China Butuh 6 Tahun Membawa Pulang Piala Thomas, Berapa Lama Indonesia Harus Menanti?

Tim Thomas China/gambar: http://bwfthomasubercups.com
China akhirnya berhasil membawa pulang trofi Piala Thomas. Di partai final yang digelar di Impact Arena, Bangkok, Thailand, Minggu (27/05/2018), Negeri Tirai Bambu itu sukses membungkam Jepang dengan skor 3-1. Kemenangan China ini sekaligus mengandaskan harapan Jepang untuk mengawinkan gelar, setelah sehari sebelumnya berhasil merengkuh Piala Uber. Dengan demikian baru dua negara yang mampu meraih dua trofi itu dalam satu pagelaran, yakni China dan Indonesia. Prestasi terbaik Indonesia ditorehkan pada 1994 di Jakarta dan mengulanginya dua tahun kemudian di Hong Kong.

China pun semakin mendekati Indonesia dalam koleksi gelar Piala Thomas. Tambahan satu gelar ini membuat China kini telah mengemas 10 gelar, berjarak tiga gelar dari Indonesia. China terakhir kali menjadi juara pada 2012 di Wuhan, melengkapi torehan lima gelar secara beruntun sejak 2004 di Jakarta. Dengan demikian Negara Panda itu hanya butuh enam tahun untuk kembali merengkuh lambing supremasi beregu tersebut. Lantas, bagaimana Indonesia?

Sebelum berbicara tentang Indonesia, mari kita lihat pertandingan final hari ini. Kedua tim sama-sama menurunkan amunisi terbaik. Namun Jepang melakukan sejumlah rotasi, terutama di sektor ganda. Takuto Inoue dan Yuki Kaneko diturunkan sebagai ganda pertama, menyusul Kento Momota di partai pertama. Sementara itu pasangan senior, Takeshi Kamura dan Keigo Sonoda dipisah.

Kamura diistirahatkan untuk memberi tempat kepada pemain muda, Yuta Watanabe. Sebenarnya Jepang bisa saja memainkan Keigo dan Sonoda yang sangat berpengalaman dan menjadi pasangan Jepang dengan rangking tertinggi. Tetapi mereka malah memberi tempat pertama kepada Inoue dan Kaneko mengingat lawan yang dihadapi adalah Liu Cheng dan Zhang Nan. Meski Inoue dan Kaneko berperingkat lebih rendah, yakni 11 berbanding 3, namun pasangan ini memiliki catatan bagus menghadapi pasangan berbeda generasi dari China itu. Pasangan Jepang itu mencatatkan kemenangan dalam satu-satunya pertemuan sebelumnya di Hong Kong Open 2017. Saat itu Inoue dan Kaneko menang usai bertanding rubber set, 18-21 21-17 19-21.

Apakah itu satu-satunya alasan Inoue dan Kaneko menjadi ganda pertama? Tentu tidak. Jepang bisa saja tetap mengandalkan Kamura dan Sonoda toh pasangan ini mampu memetik kemenangan di pertemuan terakhir menghadapi Cheng dan Nan. Namun, performa pasangan berperingkat enam dunia itu kurang meyakinkan kali ini. Keduanya sudah menelan dua kali kekalahan.

Tak heran bila Jepang berani membongkar pasang dengan mentandemkan Sonoda dan Watanabe sebagai ganda kedua. Watanabe memang masih berusia 20 tahun, tetapi sudah mampu menjuarai level super series premier atau sekarang disebut Super 1000 yakni di ajang All England. Selain itu, kombinasi senior dan junior itu belum pernah bertemua dua tembok raksasa China itu. Secara psikologis tidak terlalu terpengaruh, meski secara peringkat Li dan Liu berada di atas semua pasangan Jepang.

Bagaimana hasilnya? Inoue dan Kaneko gagal menyumbang poin kedua. Keduanya menyerah straight set 21-10 21-18. Sementraa eksperimen kedua yang dilakukan nyaris berhasil. Sonoda dan Watanabe hampir saja memaksa pertandingan berlanjut hingga partai kelima. Keduanya berhasil mencuri game pertama, namun gagal mempertahankan keunggulan di game kedua, dan memaksimalkan keunggulan di poin kritis di set penentuan. Watanabe terlihat gugup saat memegang “match point” dalam kedudukan 20-18. Situasi ini justru dimanfaatkan Li/Liu untuak mengejar ketertinggalan dan mengunci kemenangan, 17-21 21-19 22-20 dalam tempo 1 jam dan 10 menit.

Meski gagal memperpanjang nafas Jepang, keduanya sudah menampilkan performa ciamik. Mereka mampu menyulitkan dua pemain jangkung. Secara postur Watanabe kalah tinggi. Ia hanya bertinggi badan 1,65 m. Bandingkan dengan Li yang menjulang setinggi 1,95. Selain paling muda, Watanabe juga paling kecil dalam tim. Meski begitu kelincahan dan pergelangan tangannya kuat sehingga mampu beradu dengan para lawan yang berpostur lebih tinggi dan memiliki pukulan yang kuat.
Selain Watanabe, pemain lain yang cukup mencuri perhatian di partai final ini adalah Kento Momota. Sejak kembali ke tim nasional usai tersandung masalah perjudian, Momota langsung tancap gas. Pemain berusia 23 tahun tidak butuh waktu lama untuk kembali bersaing di jajaran elite dunia, seperti pernah dilakukan sebelum tersandung masalah.

Di piala Thomas kali ini, pemain yang pernah menghuni rangking dua dunia itu tak pernah kalah. Tak heran ia menjadi salah satu pemain kunci meraih poin. Lolosnya Jepang ke partai puncak tidak lepas dari andil Momota. Sebagai tunggal pertama di partai pertama, Momota selalu berhasil membuka jalan dengan kemenangan. Tentu ini membangkitkan rasa percaya diri para pemain lain.

Di partai final, Momota mampu menjungkalkan Chen Long. Meski Chen lebih dominan dalam lima pertemuan sebelumnya, dengan empat kemenangan pertama, Momota tak gentar. Tidak hanya mengimbangi permainan net Chen, sesekali Momota membuat pemain berperingkat lima dunia itu separuh tak percaya. Bila jawara Olimpiade Rio 2016 ini terkenal dengan permainan netting yang ciamik, Momota bahkan mampu mengkreasi permainan netting sangat tipis tanpa bisa dijangkau Chen.

Tidak hanya netting yang tipis, Momota juga memiliki senjata mematikan lainnya. Beberapa senjata itu adalah smash yang tajam dan akurasi pukulan yang tinggi. Skill tersebut dipadu dengan kesabaran, keuletan dan kepintaran. Ia tahu kapan harus menyerang dan kapan harus memancing lawan. Tidak hanya itu Momota hampir jarang melakukan kesalahan sendiri.

Bila harus memilih siapa pemain Jepang yang menjadi kunci, nama Momota patut disebut pertama. Jepang bisa mengejutkan hingga partai final karena Momota tak terkalahkan. Para pemain yang lebih diunggulkan seperti Ng Ka Long (Hong Kong), Chou Tirn Chen (Taiwan) hingga pemain nomor satu dunia asal Denmark, Viktor Axelsen dibuat tak berkutik.

Sayangnya kecemerlangan Momota gagal diikuti Kenta Nishimoto. Tungga kedua ini gagal mencuri poin dari Shi Yuqi. Meski di pertemuan terakhir, Nishimoto-kini berperingkat 14 dunia, sanggup mengalahkan Yuqi, kali ini ia tak kuasa meladeni juara All England itu. Kenta menyerah dua game langsung, 21-12 21-17 dalam tempo 45 menit.
Hasil final Piala Thomas/www.tournamnetsoftware.com
Berapa lama Indonesia menanti?
Kembali ke pertanyaan sebelumnya. Bila China butuh enam tahun untuk kembali menjadi juara, berapa lama waktu yang dibutuhkan Indonesia untuk kembali ke podium tertinggi? Indonesia terakhir kali menjadi juara pada 2002 di Guangzhou, usai menumbangkan Malaysia dengan skor 3-2. Bila demikian Indonesia sebenarnya sudah menanti selama 16 tahun. Lantas, berapa lama lagi Indonesia harus menanti?

Tentu pertanyaan ini tidak mudah. Tidak bisa dihitung secara matematis pula. Tidak ada kalkulasi yang adil dan akurat untuk membandingkan satu sama lain. Dengan mengabaikan periode awal, China bahkan pernah berada dalam masa penantian yang cukup lama sejak menjadi juara pada 1990 di Tokyo dan baru bisa mengulanginya di Jakarta 12 tahun kemudian.

Hal yang paling realistis adalah belajar dari kegagalan kali ini untuk mempersiapkan diri di edisi berikutnya. Apa saja pelajaran yang bisa dipetik dan bagaimana solusi yang harus diambil?
Pertama, dengan materi tim yang ada China memang pantas menjadi juara. China menegaskan statusnya sebagai unggulan pertama. Termasuk mengungguli sang juara bertahan Denmark sebagai unggulan kedua dan Indonesia di tempat ketiga. Bila Jepang yang tak masuk hitungan bisa mencapai final, mengapa Indonesia hanya bisa bertahan hingga semi final?

Bila Jepang memiliki pemain kunci yang konsisten menyumbang poin, tidak demikian dengan Indonesia. Meski secara materi tak kalah kelas, namun para pemain yang diandalkan kadang tampil kurang konsisten. Indonesia hanya memiliki Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya yang baru terlihat tajinya setelah kalah di laga kedua penyisihan Grup B menghadapi tuan rumah Thailand. Sekalipun harapan besar diberikan kepada The Minions tidak ada artinya bila tidak didukung yang lain. Ini bukan turnamen individu.

Sementara para pemain muda yang menjadi andalan di sektor tunggal belum bisa menunaikan tanggung jawab. Anthony Ginting yang secara kualitas baik, masih harus menyelesaikan urusan dengan dirinya sendiri. Konsistensi untuk menjaga keunggulan masih menjadi pekerjaan rumah utama. Begitu juga Jonathan Christie, Ihsan Maulana Mustofa dan Firman Abdul Kholik. Mereka masih harus banyak belajar dari pemain muda seperti Momota dan Shi Yuqi.

Kedua, Indonesia menyertakan pasangan ganda senior, Hendra Setiawan dan Mohamad Ahsan. Kehadiran keduanya diikhtiarkan untuk menyuntikkan semangat dan ambil bagian dalam pertandingan-pertandingan krusial. Kembalinya Hendra ke pelatnas setidaknya bertujuan untuk membawa pulang Piala Thomas ke tanah air. Namun harapan tersebut meleset.

Tidak ada kesalahan yang patut dialamatkan kepada mereka. Mereka hanya menjalankan kepercayaan yang diberikan. Selain itu kita tidak bisa mengharapkan mereka tampil seperti saat masih berada di puncak performa. Usia tak bisa dibohongi, bukan?

Meski begitu kita tidak harus cepat melupakan keduanya. Selagi masih berada di Pelatnas, keduanya bisa berbagi ilmu kepada para pemain muda. Mereka bisa terus dipasangkan dengan para pemain muda agar bisa cepat berkembang dan naik kelas. Ilmu dari sang juara dunia masih sangat dibutuhkan.

Tuntunan keduanya sangat dibutuhkan para junior seperti yang pernah dilakukan China dengan Cai Yun dan Fu Haifeng yang dipasangkan dengan para pemain muda. Para pemain senior bisa berbagi pengalaman bertanding sementara yang muda mendukung dengan tenaga dan daya juang.

Ketiga, hal lain yang lebih penting adalah membangun kembali fondasi untuk meraih kejayaan di Piala Thomas dua tahun mendatang. Saatnya memberi kesempatan lebih kepada para pemain muda. Para pemain junior tidak harus selalu bergulat di kelas International Series atau International Challenge. Agar mereka bisa lekas bersaing di level atas, para junior dipasangkan dengan pemain senior untuk ambil bagian di turnamen level menengah ke atas dengan menggunakan “notional point.”

Cara ini dipakai oleh negara-negara lain seperti Korea Selatan. Sebagai contoh, Baek Ha Na dan Lee Yu Rim. Para pemain muda Korea ini sudah langsung bisa tampil di tur Super Seris dan Super Series Premier, untuk mengatakan level Super750 dan Super1000 karena berpasangan dengan para pemain senior. Baek Ha Na berpasangan dengan Chae Yoo-jung, sementara Lee Yu Rim berpasangan dengan Shin Seung-chan, bermodalkan “notional point” bisa tampil di China Super Series Premier dan Hong Kong Super Series 2017.  Dari pengalaman tersebut kini para pemain muda itu sudah bisa bersaing di papan atas.

Kita berharap performa Ginting, Jojo, dan kawan-kawan bisa terus diasah sambil memberi kesempatan kepada para pemain di bawah mereka untuk unjuk gigi. Sementara itu di sektor ganda, selain menggantungkan harapan kepada The Minions, sudah saatnya Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto mengambil peran penting.

Setelah Piala Thomas, masih ada beberapa event besar lainnya di tahun ini. Selain Kejuaraan Dunia, masih ada Asian Games yang akan berlangsung di tanah air. Indonesia sepertinya masih akan mengandalkan materi pemain yang sama di Asian Games nanti. Namun setelah itu sudah saatnya para pemain muda dipersiapkan untuk mengambil peran, misalnya di SEA Games 2019. Tidak harus menunggu tahun depan untuk mempersiapkan mereka, tetapi sejak sekarang! Termasuk untuk Piala Thomas dua tahun lagi agar masa puasa 16 tahun berakhir sudah.

Akhirulkalam, selamat kepada tim Thomas China. Terima kasih kepada TVRI yang telah menghadirkan siaran langsung hingga laga pamungkas, meski tanpa Indonesia. Untuk Hendra Setiawan dan kawan-kawan, terima kasih. Mari bung..kita rebut kembali!!



Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing