Leicester City, Tajam ke Atas Tapi Ompong ke Bawah

Euforia dan gol Leicester ke gawang Brugge/Dailymail.co.uk

Hari ini, tepat delapan tahun silam, lesatan Andy King  di Scunthorpe's Glanford Park memastikan kemenangan  Leicester 2-1 atas Scunthorpe United di pentas Ligue One. Itulah bagian permulaan dari kisah dongen kawanan Rubah yang seperti tak kan terulang lagi.

Namun hari ini roda waktu seperti berputar kembali, menghadirkan cerita keajaiban dalam versi berbeda. Di hadapan pendukung sendiri di King Power Stadium, The Foxes menorehkan sejarah baru yakni memastikan tiket knock out Liga Champions usai menggasak wakil Belgia, Club Brugge.

Keunggulan tipis 2-1 sudah lebih dari cukup membuat wajah Claudio Ranieri cerah ceria dan hati para pendukung riang gembira. Mengemas total 13 poin hasil empat kemenangan dan satu hasil seri membuat perolehan poin Leicester tak bisa dikejar apalagi disalip oleh FC Porto (8 poin) dan FC Kobenhavn (6) yang masing-masing berada di tempat kedua dan ketiga dengan satu laga tersisa. Sudah dipastikan Riyad Mahrez dan kolega mantap ke 16 besar dengan status mentereng: juara grup G.

Prestasi ini sungguh luar biasa untuk sebuah tim debutan yang tak memiliki tradisi apalagi sejarah di pentas Eropa. Namun keajaiban menjuarai Liga Inggris musim lalu tidak hanya meruntuhkan dominasi dan membalikan pengkultusan terhadap tim-tim besar, juga memantik api kepercayaan diri Leicester untuk bisa berbuah sesuatu yang lebih.

Leicester mungkin pengecualian. Juga anomali dalam sepak bola modern saat uang bisa membeli segalanya, termasuk untuk membentuk sebuah tim. Dengan investasi yang minim Leicester menunjukkan bahwa ada faktor lain yang tidak bisa diperoleh dengan ganjaran apapun yakni semangat, spirit, dan daya juang.

Modal dasar plus kepercayaan diri sebagai juara baru di salah satu liga bergengsi di dunia semakin melipatgandakan motivasi Leicester untuk menggoreskan sejarah lain yang lebih prestisius. Sekalipun berada di grup ringan yang dihuni tim-tim dari liga-liga medioker, kecuali Porto yang pernah berjaya di Eropa, Leicester baru saja menunaikan impian terdekat. Lolos ke babak gugur adalah langkah menuju ujian yang lebih besar: apakah dongen itu telah memasuki bab akhir atau masih berlanjut.

Performa Leicester dini hari tadi seperti repetisi atas penampilan mereka musim lalu di Liga Inggris. Lesatan indah Shinji Okazaki ke pojok atas gawang Butelle terjadi saat laga baru berjalan lima menit. Gol tersebut lahir dari proses serangan balik cepat yang sempurna. Demikianpun gol kedua 24 menit berselang yang lahir dari kaki Mahrez dari titik putih setelah Marc Albrighton dijatuhkan di kotak terlarang.

Jose Izquierdo coba memberi harapan kepada tim tamu. Penetrasinya dari sisi kiri yang berujung tembakan tajam membuat Ron-Robert Zieler terpaku di bawah mistar gawang. Namun gol tersebut terlihat tak lebih dari strategi tuan rumah untuk membuat pertandingan tetap terlihat menarik. Penguasaan bola, jumlah tembakan dan tembakan yang tepat sasaran, juga kesempatan melalui sepak pojok Leicester jauh di atas Brugge.

Brugge pun harus kembali ke kandang dengan tangan hampa. Bisa saja mereka datang ke Inggris dengan mimpi yang sama seperti Leicester yakni selama mungkin merasakan atmosfer kompetisi elit Eropa. Namun lima laga tanpa kemenangan sudah pasti menguburkan semua harapan itu, termasuk tak bisa memberikan satu poin pun sebagai kado ulang tahun klub ke-125 yang jatuh pada 13 November lalu.

Tumpul ke bawah
Leicester sukses melakoni lima pertandingan Eropa dengan hasil positif. Belum pernah kehilangan poin dan kini menempatkan mereka sejajar dengan Arsenal, sebagai dua tim Inggris yang sudah memastikan tiket babak gugur.

Namun hasil baik ini bertolak belakang dengan yang ditorehkan di pentas domestik. Bila musim lalu nama Leicester sudah langsung masuk bursa kandidat juara saat kompetisi baru melewati separuh jalan, hal berbeda terjadi kini. Leicester sedang terseok-seok di papan bawah dengan selisih dua poin di atas zona degradasi.

Skuad Ranieri baru mengemas 12 poin hasil dari 12 pertandingan dengan hanya tiga kemenangan dari antaranya. Menghadapi tim semenjana seperti Hull City, West Bromwich Albion dan Watford, Leicester tak berdaya.

Pertanyaan, apakah ini bagian dari strategi Leicester agar taji ke atas (Eropa) tetap terjaga meski kini benar-benar terlihat ompong ke bawah? Atau lebih karena ketidakmampuan lantaran belum berpengalaman menghadapi dua kompetisi ketat sekaligus?

Bila hasil buruk di pentas domestik adalah strategi bagaimana bisa Jamie Vardy dengan sengaja menumpulkan dirinya sendiri? Tentu saja bukan itu alasannya.

Berbagai pernyataan seusai meraih kemenangan di Liga Champions menyiratkan kesan bahwa Leicester sedang dimabuk euforia pertandingan Eropa, seperti yang keluar dari mulut Mahrez seusai mereka menggasak Brugge.     


"Saya memiliki kesempatan untuk memenangkan pertandingan dan kami sangat senang menjadi yang pertama dan terus di Liga Champions karena itu adalah perasaan yang luar biasa.”
Klasemen sementara Grup G dengan satu laga tersisa/BBC.com


Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana 23/11/2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing