Rangking 5 di Beregu Campuran, Gelar Individual WJC 2016 Kini Dinanti

Gregoria Mariska/badmintonindonesia.org

Dominasi para pemain muda Tiongkok di ajang Kejuaraan Dunia Junior (WJC) beregu campuran yang dihelat di Bilbao, Spanyol terus berlanjut. Ketiga kali secara beruntun Negeri Tirai Bambu sukses membawa pulang Piala Suhadinata setelah di partai final menggulung Malaysia 3-0.

Turnamen yang dihelat sejak 2000 silam itu menjadi barometer bibit muda bulu tangkis dunia. Semua negara yang ambil bagian mengirimkan para pemain muda terbaik. Selain untuk membawa pulang trofi beregu campuran, juga lima penghargaan individual (tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, ganda putri dan ganda campuran) yakni Piala Eye Level.

Kedigdayaan Tiongkok menunjukkan bahwa proses regenerasinya berjalan baik. Negeri di Asia Timur itu masih menjadi gudang para pebulutangkis. Selain Tiongkok yang belum juga tergoyahkan, muncul pula Malaysia dan Thailand.

Malaysia yang menumbangkan Indonesia di babak perempatfinal membawa pulang medali perak, sementara Thailand menggondol medali perunggu bersama Jepang. Hal ini jelas menunjukkan bahwa dua negara tetangga itu sudah sangat serius memperhatikan regenerasi bulu tangkis.

Malaysia memiliki Chen Tang Jie dan Thinaah M (ganda campuran), Leong Jun Hao (tunggal putra) dan Goh Jin Wei (tunggal putri) tampil cukup baik dan memiliki harapan masa depan yang cerah. Sementara di tim Thailand ada Pakin Kunanuvit dan Ruethaichanok Laisuan (ganda campuran), Kantaphon Wangcharoen (tunggal putra), Pompawee Chuchuwong di tunggal putri, serta Panachai Worasaktayanan dan Warit Sarapat (ganda putra).

Indonesia urutan lima
Sementara itu kontingen Indonesia harus puas menempati urutan kelima. Setelah dipecundangi Malaysia, Gregoria Mariska dan kolega berjuang mengalahkan India dan Taiwan untuk mendapat tempat kelima. Seperti bisa diduga, Merah Putih tak kesulitan meladeni kedua negara itu. India dibekuk 3-0 sementara Taiwan menyerah setelah berjuang empat partai atau dengan skor akhir 1-3.

Pencapaian kali ini boleh dibilang menurun. Di tiga tahun terakhir, sejak 2013 hingga 2015, Indonesia selalu menjadi langganan finalis. Di tiga edisi sebelumnya Merah Putih mampu melewati hadangan Thailand, Jepang dan Taiwan untuk beradu dengan Tiongkok.

Penurunan prestasi itu diakui oleh manajer tim Fung Permadi. Dikutip dari badmintonindonesia.org, Fung meminta maaf atas hasil tersebut yang diyakini sudah maksimal.
“Mungkin memang belum seusai harapan, tetapi inilah hasil terbaik dan sudah maksimal dari anak-anak ini untuk pertandingan beregu,” tandas Fung. 

Lebih penting dari itu ajang ini menjadi pembelajaran berarti untuk melihat sejauh mana pola pembinaan dan pendampingan kepada para pemain muda. Berkaca dari penampilan para pemain Tiongkok dan negara-negara lain, Indonesia bisa mengambil hikmah untuk melakukan evaluasi dan perbaikan agar potensi yang sudah terlihat itu bisa diasah untuk mencapai prestasi yang baik.

 “Hasil ini memang belum sesuai harapan, karena targetnya bisa mengulang hasil tahun lalu. Dan hasil kelima ini tidak terlalu jelek, tetapi melihat dari perjuangan anak-anak saya kira sudah maksimal. Dan tentu menjadi bahan evaluasi. Ada beberapa sektor yang kita masih punya kelemahan. Tunggal putra harus diperbaiki dan memantapkan tunggal putri,” beber Chief de Mission WJC, Achmad Budiharto.

Senada dengan evaluasi Achmad, salah satu tunggal putri yang perlu mendapat perhatian adalah Gregoria Mariska. Penampilan Gregoria belum maksimal dan konsisten. Hal tersebut terlihat di babak perempatfinal saat menghadapi Malaysia. Gregoria gagal mempertahankan trend positif menghadapi tunggal putri Negeri Jiran yang sudah dua kali dihadapi yakni Goh Jin Wei.

Sementara itu di pertandingan perebutan rangking lima dan enam, Gregoria dipaksa bermain rubber game menghadapi wakil Taiwan Jhou Shih Jyun. Sempat menang telak di game pertama, 21-9, performa Gregoria lantas menurun di game kedua. Jhou berhasil memaksa pertandingan berlanjut ke set ketiga setelah merebut set kedua, 19-21. Hal ini tak lepas dari kesalahan demi kesalahan yang dilakukan Gregoria.

“Di game kedua itu saya justru tegang sendiri, padahal lawan juga tidak terlalu berbahaya. Karena menang jauh di game pertama itu saya justru jadi tegang dan akhirnya banyak melakukan kesalahan sendiri,” ujar atlet binaan Mutiara Cardinal itu yang berhasil bangkit di set ketiga dan menang mudah 21-10 sekaligus memastikan Indonesia merebut rangking lima. 

Hal ini bisa dipahami lantaran usianya masih sangat muda. Namun dara kelahiran Wonogiri 17 tahun silam perlu diasah serius agar potensi yang sudah terlihat bisa berbuah manis. Kecepatan, bobot pukulan dan mental adalah sejumlah PR yang perlu diselesaikan Gregoria dan tim pelatih.
Meski demikian para pemain muda Indonesia masih memiliki satu kesempatan lagi untuk membuktikan diri. Sejak Selasa (8/11) besok akan dilanjutkan dengan perebutan gelar individu, memperebutkan Piala Eye Level.

Perebutan trofi individu ini menjadi momentum bagi para pemain Indonesia untuk mengakhiri catatan buruk. Sejak 2012 silam tak satu pun pemain muda Indonesia yang sanggup membawa pulang Piala Eye Level. Terakhir kali ganda campuran Edi Subaktiar/Melati Daeva Oktavianti merebutnya pada 2012 silam di Chiba, Jepang.

 “Untuk invididu saya sudah siap, semoga hasilnya bisa seperti yang diharapkan,” tandas Gregoria yang merupakan runner up Kejuaraan Asia Junior (AJC) bulan Juli lalu.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 7/11/2016.


Comments

Popular posts from this blog

Jojo dan Rinov/Pitha Tersisih, Tersisa Ginting, Gregoria, dan Rehan/Lisa di Semifinal Hylo Open 2022

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Dari "Sekarang, Sumber Air Su Dekat" Menjadi "Sekarang, Masalah Air Su Banyak"