Kado Pahit HUT ke-67 PBSI dari Selandia Baru


Jonatan Christie runner up New Zealand S300/@Antoagustian
Judul di atas bisa jadi terlalu berlebihan. Seakan-akan tidak ada sesuatu yang bagus yang bisa membanggakan PBSI, yang baru saja berulang tahun ke-67 pada 5 Mei 2018 kemarin, setidaknya dalam setahun terakhir. Padahal ada banyak hal yang bisa dibanggakan. PBSI tentu bisa berbangga dengan pencapaian akumulatif gelar sepanjang tahun ini. Indonesia telah meraih tujuh gelar sepanjang HSBC BWF World Tour 2018 yang dimulai oleh Tommy Sugiarto di Thailand Super300 hingga Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya Sukamuljo di All England Super1000. Indonesia hanya tertinggal dari Jepang yang sudah mengemas sembilan gelar.

Bila dibanding dengan negara-negara kuat lainnya, pencapaian Indonesia sedikit lebih baik. Jumlah gelar kita lebih banyak dari China yang baru meraih empat gelar dan Denmark dengan lima gelar, sama banyak dengan China Taipe atau Taiwan. Bahkan Indonesia jauh lebih baik dari tetangga terdekat, Malaysia yang baru mendulang dua gelar.

Tidak hanya itu, terhitung sejak Kamis, 3 Mei 2018 lalu, Indonesia memiliki dua wakil di puncak peringkat BWF. Pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir menyusul “Duo Minions” yang lebih dulu bertengger di puncak rangking dunia. Lantas, apakah sederet hal bagus ini sudah lebih dari cukup membuat kita tersenyum lebar dengan prestasi bulu tangkis tanah air? Tentu tidak.

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan PBSI. Dua indikator keberhasilan di atas sekaligus menunjukkan sisi berbeda yang mencemaskan. Di satu sisi, kita tak boleh terbuai dengan perolehan tujuh gelar tersebut yang bisa membuat kita abai melihat lebih jauh. Dari tujuh gelar itu belum ada satu pun yang dipersembahkan sektor tunggal putri dan ganda campuran. Perolehan gelar terbanyak disumbangkan oleh ganda putra melalui “Duo Minions” (tiga gelar) dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto. Selanjutnya tunggal putra melalui Tommy Sugiarto dan Anthony Ginting. Satu gelar lainnya dari Greysia Polii dan Apriyani Rahayu di sektor ganda putri.

Dari waktu ke waktu, tahun ke tahun, sejak masa keemasan Susy Susanti dan Mia Audina berakhir, kita masih terus mendamba penerus. Ada yang beralasan tidak mudah mendapatkan talenta seistimewa Susy dan Mia. Belum lagi mereka hidup dan berkompetisi dalam iklim yang berbeda dengan saat ini. Namun, penantian gelar juara sudah berlangsung sedemikian lama, bahkan sudah hampir menjadi isu klasik, sementara di sisi lain kita tidak kehabisan stok pemain putri sama sekali. Bahkan beberapa dari antaranya sempat bersinar saat menjadi pemain junior namun transisi ke level senior belum membuahkan hasil, untuk mengatakan tidak berjalan dengan baik. Contoh paling jelas ada pada Gregoria Mariska, juara dunia junior 2017 yang masih kesulitan bersaing di level senior. Bukti lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian berikut.

Sementara di nomor ganda campuran, kita masih terus mengandalkan Owi dan Butet. Kita bersyukur pasangan yang sudah meraih hampir semua gelar bergengsi mulai dari Juara Asia, Juara Dunia hingga medali emas Olimpiade bisa menduduki rangking satu dunia meski di tahun ini belum juga meraih gelar. Sebelum Butet, sapaan Liliyana, benar-benar mundur, tentu kita berharap setelah mengukir prestasi di Indonesia Open S1000 pada awal Juli, serta Kejuaraan Dunia dan Asian Games sebulan berselang, kita mengharapkan sektor ini sudah memiliki pelapis setelah perjalanan Praveen Jordan dan Debby Susanto tak seindah yang diharapkan. Sejauh ini belum ada pasangan yang benar-benar mencuri perhatian seperti pasangan ganda putri Della Destiara dan Rizki Amelia belakangan ini.

Kado pahit

Pencapaian para pemain Indonesia di New Zealand Open Super 300 yang baru berakhir pada Minggu, (06/05/2018) adalah hal lain yang patut dibicarakan. Meski bukan turnamen kelas atas, beberapa pemain utama Indonesia ambil bagian. Sebut saja Jonatan Christie di nomor tunggal putra, dan beberapa pemain tunggal putri yang menjadi andalan saat ini seperti Fitriani, Gregoria Mariska dan Ruselli Hartawan. Hasilnya? Indonesia pulang tanpa gelar meski meloloskan dua wakil ke final.
Jojo, sapaan akrab Jonatan gagal menumbangkan Lin Dan. Jojo tak sanggup mengulangi kemenangan di pertemuan terakhir di China Open 2017. Saat itu Jojo menang straight sete 21-19 dan 21-16 sekaligus menipiskan skor head to head menjadi 2-3. Namun sayang di pertemuan keenam ini, pemain berperingkat 14 dunia itu justru takluk dua game langsung, 14-21 dan 19-21.

Kekalahan ini cukup disesali. Pemain berusia 20 tahun itu gagal mencapai klimaks. Ia tak sanggup menjaga konsistensi untuk mengeksploitasi kelemahan Super Dan. Meski pemain asal China itu kaya pengalaman dan mentalnya telah teruji, ia punya kelemahan yang tak bisa tidak diperdaya, yakni stamina. Jojo nyaris mengunci set kedua dan memaksa rubber set saat memimpin 19-15. Dua angka ternyata begitu mahal bagi Jojo namun sangat mudah bagi Super Dan untuk dikejar. Seandainya Jojo terus mencecar mantan pemain nomor satu dunia itu dengan bola-bola panjang yang menguras energi sambil taktis mengantisipasi penempatan bolanya, bukan tidak mungkin hasil akhir akan berbeda. Sayang, Jojo harus menanti tur berikutnya untuk meraih gelar juara setelah gagal di tiga partai puncak. Sebelumnya ia kalah di final Korea Super Series 2017 dari rekan sepelatnas, Anthony Ginting dan Sai Praneeth di Thailand Grand Prix Gold 2017.

Nasib serupa dialami pula finalis Indonesia lainnya, Berry Angriawan dan Hardianto. Setelah menyingkirkan unggulan empat dari Thailand, Bodin dan Nipithpon di semi final, Berry dan Hardianto gagal menggasak, Wang Chi Lin/Chen Hung Ling. Wakil Indonesia yang diunggulkan di tempat kedua ini menyarah dua game langsung, 17-21 dan 17-21 dari unggulan pertama dari Taiwan itu.

Berry/Hardi tidak hanya gagal balas dendam atas kekalahan di pertemuan pertama di Indonesia Masters beberapa bulan lalu, sekaligus gagal mengulangi catatan manis tahun lalu yang mampu meraih dua gelar juara masing-masing di Malaysia Masters dan Thailand Open GPG. Sepanjang tahun ini, pencapaian di New Zealand Open merupakan yang terbaik setelah terhenti di semi final Thailand Masters S300 dan menginjak ronde kedua di tiga turnamen terakhir yang diikuti yakni Malaysia Masters S500, Indonesia Masters S500 dan Kejuaraan Asia.

Kembali ke tunggal putri. Di turnamen yang digelar di Auckland ini, para srikandi Merah Putih tak bisa melewati para pemain China. Ruselli dihentikan Cai Yan Yan di babak pertama, menyusul Fitriani yang takluk di tangan Zhang Yiman di babak kedua. Sedikit lebih baik, Gregoria Mariska melangkah hingga delapan besar, namun akhirnya gagal ke semi final setelah ditekuk Han Yue. 

Mirisnya, para pemain andalan Indonesia di Piala Uber pada akhir Mei ini menyerah dari para pemain China non unggulan. Mereka bukan para pemain utama, melainkan masih lapis kesekian. Di atas mereka masih ada He Bingjiao, Chen Yufei, Xiaoxin, Fangjie, Sun Yu, Xuefei, dan Shiyi. Meski para pemain utama Negeri Tirai Bambu ini masih kalah bersaing di jajaran elite, setidaknya mereka telah membentuk rantai regenerasi yang baik. China setelah masa keemasan Wang Shixian dan kawan-kawan sempat mengalami kevakuman, namun kini perlahan lahan mereka mulai mendapatkan para penerus, termasuk Zhang Yiman, yang menyisihkan Fitriani dan terus melangkah hingga final meski akhirnya kandas di hadapan unggulan satu asal Jepang, Sayaka Takahashi di partai final New Zealand Open kali ini. Zhang, kelahiran 1997, tidak hanya “menjual” kecantikannya, tetapi juga skill yang meyakinkan. Cepat atau lambat, China akan kembali meramaikan persaingan di puncak rangking dunia.

Sementara Indonesia masih terus berkutat dengan persoalan turun temurun. Kini kita hanya punya empat andalan yang terlanjur dipaksakan untuk pentas di level senior karena kita alpa menjaga rantai regenerasi. Sementara itu empat pemain tersebut belum juga mendapatkan konsistensi di titik kritis yakni fase transisi. Mengapa? Prestasi di kelas junior tidak menjamin kesuksesan di level senior. Butuh perjuangan yang jauh lebih keras di level atas. Bila tidak kita akan terus terjebak di sana.

Inilah salah satu akar persoalan yang perlu segera dicabut PBSI. Tidak cukup mengasah skill dan menempa teknik Gregoria cs yang secara potensial tidak kalah dengan para pemain seangkatan dari mancanegara yang telah salip menjadi bintang di tingkat senior. Hal penting adalah mempertebal mental dan menumbuhkan semangat juang.

Kembali terkait Gloria. Ia punya prasyarat menjadi pemain bintang. Bahkan ada yang menyebutnya mirip Wang Shixian yang memiliki dropshot tajam tetapi kurang cakap dalam permainan netting. Sebelum menghadapi Han Yue, Jorji, begitu ia disapa, memiliki modal dua kemenangan di level junior. Namun saat bertemu di level senior ternyata hasil berbeda. Ia kalah 19-21 dan 16-21 dari Han Yue yang secara peringkat masih tertinggal jauh darinya. Jorji di peringkat 38, pemain China itu masih tercecer di urutan 112.

Fitriani juga memiliki modal skill bagus. Di beberapa tur sebelumnya kerap tampil mengejutkan. Namun ia belum bisa lepas dari masalah klasik yakni terlambat panas. Selalu saja tertinggal di awal game. Ia baru terjaga menjelang usai. Namun sayang, jarak ketertinggalan sudah terlampau jauh untuk dikejar.

Terus membicarakan sektor tertentu tidak bermaksud melemahkan semangat, tetapi berharap mendapat skala perhatian yang lebih agar tidak terus tertinggal dari negara-negara lain. Sekiranya kado pahit yang diperoleh dari Selandia Baru di hari bahagia PBSI ini dimaknai sebagai lecutan kepada para pihak terkait untuk bekerja lebih keras. Tanggung jawab terhadap prestasi bulu tangkis Indonesia tidak hanya berada di pundak PBSI semata.

Bravo PBSI! Sampai bertemu di turnamen selanjutnya di Australia S300 pada 8-13 Mei 2018.

N.B
Daftar juara #NewZealandSuper300:
Sumber: www.tournamentsoftware.com






Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing