Kekalahan The Minions dan Momok Baru Bernama Servis

Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya/badmintonindonesia.org
Pertandingan kedua penyisihan Grup B Piala Thomas antara Indonesia kontra Thailand, Selasa (22/5/2018) kemarin cukup menguras emosi. Meski di atas kertas tuan rumah kurang diunggulkan, situasi di lapangan pertandingan ternyata berbeda. Prediksi dan statistik tidak menjamin hasil akhir. Dalam pernyataan yang jamak disebut kira-kira demikian: segala sesuatu bisa terjadi.

Sedikitnya ada dua momen yang membuat saya harus menahan napas lebih lama. Pertama, saat menyaksikan partai kedua antara Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya menghadapi Kitthisak Namdash dan Nipitphon Puangpuaphet. Merujuk pengalaman dan rangking dunia, pasangan tuan rumah itu bukan lawan sepadan the Minions. Marcus dan Kevin yang kini berada di puncak rangking BWF diprediksi bakal menang mudah.

Namun harapan tinggal harapan. Meski berstatus non unggulan, Namdash dan Puangpuaphet tak mau menyerah sebelum bertanding. Keduanya membuat pendukung tuan rumah bersorak dan sesama anggota Tim Thomas dan Uber yang berada di sisi lapangan tersenyum dan menari. Setelah mengunci set pertama, keduanya sempat mendapat tekanan di game kedua. Namun mereka berhasil menjaga momentum untuk menyumbang poin. Diluar perkiraan, wakil tuan rumah ini membungkam juara All England itu dalam pertarungan selama 48 menit dengan skor akhir 16-21, 21-13, 12-21.

Kemenangan di partai kedua membuat Thailand bersemangat. Kedudukan kedua tim pun imbang. Partai ketiga menjadi krusial. Situasi berbeda terjadi di kubu Indonesia. Kekalahan The Minions meninggalkan kekecewaan. Apalagi para pencinta bulu tangkis di tanah air yang sempat terganggu dengan tayangan TVRI yang tiba-tiba berpindah ke lain program. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi netizen dan yang tak terpublikasikan menghadapi dua situasi yang cukup sensitif ini!

Harapan besar kini berpindah ke pundak Ihsan Maulana Mustofa yang tampil sebagai tunggal kedua.  Apakah ia mampu mencatatkan kemenangan mudah seperti Anthony Ginting di partai pertama? Mampukah Ihsan bermain dengan tenang dan sambil sesekali mengumbar senyum seperti saat Ginting membuat Khosit Phetpradab tak berkutik?

Situasi sungguh berbeda. Ginting memiliki modal bagus saat menghadapi Phetpradab. Selain berada di depan lawannya dalam daftar rangking dunia, ia juga unggul dalam head to head. Ginting, pemain berperingkat 13 dunia, unggul 2-1 dalam rekor pertemuan atas pemain berperingkat 26 dunia itu. Di pertemuan terakhir di Malaysia Masters 2017, Ginting menang, meski harus bermain rubber set, 26-28 21-10 21-12.

Sementara Ihsan sebaliknya. Wangcharoen lebih diunggulkan baik dari peringkat dunia maupun rekor pertemuan. Wangcharoen berperingkat 32, sementara Ihsan 16 strip di belakangnya. Tidak hanya itu. Ihsan pun kalah di pertemuan sebelumnya pada awal Januari di Thailand Masters 2018. Saat itu pemain berusia 22 tahun ini menyerah straight set 14-21 13-21.

Situasi yang kurang menguntungkan ini membuat degup jantung kubu Indonesia makin kencang. Apalagi Ihsan! Selain kurang diunggulkan, ia juga mendapat tekanan tambahan dari situasi secara keseluruhan. Batin pemain asal Tasikmalaya, Jawa Barat ini tentu cukup bergolak.

Ihsan berusaha tampil tenang. Sempat tertinggal di game pertama, ia mampu menyamakan kedudukan, bahkan dengan lebih meyakinkan di game kedua. Puncak pertarungan terjadi di game ketiga. Tidak hanya menguras tenaga kedua pemain, energi para penonton pun tersedot. Betapa tidak, kedua pemain menampilkan duel ketat. Saling kejar mengejar angka setelah kedudukan sama kuat 17-17. Bisa disebut setelah itu, jantung para penonton bekerja lebih kencang. Tanpa perlu berpanjang kata, perjalanan skor ini sudah cukup menggambarkannya: 18-18, 20-18, 20-20.

Setelah itu masih ada tiga match point lagi. Ihsan sempat tertinggal 20-21, sebelum menyamakan kedudukan menjadi 21-21. Selanjutnya giliran Ihsan memimpin, namun berhasil dikejar Wangcharoen. Ihsan kembali memimpin setelah “challenge in”. Angka terakhir diwarnai reli panjang sebelum Ihsan menutupnya dengan “smash” keras. Bagi saya, “rally” terakhir menjadi “play of the day” yang mengkombinasikan teknik dan tensi yang panjang.

Tidak hanya itu, pertarungan kedua pemain selama 1 jam dan 22 menit itu menjadi duel terpanjang sementara di turnamen ini. Kemenangan Ihsan menjadi titik balik bagi tim Indonesia. Pasangan ganda putra Fajar Alfian/Mohammad Rian Ardianto serta tunggal ketiga, Firman Abdul Kholik tanpa kesulitan meraih poin. Kemenangan dua game langsung yang diraih di dua partai itu memastikan skor akhir 4-1 untuk keunggulan Merah Putih sekaligus membuka langkah ke perempat final.

Kredit patut diberikan kepada Ihsan. Dalam segala tekanan, ia mampu menyumbang poin. Ia melewati momen penuh ketegangan dengan semangat juang pantang menyerah hingga akhirnya menang. Meski begitu perjuangan tim secara keseluruhan patut diapresiasi.

Apresiasi juga patut diberikan kepada Thailand. Mereka telah menghadirkan tontonan yang menarik berkat “fighting spirit” yang memukau, tidak hanya kepada Indonesia tetapi juga Korea Selatan di pertandingan sebelumnya. Anak asuh Rexy Mainaky mampu mencuri satu game dari Indonesia dan dua game dari Korea Selatan, sebuah perjuangan yang pasti tidak mengecewakan penonton dan lebih dari cukup mendatangkan “respect.”

Momok baru Minions
Kembali lagi ke Minions. Menarik berbicara lebih jauh tentang kekalahan pasangan ini. Terlepas dari faktor keberuntungan dan ketidakberuntungan, ada pertanyaan penting yang patut dikemukakan. Mengapa keduanya bisa menyerah mudah dari pemain non unggulan?

Banyak sebab, tentu saja. Jeda kompetisi yang cukup lama bisa menjadi alasan. Tidak mengayun raket dalam turnamen kompetitif selama dua bulan membuat mereka harus kembali beradaptasi satu sama lain. Termasuk pula mendapatkan kembali “chemistry” yang telah dibangun selama ini.
Waktu selama 60 hari memang cukup panjang untuk beristirahat. Tetapi juga cukup signifikan mempengaruhi momentum dan tren positif yang telah dijaga. The Minions terakhir kali tampil di tur BFW saat mempertahankan All England pada Maret lalu. Kemenangan atas pasangan kawakan Denmark, Mathias Boe/Casten Mogensen, 21-18, 21-17 di Arena Birmingham, Inggris itu menjadi laga kompetitif terakhir mereka. Setelah itu mereka mengambil jeda dari turnamen, karena satu dan lain pertimbangan, terutama karena Gideon yang mengakhiri masa lajang.

Keduanya boleh saja digdaya di turnamen reguler atau individu. Namun situasi dan atmosfer berbeda dialami saat ambil bagian di turnamen beregu. Sudah banyak kejadian, pemain atau pasangan yang tampil baik di tur reguler malah gagal menyumbang poin. Pasangan sekelas Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan pun pernah mengalami hal serupa.

Selain faktor non teknis, ada alasan teknis yang patut dikedepankan. Usai pertandingan pasangan ini mengeluhkan angin di Impact Arena yang kurang bersahabat. Namun faktor ini semestinya tidak terlalu dipersoalkan karena keduanya kerap menghadapi hal seperti itu dan para pemain lawan pun mengalami hal yang sama.

Ada hal lain yang penting. Gideon cukup terganggu dengan keputusan hakim servis (services judges). Sekurangnya tiga kali servis pemain yang karib disapa Sinyo ini dinyatakan “fault.” Sinyo terlihat kecewa. Merasa tidak puas dengan keputusan hakim servis, ia sampai memperagakan kembali cara dan posisi raket saat servis.

Kekecewaan itu masih terbawa hingga pertandingan usai. Dalam keterangannya kepada badmintonindonesia.org, Gideon mengatakan keputusan sang pengadil pertandingan cukup mempengaruhi permainan mereka. Meski keduanya sudah sering menghadapi tekanan serupa, melakukan kesalahan yang sama lebih dari sekali bisa mempengaruhi fokus dan konsentrasi. “Karena saya mendapatkan banyak fault saat servis, jadi untuk bola sambungnya saya tidak bisa mengembangkan lagi,” beber Marcus.

Di All England, turnamen kedua setelah German Open yang memberlakukan aturan baru terkait servis, Sinyo tak mengalami kendala berarti. Mengapa kali ini ia justru melakukan kesalahan?
Pada aturan sebelumnya servis yang benar adalah posisi shuttle cock (kok) tidak boleh lebih tinggi dari pinggang si server. Aturan ini memiliki sisi implementasi yang fleksibel karena mengikuti postur setiap pemain. Tinggi pinggang setiap pemain tentu berbeda-beda sehingga tinggi kok pun mengikuti tinggi badan sang pemain.

Sementara aturan baru memiliki patokan yang sama bagi setiap pemain, terlepas dari seberapa tinggi dan pendeknya sang pemain. Seorang pemain diharuskan melakukan servis pada posisi kok maksimal setinggi 1,15 meter di atas permukaan lapangan. Posisi kok harus ditaksir setinggi itu sebelum dipukul ke bidang permainan lawan.

Aturan ini tidak lepas dari masalah. Karena berlaku umum, maka cukup merepotkan bagi pemain berpostur jangkung. Pemain dengan tinggi badan 190 cm ke atas tentu kesulitan, bila tidak ingin dikatakan dirugikan dengan kebijakan ini. Dibanding para pemain berpostur pendek, para pemain jangkung lebih repot untuk mengikuti aturan ini. 

Sebagai contoh, Viktor Axelsen yang bertinggi badan 1,94 m atau Li Junhui dari China yang menjulang setinggi 1,95 harus menurunkan posisi kok setinggi maksimal 1,15 meter.
Dalam tulisan sebelumnya di sini https://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/5aa7a67ebde5752ec1062673/all-england-2018-dan-momok-baru-bernama-servis , saya memberi contoh beberapa pemain yang dirugikan dengan aturan baru ini. Di German Open saat pertama kali diberlakukan Gloria Emanuele Widjadja, pemain ganda campuran yang berpasangan dengan Hafiz Faizal beberapa kali harus kehilangan poin karena serviss dianggap "fault." Wanita bertinggi 184 cm ini cukup kesulitan untuk memenuhi standar aturan dalam melakukan servis.

Kesalahan lebih banyak dilakukan Rizki Amelia Pradipta. Tak kurang dari 11 servis pemain bertinggi 1,71 ini dinyatakan salah. Jangankan pemain muda, pemain senior sekelas Hendra Setiawan pun kelimpungan untuk mendapatkan cara terbaik agar terhindar dari kesalahan. Saat mengalahkan ganda Denmark, Kim Astrup/Anders Skaarup Rasmussen, beberapa kali servis pemain senior itu dinyatakan salah.

Namun demikian aturan tersebut tidak bisa selalu dijadikan alasan. Setiap pemain dituntut untuk beradaptasi dengan aturan tersebut. Buktinya, para pemain jangkung bisa menerapkan aturan tersebut dengan baik. Malah kesalahan juga terjadi pada pemain berpostur “ideal”-untuk mengatakan tidak terlalu jangkung atau sebaliknya. Pengalaman Sinyo, yang bertinggi 1,68 kemarin adalah contoh.
Bila demikian, setiap pemain harus terus melatih dan membiasakan diri dengan aturan baru ini. Pemain sekelas Sinyo pun masih memiliki “PR” mendasar ini. Namun begitu ada hal lain yang harus dicermati oleh penyelenggara, dalam hal ini BWF.

Aturan ini tidak lepas dari kekurangan. Menyertai aturan baru ini, setiap pertandingan, seorang hakim servis ditemani alat manual untuk memastikan tinggi servis seorang pemain. Di sini tidak hanya kejelian mata seorang hakim yang ditutut, tetapi juga akurasi penilaian. Alasannya, seperti pernah dikemukakan Kabid Binpres PBSI, Susy Susanti, sudut pandang serta jarak alat dengan hakim servis bisa mempengaruhi penilaian benar tidaknya servis seorang pemain.

Subjektivitas itu pernah terjadi di German Open beberapa waktu lalu. Seperti penilaian pelatih ganda putra, Herry Iman Pierngadi terhadap Fajar Alfian. Menurut Herry IP, sejak babak pertama hingga semi final, pemain ganda putra itu tak mengalamai masalah dengan servis. Namun hal yang ditakutkan itu akhirnya terjadi di partai puncak.

"Namun kemudian di final terkena service fault sebanyak lima kali. Saya lihat posisi servisnya sama, tingginya sama, semuanya sama, hanya beda hakim servis yang bertugas," ungkap sosok yang dijuluki pelatih Naga Api tersebut.

Lantas apa solusi terbaik? Setiap pemain dan pelatih harus terus membiasakan diri dengan aturan baru tersebut. Dalam pertandingan, tidak ada yang bisa memastikan benar atau salah selain hakim servis yang telah dilengkapi alat bantu. Tekanan yang dialami bisa jadi membuat seorang pemain kehilangan kendali termasuk atas apa yang benar dan salah. Lebih dari itu, mereka tetaplah pemain dengan kodrat kemanusiawian yang tak bisa disangkal.

Segera berbenah The Minions!

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing