Kevin/Marcus Menatap Dunia, Asal...
Marcus/Kevin/badmintonindonesia.org
Tidak ada pasangan ganda putra Indonesia yang paling sukses
sepanjang tahun ini selain Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon.
Pasangan muda ini sudah merengkuh empat gelar. Satu gelar Grand Prix Gold di
Malaysia Masters, dua gelar super series masing-masing di India dan Australia,
plus satu gelar super series premier yang baru saja direngkuh di China Open
pada Minggu, 20 November lalu.
Hasil tersebut pun mendaulatkan mereka sebagai ganda putra
Indonesia terbaik saat ini yang akan berada di rangking empat dunia dalam hitungan
hari ke depan. Setelah Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan “bercerai” dan kini masing-masing
mencari jalan sendiri-sendiri, pasangan nomor tujuh dunia itu diprediksi akan mengambil
peran yang ditinggalkan Hendra/Ahsan.
Mencuatnya Kevin/Marcus sedikit mengejutkan. Lantaran sebelum
keduanya mencuri perhatian, Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi lebih dulu
disebut sebagai penerus estafet Hendra/Ahsan. Namun ekpektasi tersebut tampaknya
terlalu besar karena performa keduanya jauh dari harapan sepanjang tahun ini. Kenyataan
tersebut bertolak belakang dengan penampilan mereka yang cukup menjanjikan
sepanjang tahun 2015 dengan medali emas SEA Games usai menundukkan
Kevin/Marcus
di final serta trofi Singapore Open Super Series dengan menumbangkan pasangan senior
Tiongkok Fu Haifeng/Zhang Nan di partai puncak. Alih-alih tampil lebih baik,
tahun 2016 justru menjadi antiklimaks bagi Angga/Ricky.
Tampil beda
Bila kita mengamati secara jeli permainan Kevin/Marcus maka
banyak hal menarik bahkan unik terlihat. Sekilas keduanya bermain seperti tanpa
pola karena gerakan refleks lebih banyak mengambil peran. Baik pukulan,
serangan, hingga strategi bertahan hampir selalu disarati aksi-aksi tak
terduga.
Penampilan mereka tampak berbeda dari pasangan-pasangan lain
yang sangat patuh pada pakem dan pola tertentu. Gerakan mereka atraktif dan
lincah. Gertakan hingga pukulan-pukulan tak terduga hampir pasta mengecoh
lawan.
Gerakan refleks terlihat natural sehingga kadang membuat
lawan kelabakan. Dengan tubuh yang tak menjulang tinggi membuat gerakan tubuh
mereka begitu lincah menyapu ke segala sudut. Kombinasi dan kolaborasi dalam
setiap rotasi berlangsung baik. Selingan bola-bola pendek dan permainan net tak
kalah memukau.
Seperti pemain lainnya, keduanya memiliki kekuatan jumping smash yang bisa meruntuhkan tembok
pertahanan lawan. Namun smas melompat itu tidak dilakukan secara monoton.
Variasi dan kombinasi kerap mereka peragakan membuat lawan sulit menebak arah
bola.
Deretan pasangan ganda putra kelas dunia sudah merasakan
taji Kevin/Marcus. Mulai dari senior mereka Hendra/Ahsan, Ko Sung Hyun/Shin
Baek Cheol (Korea Selatan), Kim Gi Jung/Kim Sa Rang (Korea Selatan), Goh V
Shem/Tan Wee Kiong (Malaysia), Koo Kien Keat/Tan Boon Heong (Malaysia), Mathias
Boe/Carsten Mogensen (Denmark) hingga juara Olimpiade Rio 2016, Fu Haifeng/Zhang
Nan.
Belum cukup
Sebagai pasangan muda, Kevin/Marcus masih perlu dipoles. Performa
keduanya belum paripurna antara teknik dan mental. Pelatih kepala ganda putra Herry
Iman Pierngadi masih melihat celah dalam permainan keduanya.
Seperti diutarakan pelatih kelahiran Pangkal Pinang, 21
Agustus 1962 beberapa waktu lalu, fisik
Kevin tak jadi masalah karena memiliki VOR max yang bagus. Namun ketenangan dan kesabaran
belum benar-benar tebal, apalagi dalam kapasitasnya sebagai playmaker.
Sementara Marcus masih sedikit terkendala kondisi fisik yang
belum lama pulih dari cedera. Marcus juga kerap terjebak dalam pola Kevin yang
kerap bermain terburu-buru apalagi saat beradu di depan net.
Kondisi ini menunjukkan bahwa mental keduanya masih perlu
diuji. Setelah berada di jajaran elit dunia sudah pasti tekanan akan jauh lebih
besar. Darah muda mereka akan cepat terpancing oleh para pemain senior dan
pasangan-pasangan lainnya. Bila tak diperhatikan dan segera disadari maka akan
mudah menghancurkan fokus dan konsentrasi mereka.
Hal ini menyata di turnamen Hong Kong Open Super Series yang
baru saja dimulai. Ditempatkan sebagai unggulan enam, keduanya langsung kandas
di babak pertama di tangan pasangan non unggulan asal Tiongkok Lu Kai/Zheng
Siwei 13-21, 21-16 dan 16-21.
Ketika diminta komentar seusai kekalahan itu, keduanya mengaku
terganggu dengan kepemimpinan wasit yang dianggap menyudutkan mereka.
“Dari awal main kami seperti disulitkan wasit terus. Mulai
dari nama baju saya, selama ini saya main nggak pernah dipermasalahkan, tapi
kali ini dipermasalahkan. Terus kami servis juga di poin-poin awal langsung
di-fault terus. Berapa kali pengembalian kami juga di-fault, padahal masuk jauh
banget. Kami jadi kehilangan konsentrasi dari awal pertandingan,” ungkap Kevin
dikutip dari badmintonindonesia.org.
“Selama di China Open kemarin kami tidak ada masalah seperti
ini. Kalau servis di-fault terus dari awal, mau nggak mau konsentrasi kami terganggu.
Dan jadi bingung juga mau main apa,” timpal Marcus.
Namun dalih yang mereka kemukakan tampaknya menunjukkan sisi
lemah mereka sendiri. Mental bertanding yang belum tebal sehingga belum kebal
terhadap aneka tekanan dan gangguan termasuk dari pengadil pertandingan.
Benar seperti dikemukakan Marcus, memetik pelajaran dari
fenomena ini untuk tampil lebih tenang dan fokus, jauh lebih berharga ketimbang
mencari pembenaran apalagi kambing hitam. Tokh setiap pemain, apalagi di
kompetisi elit akan menghadapi banyak tekanan. Pada saat itu tidak hanya skill
yang dibutuhkan, juga mental bertanding. Hal yang disebutkan terakhir itu yang
masih menjadi pekerjaan rumah Kevin/Marcus untuk diselesaikan seiring
penampilan mereka di turnamen-turnamen selanjutnya.
Melihat performa mereka sejauh ini, bila mampu memegang
komitmen untuk terus belajar dan berbenah dan konsisten menjaga performa, maka pintu
juara Asia, Juara Dunia hingga medali emas Olimpiade Tokyo 2020 akan terbuka
lebar.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 24/11/2016.
Comments
Post a Comment