelah kembali dari Ledalero mengunjungi wisata gratis itu, cerita tentang listrik berkembang bak dongeng dengan bumbu macam-macam. Orang-orang kampung sering mampir untuk melihat-lihat, benda macam apa listrik itu? Ledalero, di tahun-tahun itu adalah tempat pameran barang-barang aneh!  “Waktu saya kelas empat SD, kami nekat jalan kaki dari Lela ke Ledalero hanya untuk melihat piano dan listrik,” kisah Daniel Woda Palle. “Dan mau tidak mau saya dan teman-teman harus jalan tengah malam karena tau saja, listrik hanya menyala pada malam hari,” tambah mantan Bupati Sikka di era 80-an itu mengenang Ledalero di masa kecilnya.
Lain lagi dengan Bapak Kristo Blasin, alumnus Ledalero angkatan 81-87 yang kini sebagai Wakil Ketua DPRD NTT. Beliau punya kisah sendiri tentang Ledalero, almamater yang menamatkannya. Beliau mengaku, di jamannya Ledalero termasuk ‘sekolah elite’. Listrik, salah satu yang punya nilai lebih. Dengan fasilitas yang memadai frater-frater di Ledalero menjadi begitu mapan.  Sayang, akunya, hal inilah yang justru pernah membuatnya ‘sombong’.
Sekarang saya belajar untuk jadi rendah hati. Di sini saya berada di luar sebagai orang yang bisa belajar dari orang lain. Di luar saya bertemu dengan banyak teman tamatan Undana yang juga sangat mempengaruhi pola pikir dan pandangan saya. Saya kira dalam hal tertentu mereka lebih hebat, karena dengan realitas serba kekurangan mereka dapat belajar maksimal. Hanya dengan lampu pelita atau lampu minyak mereka dapat menyelesaikan studinya dengan sukses. Di Ledalero segala fasilitas tersedia, kalau orang sukses di sana saya kira harus begitu,  biasa.”
Listrik di Ledalero masih menyisakan satu cerita lagi. Akhir Juni 1943 suasana perang kemerdekaan merambat sampai ke kota Maumere. Saat itu  tentara Jepang sedang bermarkas di kota Maumere. Rumah ini diam-diam dilirik pihak Jepang dan menjadi target jarahan nomor satu. Motor listrik dan perlengkapan penerangan lainnya dirampas dai Nipon. Praktisnya, Ledalero gelap gulita. Dalam keadaan serba minus itu, empat orang bruder pribumi angkatan pertama menerima jubah biara dan mulai menjalani masa novisiatnya di Ledalero.
Situasi perang turut membelokkan sejarah Seminari Tinggi ini. Situasi mulai tidak aman di medio Agustus 1942. Desingan peluru dan bunyi mesin heli para serdadu sering melintasi wilayah Sikka. Dengan berat hati frater-frater skolastik mengungsi ke rumah yang lama, Todabelu. Setahun kemudian, Frater Herman Embuiru dan kawan-kawannya yang mengikrarkan kaul pertamanya di Ledalero pada 15 Agustus 1943 berangkat lagi ke Todabelu untuk mengikuti kuliah filsafat. Di Todabelu juga P. A. Conterius ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 12 Desember 1943.
Situasi serba sulit dan perasaan tidak nyaman menghantui penghuni Ledalero dari hari ke hari. Para misionaris dituduh menyembunyikan alat pemancar radio. Kecurigaan bertambah, ketika para serdadu Nipon itu melihat kamar-kamar besar yang dihuni oleh para misionaris Eropa, sementara orang-orang pribumi yaitu para frater hanya menempati bilik-bilik kecil di ruang tidur umum. Karena tuduhan ini, maka pada tanggal 18 Otober 1942  Pater J. Koemeester, Pater Mertens, Bruder Vitalis dan Bruder Sebastianus meninggalkan Ledalero sebagai tahanan dan dibawa ke Ende. Novis-novis sendirian dan itulah pertama kalinya dalam sejarah Seminari Tinggi ini seorang frater novis (Donatus Djagom) diangkat menjadi penjabat sementara rektor rumah Ledalero sampai kedatangan kembali Pater J. Koemeester sebulan kemudian.
Puncak krisis yang menyakitkan terjadi di medio November 1943. Rumah suci ini dijadikan asrama para serdadu Jepang. Penghuni Ledalero gulung tikar dan mengungsi ke Lela. Rumah Regio Susteran SSpS dekat gereja Paroki Lela menjadi tempat pelarian waktu itu.
Di awal 1944 Sekutu mulai melancarkan serangannya untuk mematahkan Jepang. Januari tahun itu perang berkecamuk di Maumere dan wilayah Nian Tana Sikka bukan tempat yang nyaman untuk belajar. Dari Lela, sejarah berlanjut lagi di Todabelu. Seminggu setelah frater Gregorius Monteiro dan frater Stephanus Ozias Fernandez menerima jubah biaranya di Lela pada pesta kenaikan Bunda Maria, seluruh anggota komunitas novisiat darurat itu berangkat menuju Todabelu.
***

“Seminari Tinggi Ledalero telah melewati tiga momen yang menakjubkan. Terlahir sebagai Seminari Belanda, bertumbuh sebagai tempat pembinaan calon imam pribumi dan kini dikenal sebagai dapur misi di abad ini,” komentar Pater John M. Prior, seorang anggota SVD yang kini berkarya di pusat penelitian Candraditya Maumere.

Ketika dunia bergejolak dengan perang demi perang untuk memperebutkan tanah jajahan, Seminari Tinggi Ledalero bertumbuh sebagai sebuah komunitas yang mengusung internasionalitas. Satu kampanye melawan penjajahan yang sudah dimulai dari dalam. Sementara Belanda melancarkan serangan-serangannya dan berupaya dengan segala cara untuk bertahan dan menguras habis-habisan kekayaan bumi Indonesia, para anggota komunitas hidup rukun sebagai satu kesaksian yang mengherankan.

“Antara tahun 1937-1960-an Seminari Tinggi Ledalero disebut sebagai Seminari Belanda. Hal ini ditandai oleh penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa komunitas, para pembina dan pengajar adalah para misionaris asal Belanda dan penggunaan bahasa Belanda dan Latin dalam perkuliahan,” urai Pater Manford Prior.
Empat tahun setelah mendiami bukit Ledalero, tanaman yang tumbuh mulai menghasilkan buah. Pada tanggal 28 Januari 1941, dalam satu upacara yang meriah di gereja paroki Nita, dua buah sulung Ledalero ditahbiskan menjadi imam, yakni P. Karel Bale, SVD asal Maumere- Flores dan P. Gabriel Manek, SVD, alas Lahurus-Timor, yang kemudian menjadi uskup.
Baru setahun merayakan kegembiraan atas panenan perdana itu, Jepang masuk ke Indonesia. Pada tanggal 15 Mei 1942 sebuah kabar buruk sampai juga ke Ledalero. “Besok semua orang Eropa harus berangkat ke Ende.” Perintah yang singkat dan jelas pun diikuti. Tak boleh ada tawar-menawar. Semua misionaris Eropa yang bekerja di Ledalero berangkat ke Ende dan ditawan di kediaman Vikaris Apostolik Nusa Tenggara, di Ndona. Ledalero praktis ketiadaan tenaga pendidik. Namun kemudian, atas negosiasi Pater Van der Heyden, SVD dan perjuangan suster Eustochia Dentist, empat orang suster SSpS asal Jerman dan lima orang pastor serta dua bruder berhasil dibebaskan dari tawanan di Ndona, termasuk di antaranya adalah P. J. Koesmeester, Rektor Seminari Tinggi Ledalero.
Setelah tersiar kabar tentang rencana pembuangan ke luar Flores, keadaan di komunitas Ledalero makin runyam. Tanggal 15 Juli 1942, mimpi buruk itu menjadi kenyataan. Tujuhpuluh orang imam, 14 bruder dan 29 suster dibuang ke Pare-pare. Untuk dapat kembali, mereka mesti menanti tiga tahun yakni setelah Perang Dunia II usai ketika Sekutu menaklukkan Jepang di awal Agustus 1945 ketika Hirosima dan Nagasaki ditunggangbalikkan.
Selama tiga tahun Gereja Flores berjalan pincang. Jumlah umat yang semakin membengkak tidak diimbangi dengan tenaga pelayan yang memadai, dari ujung Timur sampai ujung barat. Bahkan, Manggarai dengan 75 ribu umat lebih mesti berjalan tanpa gembala. Keadaan ini memaksa Mgr. Leven untuk cepat bertindak. Dua orang frater yang baru tiga tahun belajar teologi direstui untuk ditahbiskan menjadi imam karena kebutuhan pastoral yang amat mendesak. Frater J. Bala dan Frater R. Pedrico bersedia menerima tugasnya yang baru sebagai gembala umat ketika ditahbiskan dalam sebuah upacara sederhana tanggal 15 Agustus 1942. Pater Jan Bala dibenum ke Manggarai dan Pater Rufinus Pedrico di wilayah Maumere sampai Hokeng.
Keadaan rumah porak poranda ketika komunitas Seminari Tinggi kembali ke Ledalero pada awal Desember 1945. Serdadu Jepang benar-benar pergi sebagai penjajah. Memang, tentara bisa menjadi pahlawan untuk negerinya ketika tewas oleh senapan musuh tetapi serdadu tentu tetaplah serdadu yang akan pergi dengan perasaan bangga kalau menghancurkan sarang musuh. Ledalero benar-benar telah digunakan oleh orang-orang yang salah. Kerja keras mesti dimulai lagi. Di bawah pimpinan Pater Koemeester yang tiba di Ledalero tanggal 5 Desember sore bersama para frater lainnya, rumah mulai ditata lagi.
Banyak yang rusak. Banyak yang hilang. Banyak yang copot entah ke mana. Motor listrik, barang berharga untuk kepentingan belajar raib tak berbekas. Yang tersisa hanya kabel-kabel yang sudah dipotong pendek-pendek dan suku cadang motor listrik yang berserakan di sepanjang lorong. Hati bagai disayat sembilu. Memang, pembangunan tahap kedua ini tidak bisa dikatakan mulai dari nol tetapi keadaannya amat memrihatinkan. Harta lain yang sangat berharga berupa buku-buku yang disembunyikan di rumah-rumah penduduk mulai dikumpulkan kembali. Dalam keadaan yang serba minus Ledalero merayakan Natal tahun 1945, pesta kelahiran Yesus di kandang yang hina.
***
Sepuluh tahun kedua setelah kemerdekaan, Ledalero menjadi mata dan kuping yang tersiksa. Kuping yang merekam terlalu banyak tangisan pilu anak-anak bangsa yang diseret paksa tengah malam untuk dihabisi di sekitar kawasan Koting. Mata yang menyaksikan lagi adegan sadis perkelahian dua bersaudara, Kain dan Habel. Saudara bunuh saudara. Politik di tahun 65 memang teramat kejam dan pemali untuk dibicarakan lagi. Tetapi, mau bilang apa, sebab, mereka-mereka yang terlibat langsung dalam adegan tengah malam itu, dengar-dengar, juga adalah orang-orang Katolik yang sama-sama mendengar kotbah hari Minggu tentang cinta kasih dan menghafal baik sepuluh perintah Allah. Mau bilang apa.
Pater Josef Boumans sendiri mengenang rentang waktu ini sebagai tahun-tahun dengan banyak pembunuhan sadis. “Pada malam pukul 00.00, ada beberapa truk dari Maumere naik ke jurusan Koting. Di atas oto pasti ada orang yang ditangkap dan akan dibunuh kalau mereka yang di atas oto  belum mati,” tulis Pater Boumans dalam Otobiografinya. 
Ledalero mencatat sebuah kenangan dengan epilog yang menyakitkan. Jenderal Achmad Yani mengunjungi Seminari Tinggi Ledalero pada tanggal 25 September 1965. Kunjungan ini merupakan sebuah kebanggaan dan kehormatan bagi lembaga Seminari  Tinggi ini. Beliau sempat berjanji dan berharap agar kelak dapat kembali ke Ledalero. Namun, apa hendak dikata, manusia boleh merencanakan Tuhanlah yang menentukan. Janji tinggal janji. Lima hari sesudah kunjungannya ke Ledalero yakni tanggal 30 September tahun 1965, ia meninggal. Ia adalah salah satu korban tragis di lubang buaya – Jakarta.
Saat itu banyak warga sipil yang dibunuh. Ada seorang Katolik terkemuka yang rajin ikut “pembersihan” itu menuntut rektor Ledalero, P. Boumans, agar Ledalero menyiapkan kubur massal untuk para penjahat kaum PKI. Namun sang rektor menjawab tegas, “Tidak mungkin, itu tanah suci yang di berkati Gereja, jadi tak mungkin”.  
***

Ledalero: semakin berwajah Indonesia – semakin berani mendunia

”Ledalero sebagaimana lembaga pendidikan lainnya, tidak mempersiapkan orang “untuk jadi” tetapi terutama mempersiapkan orang “untuk belajar”, tandas bapak Patris da Gomez dalam komentar singkatnya tentang Ledalero. Untuk belajar tentunya kita butuh pengajar.  Para perintis menyadari bahwa seminari tinggi butuh guru pribumi sebagai pengajar dan pembina di Ledalero. Untuk maksud ini, maka pada tahun 1948 P. Piet Muda dan Pater Lamber Lame Uran, serta tiga frater, yakni: Donatus Djagom, Paulus Sani Kleden dan Stephanus Kopong Keda dikirim ke Eropa guna melanjutkan studinya. Di atas pundak ketiga pioner ini, diletakkan tanggung jawab besar untuk masa depan pendidikan para calon imam di Nusa Tenggara. Pergulatan panjang di bangku kuliah menuai hasil. Pada tahun 1955 P. Dr. Paulus Sani Kleden menyelesaikan studinya di Gregoriana Roma. Ia tercatat sebagai dosen pribumi pertama. Sejak saat itu, secara perlahan jumlah “guru” asal Nusa Tenggara bertambah.
Oleh bertambahnya jumlah tenaga dosen sejak kembalinya para konfrater muda yang belajar di luar negeri, maka pada tahun 1966 bahasa Latin sebagai bahasa perkuliahan pelan-pelan diganti dengan bahasa Indonesia. Tugas kepemimpinan di komunitas pun mulai dipercayakan untuk para imam pribumi. P. Ozias Fernandez menjadi rektor pribumi pertama di Ledalero.
Bertambahnya jumlah pengajar dan pendamping pribumi memperkuat posisi pendidik di Ledalero. Konsentrasi SVD terhadap Gereja lokal khususnya melalui pendidikan terus digalakkan. Dalam sejarahnya, calon-calon SVD dan para calon imam projo pernah tinggal serumah. Kapitel Jenderal SVD pada tahun 1947 mendesak pimpinan SVD Flores untuk secepatnya membangun seminari tinggi bagi para calon imam praja. Setelah melewati beberapa sidang dan perundingan, maka pada tanggal 8 September 1955 didirikan secara resmi Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret sebagai lembaga pendidikan para calon imam praja Nusa Tenggara.
Selama tahun-tahun pertama, para Frater Praja masih menempati satu bagian dari Ledalero. Hijrah dari Ledalero ke Ritapiret terjadi pada tanggal 6 April 1959, di bawah pimpinan P. J. Boumans, SVD, sang praeses pertama, didampingi sepuluh orang frater. Berdirinya seminari bagi calon-calon imam diosesan menunjukkan kemajuan misi yang dibawa SVD untuk memperhatikan masa depan Gereja lokal.
Umat membutuhkan imam. Ledalero, sebagai sebuah lembaga pendidikan calon imam, berperan penting dalam menyiapkan tenaga para imam SVD yang bekerja dalam pelayanan umat di Indonesia. Sampai awal tahun 80-an, hampir semua imam SVD tamatan Ledalero berkarya keempat provinsi SVD di Indonesia. Mereka merambah hutan Papua, menyusuri sungai-sungai di Kalimantan, juga melayani umat di kota-kota besar. Dalam 70 tahun ini, Ledalero telah mempersembahkan sepuluh Uskup SVD untuk Gereja lokal di Nusantara: Mgr. Gabriel Manek, SVD, Vikaris Larantuka dan Uskup Agung Ende (1951-1961,1961-1969) Mgr. Paulus Sani Kleden, SVD, Uskup Denpasar (1961-1972, meninggal 18 November 1972), Mgr. Gregorius Monteiro, Uskup Agung Kupang (1967-1997, meninggal 10 Oktober 1997),  Mgr. Donatus Djagom, SVD, Uskup Agung Ende (1969-1996). Mgr. Vitalis Djebarus, SVD, Uskup Ruteng (1973-1980) kemudian menjadi Uskup Denpasar (1980 sampai meninggal 22 September 1998), Mgr. Darius Nggawa, SVD, Uskup Larantuka (1974-2004), Mgr. Antonius Pain Ratu, SVD, Uskup Atambua (1984-2007), Mgr. Eduardus Sangsun, SVD, Uskup Ruteng (1985), Mgr. Kherubim G. Pareira, SVD, Uskup Weetebula (1986), Mgr. Hilarius Moa Nurak, Uskup Pangkalpinang (1987).
Pendidikan calon imam yang diselenggarakan di Ledalero tidak hanya membuat para pemuda Indonesia matang dalam persoalan-persoalan internal Gereja Katolik. Sebagai orang terpelajar, mereka juga menaruh minat dan kepedulian terhadap kondisi sosio-politis bangsanya. Karena masih diizinkan saat itu, pada tanggal 3 Mei 1948 Pater Adrianus Conterius, SVD yang baru menyelesaikan studi teologinya berangkat ke Makasar sebagai anggota parlemen. Beliau terpilih sebagai wakil rakyat untuk NTT. Setelah itu, masih ada sejumlah pastor lain yang melaksanakan peran ini. Kepedulian terhadap masalah-masalah sosial-politik itu terus dipupuk hingga ini.
Betapapun mendesak dan besarnya kebutuhan akan tenaga imam di Indonesia, Seminari Tinggi Ledalero adalah lembaga pendidikan calon imam SVD yang mempunyai perhatian dan tanggungjawab untuk misi Gereja universal. Itu berarti, Ledalero harus mengambil bagian dalam misi sejagad tarekat. Pada tahun 1982 dua orang frater yang mengikrarkan kaul kekalnya, mendapat benumming untuk bermisi di Papua New Guinea. Dengan ini sebuah tradisi baru diretas. Ledalero menjadi sebuah seminari tinggi untuk dunia. Kepercayaan serikat bagi para misionaris ini terbukti, ketika pada tahun 1987, tahun emas Ledalero, tiga anggota SVD Indonesia lulusan Ledalero diminta untuk memulai misi baru tarekat di Madagaskar. Hingga tahun 2006, tercatat 246 anggota SVD alumni Ledalero yang bekerja di 33 negara. Mereka diutus oleh Gereja, tarekat dan rumah induk Ledalero untuk mewartakan kebaikan Tuhan, di mana pun, kapan pun dan apapun risikonya. Tahun ini, tepatnya pada tanggal 1 April 2007, seorang alumnus rumah ini, Pater Frans Madhu, misionaris SVD asal Riung, mati ditembak seorang kriminal di Philipina Utara.
“Ledalero sudah lama menghasilkan manusia-manusia yang dapat diandalkan. Orang-orang yang siap pakai. Satu hal yang juga perlu dicatat, Indonesia dan khususnya NTT tidak hanya mengirim tenaga kerja (TKI dan TKW) saja ke luar negeri tetapi juga orang-orang yang memanusiakan manusia di belahan bumi yang lain bahkan rela ditembak mati,” ungkap Dion Putra. “Ini satu kebanggaan kita dan Ledalero selalu memiliki orang-orang yang siap,” tandas Pemimpin Redaksi HU Pos Kupang itu ketika ditemui di ruang kerjanya Minggu, (8/7/2007) lalu berkomentar tentang Ledalero. 

STFK Ledalero: Kemitraan yang akur dengan pemerintah

Kebutuhan akan sebuah badan persekolahan semakin mendesak. Di bulan Januari 1969, mimpi ini terwujud.  Sebuah lembaga pendidikan bernama Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik (STF/TK) mendapat pengakuan dari republik Indonesia. Di tahun 1971 Ledalero untuk pertama kalinya mendapat pengakuan hukum dari pemerintah sebagai sekolah tinggi 'terdaftar' yang berhak memberikan gelar sarjana muda. Pengakuan hukum ini tertera dalam Surat Direktur Pendidikan Tinggi, Direktorat Jendral Pendidikan tinggi Departemen P dan K No. 257/ DPT/B/1971, tanggal 14 Juni 1971. Ini berita yang menggembirakan.

Angin segar datang lagi. Lima tahun sesudahnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menaikkan status lembaga ini menjadi 'diakui' untuk program sarjana muda. Kemitraan dengan pemerintah makin terasa. Pada tanggal 22 Januari 1981, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan lagi surat yang berisikan keputusan untuk menaikkan status STFTK Ledalero menjadi 'disamakan' dengan universitas negeri untuk memberikan gelar sarjana muda.

Seturut Program Pendidikan Nasional yang menyatukan semua program kegelaran pada universitas-universitas swasta dan lembaga-lembaga pendidikan tersier, pada tanggal 29 November 1984 STFTK Ledalero menjalankan program program sarjana penuh (S-1) dengan status 'diakui' dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak saat itu lembaga ini lebih dikenal dengan nama baru 'Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK Ledalero); kata 'teologi' dihapus.

Melalui program filsafat agama dengan subjek utama 'filsafat Katolik', STFK Ledalero menjalankan pelayanan dalam bidang formasi dan pendidikan, baik untuk para seminaris maupun para mahasiswa/i awam. Pada bulan April 1990, STFK Ledalero mendapat status 'terakreditasi” berperingkat B, berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor SK 019/ 2003, tanggal 20 Agustus 2003 dengan jurusan Ilmu Filsafat dan Program Study  (Ilmu teologi) Filsafat Agama Khatolik. Untuk meningkatkan kualitas yang lebih baik dalam pendidikan dan formasi, sejak tahun 2003 STFK Ledalero membuka program magister dan diploma teologi kontekstual. Program ini didasarkan atas kebutuhan akan tenaga Magister yang mempunyai kemampuan untuk berteologi dan pastoral dalam pelayanan gereja sesuai konteks.

Siapa saja bisa berfilsafat dan berteologi. STFKpun  semakin  terbuka untuk umum. Sekolah menerima tamatan SMU dan mereka yang sudah menyelesaikan formasi religius di novisiat untuk mengikuti program sarjana.  Para frater yang telah menyelesaikan masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral) juga melanjutkan studinya pada program magister dan diploma teologi kontekstual. Inilah alasan mengapa formasi SVD di Indonesia memakan waktu yang lebih daripada formasi yang dijalankan di beberapa negara lain, seperti Filipina dan India. P. Dr. Kondrad Kebung Beoang, SVD  yang kini menjabat sebagai  ketua sekolah berkomentar, “ Filsafat dan Teologi kita hendaknya bisa berguna bagi masyarakat. Untuk itu, perlu ada refleksi dan juga aplikasi atasnya”.

Bukit cahaya-bukit suara: Penerbitan di Ledalero
Sejak berdirinya di Steyl, Belanda, SVD sudah dikenal sebagai sebuah tarekat yang akrab dengan kegiatan penerbitan. Arnolus Janssen sangat memperhatikan kerasulan melalui media massa. Tradisi ini pun diteruskan, ketika para misionaris SVD datang ke Nusa Tenggara. Percetatan Arnoldus dan Penerbit Nusa Indah didirikan di Ende untuk melayani kebutuhan kegiatan penyebaran agama dan pengetahuan umum. Di Ledalero pun kegiatan publikasi mendapat perhatian. Sudah dalam bulan Mei 1937 diterbitkan seri Pastoralia sebagai media berbagi pengalaman dan pemahaman mengenai metode misi dan problema pastoral antara misionaris SVD di Nusa Tenggara. Mulanya penerbitan ini ditangani di Ende, kemudian pindah ke tangan para dosen di Ledalero. Sejak beberapa tahun terakhir Pastoralia tidak diterbitkan lagi.
Adalah Pater Vlooswijk, SVD, seorang pembina yang menggagasi dan merintis penerbitkan sebuah majalah intern yang waktu itu dikenal dengan BAK (Berita Antara Kita) yang terbit satu setengah halaman kertas folio cetak di tahun 1953. BAK berisi berita-berita internal dari rumah induk atau dari sama saudara yang bekerja di daerah misi. BAK mendapat sambutan hangat. Di dalamnya berita-berita sederhana dikemas secara menarik.
Rupanya spirit BAK membawa inspirasi baru bagi beberapa frater muda yang giat menerjemahkan beberapa artikel asing dan dipersiapkan untuk dipublikasikan dalam bentuk stensilan. Maka pada tanggal 28 Nopember 1953 dibentuk sebuah majalah yang diberi nama VOX SANCTI PAULI. Beberapa frater yang tercatat sebagai perintis lahirnya VOX yaitu Fr. Hendrik Djawa, Fr. Alo Mitan, Fr. Darius Nggawa. Sejak awal VOX tampil sebagai wahana latihan bagi para calon misionaris muda untuk menyusun dan menyampaikan gagasan. Sebelum resmi turun ke tangan pembaca, biasanya artikel-artikel direncanakan itu didiskusikan bersama di kamar makan. Tim “editor kamar makan” itu harus sampai pada kata sepakat. Memutuskan mana tulisan yang layak mana yang tidak sesuai bobot ilmiahnya. Majalah ini mulai punya identitas sendiri. Karena bobot ilmiahnya menjadi bahan pertimbangan utama, nuansa tulisan-tulisannya sudah jauh berbeda dengan BAK. Anggota komunitas menyambut kehadiran stensilan ilmiah ini dengan gembira. Permintaan meningkat.
Sejak periode 1954 sampai dengan 1969 VOX terbit tanpa izinan dari instansi pemerintahan. Pada tahun 1981 VOX mendapat Internasional Standard Serial Number (ISSN) 0216 – 8804 dari pusat dokumentasi ilmiah Nasional. VOX pernah dilarang terbit. Surat Keputusan Menpen RI No. 1097/SK/DITJEN PPG/K/X/84 tertanggal 16 Oktober 1984 berisi larangan terbit bagi penerbitan berkala tanpa izin Mentri Penerangan RI. Baru pada tanggal 12 Februari 1986 VOX mendapat lagi izin terbit sebagai penerbitan khusus.
Dengan kehadiran majalah VOX kemampuan intelektual para calon imam Serikat Sabda Allah yang tinggal di Ledalero semakin meningkat,  khususnya dalam bidang tulis menulis. Bukankah menulis juga menjadi bagian dari proses pembentukan diri?. ”Agaknya menjadi suatu kekurangan apabila, mahasiswa filsafat filsafat dan Teologi tidak menulis” komentar Anton Bele. Hingga kini VOX telah menerbitkan lebih dari 150-an edisi dengan cakupan pembaca seluruh Nusa Tenggara dan daerah-daerah lain di Indonesia. Belakangan, VOX tidak hanya menyediakan ruang bagi penulis-penulis internal dari kalangan pembina dan frater tetapi juga ada penulis-penulis luar.
Nuansa ilmiah yang selalu mewarnai isi majalah VOX mengundang perhatian beberapa anggota rumah untuk memikirkan satu bentuk buletin lagi yang lebih ringan isinya. Tanggal 1 Februari 1971 dalam sebuah pertemuan antara para prefek dan kru VOX waktu itu tercetuslah ide untuk menerbitkan Wisma (Warta Intra Seminari). Wisma tampil dengan nuansa penuh kekeluargaan.
Pengalaman-pengalaman pastoral yang mengesankan, cerita-cerita ringan seputar pengalaman praktek para frater diceritakan lugas dengan bumbu-bumbu yang menyegarkan. nuansa ini tetap dipertahankan hingga kini. Kini Wisma terbit dua kali setahun sebagai berita intern komunitas dan juga menjadi oleh-oleh liburan untuk para orang tua. Kronik-kronik ringan yang disajikan Wisma menjadi sentilan-sentilan menarik yang selalu membawa inspirasi baru.
Meningkatnya jumlah misionaris yang dikirim ke luar negeri memberi dorongan untuk memperluas gagasan-gagasan dan pengenalan akan pengalaman-pengalaman misi di berbagai belahan bumi. Maka, sejak tahun 1992 atas prakarsa Provinsi SDV Ende, P.Georg Kirchberger ditugaskan untuk menerbitkan seri Verbum Indonesia. Mula-mula seri ini berisi terjemahkan artikel pilihan dari seri Verbum yang diterbitkan oleh Missionswissenschaftliches Institut Sankt Augustin, Jerman. Belakangan, Verbum juga memuat artikel-artikel bertema misi yang diterjemahkan dari berbagai jurnal lain.
Penerbitan lain dilakukan di bawah koordinasi Pusat Penelitian Agama dan Budaya Candraditya, yang didirikan pada tahun 1987 di bawah pimpinan P. John Prior, SVD dan Hubert Muda, SVD. Hasil penelitian lembaga ini diterbitkan dalam seri khusus yang berjudul Seri Etnologi dan Pustaka Misionalia. Dalam Seri Etnologi sudah diterbitkan beberapa karya etnografis Paul Arndt, SVD.
Kegiatan publikasi sebagai satu bidang yang penting dalam rangka pewartaan dan elemen yang utuh bagi pergumulan ilmiah, kemudian menguatkan tekad untuk memulai sebuah Penerbit sendiri. Pada tahun 1999 P. Georg Kirchberger mulai menerbitkan sejumlah buku di bawah penerbit LPBAJ (Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnoldus Janssen). Karya-karya yang dipandang penting bagi kegiatan pastoral dan refleksi teologis diterjemahkan dan diterbitkan. Kehadiran sebuah Biro Penerjemahan Provinsi SVD Ende di Ledalero (Nitapleat) sangat mendukung usaha ini. Selanjutnya, ketika STFK Ledalero merencanakan untuk menerbitkan sebuah Jurnal ilmiah, kebutuhan akan sebuah Penerbit yang berbadan hukum dirasakan semakin mendesak. Setelah melewati beberapa pertemuan, maka pada tanggal 8 Juni 2002 Jurnal Ledalero diluncurkan dan Penerbit Ledalero diresmikan. Keberanian mendirikan sebuah penerbit dilandasi oleh kehendak untuk memanfaatkan potensi akademik para dosen dan juga mahasiswa. Penerbit Ledalero secara yuridis bernaung di bawah Yayasan Persekolahan Santo Paulus Ende. Dalam usianya yang kelima, Penerbit Ledalero sudah berjuang untuk turut menyumbangkan bacaan-bacaan yang berbobot, khususnya dalam bidang filsafat, teologi, antropologi dan sosiologi, yang mendapat apresiasi luas di kalangan pembaca di Indonesia.

Rekaman Pancawindu
Dihitung mundur dari 1977 ke tahun berdirinya Seminari Tinggi ini maka genaplah usia 40 tahun. Reuni III yang dihadiri 127 alumni dari Ledalero dan Ritapiret itu berlangsung dari tanggal 8-16 September. Reuni yang bertajuk “Pekan Studi” itu menjadi kesempatan evaluasi dan catatan-catatan praktis untuk mempersiapkan diri menghadapi kesulitan-kesulitan berpastoral di lapangan.
Majalah intern Seminari mencatat puncak perayaan pancawindu sebagai sebuah kenangan yang mengesankan. “Kesibukan menjelang acara puncak sudah terlihat sejak awal September. Medio September kesibukan makin menanjak. Panggung besar yang terletak di bagian Timur mendapat perhatian besar. Tidak kurang dari 900 kursi memenuhi ruang acara. Orang-orang di dapur komunitas pun sibuk amat,” demikian Wisma no.3 thn VII-1977.
Tema perayaan puncak “Di naung langit esa kumpul kita secita” menyiratkan satu pesan solidaritas untuk senantiasa bekerja sama dalam menjalankan tugas. Dalam sambutannya, Sekwilda Sikka, Drs. Dan W. Palle menyatakan penghargaan pemerintah atas sumbangan Seminari ini bagi masyarakat dan negara. “Kalau pemerintah membangun jembatan dan gedung, maka Ledalero membangun manusia,” ujarnya.
“Acara puncak telah lewat bagai mimpi,” catat Wisma lagi. Namun, kenangan dan usia setua ini mesti menyediakan alasan-alasan yang cukup untuk berbangga. Imam yang telah ditahbiskan dalam usia 40 tahun ini berjumlah 222 orang dari total 828 mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan  di Ledalero. Ratio perbandingan yang terpaut jauh antara imam yang dihasilkan dan awam. Seminari sebagai lembaga pembentukan calon imam sebenarnya mempunyai tujuan laten untuk menghasilkan calon awam katolik yang tangguh. Alasannya sederhana, dari jumlah tiap angkatan yang masuk terbanyak kemudian menjadi awam. Dengan ini, kita bisa punya satu alasan lagi untuk berbangga.

Saat Perayaan Emas
Rekaman kesibukan menjelang pancawindu kini terulang lagi di saat-saat persiapan menjelang usia emasnya. “Puji dan Syukur” adalah luapan hati yang tidak bisa ditutup-tutupi. Tentu bukan saja karena 268 imam SVD yang berhasil ditamatkan dari almamater ini, tetapi ada juga 170 imam diosesan, 1 MSC, 1 CSSR dan banyak awam yang turut menentukan masa depan bangsa dan gereja.

Di usia emasnya, Ledalero sudah mencatat banyak hal yang membanggakan. Prestasi tiap angkatan yang memadai, jumlah pembina yang diupayakan mengimbangi jumlah frater, kerjasama yang baik dengan pemerintah pusat maupun daerah dan masih banyak kemajuan lain. Tat kala menoleh pada sejarah silam, tepat kalau kutipan peribahasa Belanda “God schrift rech op krome lijnen” digemakan kembali. “Allah berkarya di atas garis yang bengkok”, kutip pater Paulus tera, SVD (provinsial kala itu). Tepat, Tuhan selalu menghendaki yang terbaik.
  Di samping semua kemajuan membanggakan itu, kita perlu menyebutkan orang-orang belakang layar yang diam-diam mendukung Ledalero dengan caranya sendiri. Suster-suster CIJ yang selama 16 tahun bekerja di dapur komunitas, karyawan dan karyawati yang bertugas di bilik jahit, bilik basuh, bengkel, perkebunan Ledalero dan Pati Ahu yang setia memenuhi keperluan dapur Ledalero sampai sekarang. Di sekolah, Ledalero didukung oleh tenaga-tenaga yang bekerja di Museum, Perpustakaan dan Sekretariat.
Semua ini patut membesarkan hati. Usia lima puluh tahun bukanlah rentang sejarah yang mudah. Pahit manisnya hidup telah dirasakan Seminari ini. Tidak lain, puji dan syukur menjadi kata-kata yang tepat untuk menggambarkan luapan kegembiraan orang-orang yang merasa memiliki rumah ini. P. Nikolaus Hayon, SVD, Rektor Ledalero kala itu, merangkai harapan emas, bukan terutama bagi lembaga ini, tetapi bagi seluruh umat dan masyarakat. Sebab, dia yakin bahwa Ledalero harus berakar di dalam dan berbuah demi masyarakat dan umat. “Semoga demi Tuhan dan dalam Pancasila, kebenaran dan keadilan tetap menjadi norma dalam hidup masyarakat”. Sayang, Pater Niko tidak sempat lagi turut merayakan pesta 70 tahun lembaga yang sangat dicintainya ini. Beliau meninggal pada tanggal 27 April di Jakarta dan dimakamkan di pekuburan Ledalero.

Ketika Paus datang
Dua tahun sesudah merayakan emasnya, Ledalero berkenan menerima kedatangan Bapa Suci. Kedatangan Sri Paus di Maumere dan terutama di Ledalero patut dikenang sebagai sebuah rahmat sepanjang sejarah berdirinya Ledalero. Dua alasan yang patut direfleksikan. Pertama, sebagai satu komunitas orang-orang beriman katolik, kehadiran Sri Paus menampakkan kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Kesatuan dengan Gereja universal menjadi nyata dan diteguhkan. Kedua, kunjungan Sri Paus di Ledalero merupakan “suara panggilan Allah” yang sangat dekat di telinga para “imam masa depan” saat itu. Bahwa Allah hadir dalam diri Sri Paus untuk berdialog dengan orang-orang yang telah Ia panggil.
“Rahmat dan damai dari Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus beserta anda” “Rm 1 : 7)”. Itu adalah kata-kata pertama yang mengalir dari mulut Sri Paus. Selanjutnya Sri Paus menegaskan bahwa “para imam masa depan” di Ledalero merupakan sebuah pujian khusus bagi umat katolik Indonesia yang selama berabad-abad menghayati imannya dengan berkanjang dan  bersemangat. Paus Yohanes Paulus II saat itu melihat kehadirannya sendiri di Ledalero pada 11 Oktober 1989 sebagai sebuah kesempatan berahmat. Peristiwa ini patut dikenang sebagai sebuah rahmat sepanjang sejarah Ledalero. Bahwa Tuhan telah datang kepada umat-Nya dan kepada orang-orang yang Ia panggil  dengan kabar gembira mengenai kedatangan Sri Paus.

 

Gempa 1992: Ambil hikmahnya

Kuliah disiang itu agak melelahkan tetapi menarik. Beberapa orang frater masih juga berdebat tentang bahan filsafat yang baru saja mereka peroleh. Sebagiannya sudah mulai merapatkan kepala pada bantal, dan sesegera mungkin terlelap. Detak jarum pada dinding, ternyata menyampaikan pesan, tetapi tak seorangpun yang coba memahaminya. Tak ada rasa curiga sedikitpun pada jarum panjang yang hendak merapat pada angka enam. Tepat pukul 13.30 Wita, tanah  bergemuruh dan menggoncangkan bumi Flores. Goncangan hebat membuat orang-orang berhamburan keluar rumah. “Gempa…gempa…Tuhan tolong…,” teriak suara warga diiringi tangisan pilu.
“Seluruh kompleks perkuliahan rubuh dalam sekejap mata. Kompleks hunian para imam, bruder dan frater porak poranda. Gedung Gerejapun tidak luput dari goncangan. Salib bubungan patah, tembok-temboknya retak. Di saat yang berbahaya itu setiap orang berusaha untuk membebaskan diri dari bahaya ancaman maut. Ada orang yang bertahan dalam bilik sambil berlindung di kolong meja atau di balik lemari, ada yang melompat keluar lewat jendela, tetapi ada pula yang menyelamatkan diri dengan terjun bebas dari gedung bertingkat. Pius Usboko, seorang frater yang berusaha membangunkan teman-teman di kamar tidur masing-masing menjadi korban karena ditindih tembok di kelas filosofen,” tulis almarhum P. Niko Hayon mengenang peristiwa getir itu.
Rumah-rumah warga runtuh seperti dedaunan kering. Pertokoan bertembok di sepanjang kota Maumere rata tanah. Di hadapan gempa keangkuhan bangunan-bangunan megah merendah seperti pondok ilalang di tengah kebun yang hancur dengan satu hentakan. Reruntuhan ini menciutkan nyali sambil memperingatkan kita tentang satu pesan: manusia tak kuasa menaklukkan alam
Gempa dan tsunami Flores, bencana nasional yang memilukan. Patahan Austronesia turut menyeret banyak penghuni bumi di bibir pantai sepanjang Flores.  Gelombang pasang yang “terjaga” dari tidurnya, telah merenggut ribuan nyawa manusia. Tak terhitung yang menderita cedera berat dan ringan di seluruh daratan Flores. 
Ledalero rusak parah. Kerugian akibat gempa seperti yang dicatat oleh P. Fritz Braun (arsitek amatir bangunan di Ledalero) diperkirakan mencapai 8 miliar rupiah. Gempa ini tidak hanya  menghancurkan bangunan tetapi juga mengguncang kemapanan para penghuni Ledalero. Rasa aman telah dirasakan selama kurang lebih 55 tahun secara tiba-tiba ‘dirampas’ oleh guncangan gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter itu.
Kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah termasuk STFK Ledalero berhenti sesaat. Para frater diliburkan sebulan dan barak-barak darurat segera dibangun di sekitar bukit Ledalero dan sekitarnya. Kegiatan perkuliahan beralih tempat ke Ritapiret dan berlangsung dalam barak-barak darurat hampir 9 tahun.
Pola hidup mapan sering membuat orang terlena dan lalai untuk berefleksi tentang realitas dan pengalaman hidup sebagai insan beriman. Kehidupan dalam komunitas biara dengan jadwal meditasi yang teratur tentu memudahkan para anggota komunitas untuk merenungkan hakikat Allah yang Maha kuasa dan Maha cinta.
“ Bagi kami bencana ini merupakan ujian dari Allah” demikian tutur beberapa orang muslimin dan muslimat di perkampungan Nangahale dan Wuring. “Ini sejalan dengan amanat Qur’an 2, 155-156”  kutip P.Philipus Tule, SVD dalam kunjungannya itu. Pengalaman gempa dan gelombang tsunami menyentak sanubari setiap orang untuk merenung dan menemukan kehendak Allah dalam kehidupan dan penderitaan akibat bencana ini. Bagi penghuni komunitas Seminari Tinggi Ledalero, kehendak Allah terungkap dalam sistem baru dalam pembinaan para calon imam.

Ledalero Pascagempa: ukir tapakmu

Di bawah kepemimpinan P. Hubert Muda, SVD, Rektor saat itu, usaha pembangunan kembali mulai dirancang. Rancangan itu kemudian dilanjutkan oleh P. Laurens da Costa, SVD sebagai Rektor Ledalero periode 1993-1996. Setelah melalui diskusi yang panjang dan melelahkan mengenai perubahan pola pembinaan para calon imam, maka ditetapkan bahwa sistem unit-unit kecil menjadi alternatif yang dipakai untuk tempat pembinaan para seminaris. Seminari Tinggi Ledalero yang mengalami kerusakan sangat parah, sebagian besar tak akan dibangun dalam bentuk yang sama. Oleh sebab itu tempat hunian para frater dibangun dalam bentuk unit-unit kecil.
Dampak langsung dari bencana gempa adalah pergeseran sistem dan pola formasi di Seminari Tinggi Ledalero dari pola sentralistik dan massal ke sistem unit-unit kecil di mana partisipasi pribadi formandi serta pengenalan pribadi terjadi secara lebih intensif, baik antara formator dengan formandi maupun antara para fomandi sendiri. Dengan sistem unit pola pengenalan para frater juga lebih luas menjangkau para konfrater dari tingkat lain. Dengan sistem unit campur ini, diharapkan nilai kekerabatan dan keluarga besar dari berbagai elemen budaya lokal seakan diakomodasi dalam aktivitas pembentukan.
Setelah memikirkan sistem, giliran kedua adalah membangun gedung. Berbeda dari pembangunan awal yang ditangani seorang Bruder, pembangunan pascagempa dipercayakan kepada komando seorang pastor, Pater Tadeusz Gruca, SVD. Sudah menjadi pilihan para penghuni Ledalero dan pimpinan SVD, bahwa pembangunan rumah kita sendiri baru dimulai setelah pembangunan rumah-rumah penduduk dan sarana-sarana umum yang dibutuhkan masyarakat sudah mulai rampung. Bantuan dari Ledalero, sangat berarti. Bruder Otmar yang menangani korban bencana di Nangahale, memuji inisiatif komunitas Ledalero. “ Ledalero bagus waktu itu, tidak kikir keluarkan uang” ungkapnya.  
Gedung-gedung kuliah di kampus Ledalero mulai dibangun di atas puing-puing reruntuhan. Gedung ini rampung dan mulai dipakai pada awal tahun kuliah 2001/2002. ”Generasi barak” mulai diganti dengan generasi gedung megah berlantai dua. ”Rahasia” masing-masing tingkat dan ruang kuliah kembali lagi terjamin, ya, karena di barak hampir tak ada rahasia. Lucu di satu ruangan mengundang tertawa di ruang-ruang lain, kemarahan di ruangan yang satu membuat mahasiwa/i di ruangan lain turut gementar. Ada arus balik, kalau dulu para Frater dari unit-unit di Ledalero harus berjalan ke kompleks barak di Ritapiret, maka sejak September 2001 para Frater dari Unit Rafael Nita dan Arnoldus harus menunggu Ata Kiwan (nama bis) atau bis kayu Ledalero untuk mengantar dan mengembalikan mereka dari kampus STFK.
Bersamaan dengan unit-unit tinggal yang semakin menyebar, iklim keterbukaan pun tampaknya semakin menjiwai Ledalero. Entah di bawah koordinasi STFK Ledalero atau pun sebagai konvik mandiri, Ledalero melibatkan diri dalam berbagai persoalan kemasyarakatan,  turut menyuarakan berbagai kepincangan dan ketidakadilan yang terjadi di dalam masyarakat. Keterlibatan sejumlah konfrater dalam pendampingan terhadap LSM-LSM dan kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat, dalam TRUK-F atau dalam JPIC Provinsi SVD Ende, pendampingan kelompok Gerobak, turut mewarnai suasana keterbukaan dan kepedulian sosial ini. Berkat keahlian dan hubungan pribadi beberapa sama saudara, Ledalero pun kian terlibat dalam dialog-dialog antaragama. Suara yang disampaikan dari bukit terdengar semakin menyentuh kebutuhan masyarakat.
Salah satu kunjungan yang singkat namun sangat bermakna pada tahun perayaan ini adalah kunjungan Prof. Dr. Meutia Hatta, menteri pemberdayaan perempuan RI, pada tanggal 5 April 2007. Beliau mengunjungi Ledalero dalam perjalanannya ke Larantuka pada hari-hari menjelang Paskah 2007. Kunjungan ini bermakna, karena dengan ini menjadi nyata apresiasi pemerintah terhadap keterlibatan lembaga ini dalam upaya pemberdayaan kaum perempuan, serentak menyatakan harapan yang besar akan pentingnya kontribusi Ledalero bagi peningkatan penghargaan terhadap kaum perempuan.
Dekade pertama sejarah Ledalero pasca gempa sudah lewat. Pola formasi dengan sistem unit ternyata tidak bebas persoalan. Situasi baru punya persoalannya sendiri yang perlu ditangani. Ledalero kini mempunyai 8 unit frater dengan anggota tiap unit 30-an orang frater (dan bruder) ditambah dua orang pendamping untuk setiap unitnya. Walaupun terbagi dalam unit-unit kecil kegiatan komunitas selalu diupayakan untuk menjadi nomor satu. Perjalanan ke depan masih butuh banyak evaluasi dan refleksi. Setelah sekian tahun berjalan, situasi keakraban sebelum gempa dengan komunitas yang terpusat menjadi nostalgia yang sulit dilupakan. Kadang-kadang orang berpikir untuk kembali ke masa lalu. Mestinya tidak.
Pada usianya yang ke-70 ini, ada 334 Frater yang menghuni bukit ini, bersama 39 orang sama saudara yang berperan sebagai formator. Dari antaranya, sebanyak 13 berperan sebagai formator langsung, yang menangani pendampingan Frater di unit-unit. Dengan angkatan terakhir tahbisan tahun ini, Ledalero  secara keseluruhan telah menghasilkan 772 imam SVD. Secara rata-rata, per tahunnya Ledalero mempersembahkan hampir 11 orang imam untuk melaksanakan misi Gereja dan karya pelayanan SVD. Jumlah ini masih harus ditambah beberapa orang Bruder SVD yang pernah mengenyam pendidikan di Ledalero, dan tentu saja ribuan awam yang kini berkarya di pelbagai tempat. Pa’ Rufin Kedang, seorang alumnus (awam) yang sekarang bekerja sebagai dosen di Melbourne (Australia) berkomentar” semangat misi yang ditanamkan SVD tetap kami hidupi. Kami selalu terdorong untuk berkarya di tengah sesama sebagai abdi Allah. Dan kami bermisi dengan cara kami sendiri,” tuturnya. Benih yang telah ditaburkan, hendaknya terus bertumbuh. Ibu serikat telah melahirkan dan membiarkanmu pergi ke tanah lepas. Suatu saat, kembalilah, dan kabarkanlah tentang makna tapak-tapakmu.

Sejarah adalah pilihan antara mengingat dan melupakan. Kalau tak ada yang dikenang kita ketinggalan modal untuk hidup, kalau tak ada yang dilupakan, kita terlalu terbeban untuk maju. Sejarah, dalam hal ini  peristiwa-peristiwa berahmat yang telah diterima komunitas Ledalero dalam perjalanannya mengitari matahari bersama bumi menjadi material yang berharga. Dari material itulah bekal kehidupan komunitas Ledalero di masa-masa mendatang  dapat diolah menjadi sumber yang menghidupkan. (bill halan/ve nahak/kmkl)

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...