China Butuh 6 Tahun Membawa Pulang Piala Thomas, Berapa Lama Indonesia Harus Menanti?
Tim Thomas China/gambar: http://bwfthomasubercups.com |
China pun semakin mendekati Indonesia dalam koleksi gelar
Piala Thomas. Tambahan satu gelar ini membuat China kini telah mengemas 10
gelar, berjarak tiga gelar dari Indonesia. China terakhir kali menjadi juara
pada 2012 di Wuhan, melengkapi torehan lima gelar secara beruntun sejak 2004 di
Jakarta. Dengan demikian Negara Panda itu hanya butuh enam tahun untuk kembali
merengkuh lambing supremasi beregu tersebut. Lantas, bagaimana Indonesia?
Sebelum berbicara tentang Indonesia, mari kita lihat
pertandingan final hari ini. Kedua tim sama-sama menurunkan amunisi terbaik. Namun
Jepang melakukan sejumlah rotasi, terutama di sektor ganda. Takuto Inoue dan Yuki
Kaneko diturunkan sebagai ganda pertama, menyusul Kento Momota di partai
pertama. Sementara itu pasangan senior, Takeshi Kamura dan Keigo Sonoda
dipisah.
Kamura diistirahatkan untuk memberi tempat kepada pemain
muda, Yuta Watanabe. Sebenarnya Jepang bisa saja memainkan Keigo dan Sonoda
yang sangat berpengalaman dan menjadi pasangan Jepang dengan rangking
tertinggi. Tetapi mereka malah memberi tempat pertama kepada Inoue dan Kaneko
mengingat lawan yang dihadapi adalah Liu Cheng dan Zhang Nan. Meski Inoue dan
Kaneko berperingkat lebih rendah, yakni 11 berbanding 3, namun pasangan ini
memiliki catatan bagus menghadapi pasangan berbeda generasi dari China itu.
Pasangan Jepang itu mencatatkan kemenangan dalam satu-satunya pertemuan
sebelumnya di Hong Kong Open 2017. Saat itu Inoue dan Kaneko menang usai
bertanding rubber set, 18-21 21-17 19-21.
Apakah itu satu-satunya alasan Inoue dan Kaneko menjadi
ganda pertama? Tentu tidak. Jepang bisa saja tetap mengandalkan Kamura dan
Sonoda toh pasangan ini mampu memetik kemenangan di pertemuan terakhir
menghadapi Cheng dan Nan. Namun, performa pasangan berperingkat enam dunia itu
kurang meyakinkan kali ini. Keduanya sudah menelan dua kali kekalahan.
Tak heran bila Jepang berani membongkar pasang dengan
mentandemkan Sonoda dan Watanabe sebagai ganda kedua. Watanabe memang masih
berusia 20 tahun, tetapi sudah mampu menjuarai level super series premier atau
sekarang disebut Super 1000 yakni di ajang All England. Selain itu, kombinasi
senior dan junior itu belum pernah bertemua dua tembok raksasa China itu. Secara
psikologis tidak terlalu terpengaruh, meski secara peringkat Li dan Liu berada
di atas semua pasangan Jepang.
Bagaimana hasilnya? Inoue dan Kaneko gagal menyumbang poin
kedua. Keduanya menyerah straight set 21-10 21-18. Sementraa eksperimen
kedua yang dilakukan nyaris berhasil. Sonoda dan Watanabe hampir saja memaksa
pertandingan berlanjut hingga partai kelima. Keduanya berhasil mencuri game
pertama, namun gagal mempertahankan keunggulan di game kedua, dan memaksimalkan
keunggulan di poin kritis di set penentuan. Watanabe terlihat gugup saat
memegang “match point” dalam kedudukan 20-18. Situasi ini justru dimanfaatkan Li/Liu
untuak mengejar ketertinggalan dan mengunci kemenangan, 17-21 21-19 22-20
dalam tempo 1 jam dan 10 menit.
Meski gagal memperpanjang nafas Jepang, keduanya sudah
menampilkan performa ciamik. Mereka mampu menyulitkan dua pemain jangkung. Secara
postur Watanabe kalah tinggi. Ia hanya bertinggi badan 1,65 m. Bandingkan dengan
Li yang menjulang setinggi 1,95. Selain paling muda, Watanabe juga paling kecil
dalam tim. Meski begitu kelincahan dan pergelangan tangannya kuat sehingga mampu
beradu dengan para lawan yang berpostur lebih tinggi dan memiliki pukulan yang
kuat.
Selain Watanabe, pemain lain yang cukup mencuri perhatian di
partai final ini adalah Kento Momota. Sejak kembali ke tim nasional usai
tersandung masalah perjudian, Momota langsung tancap gas. Pemain berusia 23
tahun tidak butuh waktu lama untuk kembali bersaing di jajaran elite dunia,
seperti pernah dilakukan sebelum tersandung masalah.
Di piala Thomas kali ini, pemain yang pernah menghuni
rangking dua dunia itu tak pernah kalah. Tak heran ia menjadi salah satu pemain
kunci meraih poin. Lolosnya Jepang ke partai puncak tidak lepas dari andil
Momota. Sebagai tunggal pertama di partai pertama, Momota selalu berhasil
membuka jalan dengan kemenangan. Tentu ini membangkitkan rasa percaya diri para
pemain lain.
Di partai final, Momota mampu menjungkalkan Chen Long. Meski
Chen lebih dominan dalam lima pertemuan sebelumnya, dengan empat kemenangan
pertama, Momota tak gentar. Tidak hanya mengimbangi permainan net Chen,
sesekali Momota membuat pemain berperingkat lima dunia itu separuh tak percaya.
Bila jawara Olimpiade Rio 2016 ini terkenal dengan permainan netting yang
ciamik, Momota bahkan mampu mengkreasi permainan netting sangat tipis tanpa
bisa dijangkau Chen.
Tidak hanya netting yang tipis, Momota juga memiliki senjata
mematikan lainnya. Beberapa senjata itu adalah smash yang tajam dan akurasi
pukulan yang tinggi. Skill tersebut dipadu dengan kesabaran, keuletan dan
kepintaran. Ia tahu kapan harus menyerang dan kapan harus memancing lawan. Tidak
hanya itu Momota hampir jarang melakukan kesalahan sendiri.
Bila harus memilih siapa pemain Jepang yang menjadi kunci,
nama Momota patut disebut pertama. Jepang bisa mengejutkan hingga partai final
karena Momota tak terkalahkan. Para pemain yang lebih diunggulkan seperti Ng Ka
Long (Hong Kong), Chou Tirn Chen (Taiwan) hingga pemain nomor satu dunia asal
Denmark, Viktor Axelsen dibuat tak berkutik.
Sayangnya kecemerlangan Momota gagal diikuti Kenta
Nishimoto. Tungga kedua ini gagal mencuri poin dari Shi Yuqi. Meski di
pertemuan terakhir, Nishimoto-kini berperingkat 14 dunia, sanggup mengalahkan
Yuqi, kali ini ia tak kuasa meladeni juara All England itu. Kenta menyerah dua
game langsung, 21-12 21-17 dalam tempo 45 menit.
Hasil final Piala Thomas/www.tournamnetsoftware.com |
Berapa lama Indonesia
menanti?
Kembali ke pertanyaan sebelumnya. Bila China butuh enam
tahun untuk kembali menjadi juara, berapa lama waktu yang dibutuhkan Indonesia
untuk kembali ke podium tertinggi? Indonesia terakhir kali menjadi juara pada
2002 di Guangzhou, usai menumbangkan Malaysia dengan skor 3-2. Bila demikian
Indonesia sebenarnya sudah menanti selama 16 tahun. Lantas, berapa lama lagi
Indonesia harus menanti?
Tentu pertanyaan ini tidak mudah. Tidak bisa dihitung secara
matematis pula. Tidak ada kalkulasi yang adil dan akurat untuk membandingkan
satu sama lain. Dengan mengabaikan periode awal, China bahkan pernah berada
dalam masa penantian yang cukup lama sejak menjadi juara pada 1990 di Tokyo dan
baru bisa mengulanginya di Jakarta 12 tahun kemudian.
Hal yang paling realistis adalah belajar dari kegagalan kali
ini untuk mempersiapkan diri di edisi berikutnya. Apa saja pelajaran yang bisa
dipetik dan bagaimana solusi yang harus diambil?
Pertama, dengan
materi tim yang ada China memang pantas menjadi juara. China menegaskan
statusnya sebagai unggulan pertama. Termasuk mengungguli sang juara bertahan
Denmark sebagai unggulan kedua dan Indonesia di tempat ketiga. Bila Jepang yang
tak masuk hitungan bisa mencapai final, mengapa Indonesia hanya bisa bertahan
hingga semi final?
Bila Jepang memiliki pemain kunci yang konsisten menyumbang
poin, tidak demikian dengan Indonesia. Meski secara materi tak kalah kelas,
namun para pemain yang diandalkan kadang tampil kurang konsisten. Indonesia
hanya memiliki Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya yang baru terlihat tajinya
setelah kalah di laga kedua penyisihan Grup B menghadapi tuan rumah Thailand.
Sekalipun harapan besar diberikan kepada The Minions tidak ada artinya bila
tidak didukung yang lain. Ini bukan turnamen individu.
Sementara para pemain muda yang menjadi andalan di sektor
tunggal belum bisa menunaikan tanggung jawab. Anthony Ginting yang secara
kualitas baik, masih harus menyelesaikan urusan dengan dirinya sendiri. Konsistensi
untuk menjaga keunggulan masih menjadi pekerjaan rumah utama. Begitu juga
Jonathan Christie, Ihsan Maulana Mustofa dan Firman Abdul Kholik. Mereka masih
harus banyak belajar dari pemain muda seperti Momota dan Shi Yuqi.
Kedua, Indonesia
menyertakan pasangan ganda senior, Hendra Setiawan dan Mohamad Ahsan. Kehadiran
keduanya diikhtiarkan untuk menyuntikkan semangat dan ambil bagian dalam
pertandingan-pertandingan krusial. Kembalinya Hendra ke pelatnas setidaknya
bertujuan untuk membawa pulang Piala Thomas ke tanah air. Namun harapan
tersebut meleset.
Tidak ada kesalahan yang patut dialamatkan kepada mereka.
Mereka hanya menjalankan kepercayaan yang diberikan. Selain itu kita tidak bisa
mengharapkan mereka tampil seperti saat masih berada di puncak performa. Usia
tak bisa dibohongi, bukan?
Meski begitu kita tidak harus cepat melupakan keduanya.
Selagi masih berada di Pelatnas, keduanya bisa berbagi ilmu kepada para pemain
muda. Mereka bisa terus dipasangkan dengan para pemain muda agar bisa cepat
berkembang dan naik kelas. Ilmu dari sang juara dunia masih sangat dibutuhkan.
Tuntunan keduanya sangat dibutuhkan para junior seperti yang
pernah dilakukan China dengan Cai Yun dan Fu Haifeng yang dipasangkan dengan
para pemain muda. Para pemain senior bisa berbagi pengalaman bertanding
sementara yang muda mendukung dengan tenaga dan daya juang.
Ketiga, hal lain
yang lebih penting adalah membangun kembali fondasi untuk meraih kejayaan di
Piala Thomas dua tahun mendatang. Saatnya memberi kesempatan lebih kepada para
pemain muda. Para pemain junior tidak harus selalu bergulat di kelas
International Series atau International Challenge. Agar mereka bisa lekas
bersaing di level atas, para junior dipasangkan dengan pemain senior untuk
ambil bagian di turnamen level menengah ke atas dengan menggunakan “notional
point.”
Cara ini dipakai oleh negara-negara lain seperti Korea
Selatan. Sebagai contoh, Baek Ha Na dan Lee Yu Rim. Para pemain muda Korea ini
sudah langsung bisa tampil di tur Super Seris dan Super Series Premier, untuk
mengatakan level Super750 dan Super1000 karena berpasangan dengan para pemain
senior. Baek Ha Na berpasangan dengan Chae Yoo-jung, sementara Lee Yu Rim
berpasangan dengan Shin Seung-chan, bermodalkan “notional point” bisa tampil di
China Super Series Premier dan Hong Kong Super Series 2017. Dari pengalaman tersebut kini para pemain
muda itu sudah bisa bersaing di papan atas.
Kita berharap performa Ginting, Jojo, dan kawan-kawan bisa
terus diasah sambil memberi kesempatan kepada para pemain di bawah mereka untuk
unjuk gigi. Sementara itu di sektor ganda, selain menggantungkan harapan kepada
The Minions, sudah saatnya Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto mengambil peran
penting.
Setelah Piala Thomas, masih ada beberapa event besar lainnya
di tahun ini. Selain Kejuaraan Dunia, masih ada Asian Games yang akan
berlangsung di tanah air. Indonesia sepertinya masih akan mengandalkan materi pemain
yang sama di Asian Games nanti. Namun setelah itu sudah saatnya para pemain
muda dipersiapkan untuk mengambil peran, misalnya di SEA Games 2019. Tidak harus
menunggu tahun depan untuk mempersiapkan mereka, tetapi sejak sekarang!
Termasuk untuk Piala Thomas dua tahun lagi agar masa puasa 16 tahun berakhir
sudah.
Akhirulkalam, selamat kepada tim Thomas China. Terima kasih
kepada TVRI yang telah menghadirkan siaran langsung hingga laga pamungkas,
meski tanpa Indonesia. Untuk Hendra Setiawan dan kawan-kawan, terima kasih. Mari
bung..kita rebut kembali!!
Comments
Post a Comment