Sengkarut Nikah Dini dan Jalan Panjang Menuju SDGs 2030
Sejumlah pelajar mengkampanyekan nikah berencana sebagai
bagian dari program GenRe (Generasi Berencana) di Kota Kediri, Jawa Timur,
Minggu (6/12/2015)/Gambar: JIB/Solopos/Antara/Prasetia Fauzani
Tampaknya bukan kebetulan peringatan Hari Anak Nasional, 23
Juli dan Hari Keluarga Nasional sepekan kemudian (29 Juli), dirayakan dalam
waktu berdekatan dan jatuh pada bulan yang sama. Dua momen itu hanya memiliki
judul berbeda (anak dan keluarga) karena pada dasarnya memiliki esensi yang
sama. Antara anak dan keluarga sama sekali tak bisa dipisahkan. Keduanya ibarat
dua sisi dari sebuah mata uang. Dapatkah kita berbicara tentang anak tanpa
menyertakan keluarga? Pun sebaliknya, bisahkan kita melepaskan keluarga dari
topik pembicaraan tentang anak?
Ketakterpisahan kedua hal itu semakin tak terbantahkan
melihat realitas saat ini. Aneka persoalan yang menyasar dan mengorbankan anak menghiasi
ruang publik kita dengan keluarga sebagai sasaran kritik dan sorotan.
Ada persoalan tentang vaksin palsu yang menghebohkan
keluarga-keluarga di Tanah Air setelah terkuak beberapa waktu lalu usai bebas
beredar dalam senyap sejak 2003. Ada pula peredaran sejumlah makanan ilegal
(antara lain biskuit, wafer, dan permen) yang disita Badan Pengawas Obat dan
Makanan di Kota Tangerang, Banten dan Gresik, Jawa Timur dalam waktu berdekatan
(Rabu dan Kamis, 4 Agustus, bdk. Kompas, Jumat
5 Agustus 2016, hal.13) sehingga membuat keluarga was-was.
Selain itu, beberapa contoh kasus pemerkosaan pada remaja
dan anak di bawah umur di sejumlah tempat melengkapi persoalan kekerasan pada
anak baik yang kasat mata seperti kekerasan fisik dan seksual maupun yang tak
kelihatan seperti kekerasan psikologis dan kurang gizi.
Secara statistik, menurut data Kementerian Sosial tahun
2016, sebagaimana dilansir Kompas, Rabu
27 Juli 2016 hal.11, hampir 50 persen masalah yang dialami anak terindentifikasi
sebagai kekerasan seksual. Masih menurut sumber yang sama, dari 12.298 anak yang
menjadi korban, sebanyak 1.909 anak adalah korban kekerasan seksual dan 5.090
anak tengah berada dalam situasi darurat yang sedang ditangani di 18 Rumah
Perlindungan Sosial Anak.
Ironisnya, menurut riset, kekerasan pada anak, seperti
kejahatan seksual, dilakukan oleh orang di lingkungan terdekat, termasuk
keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial semakin tak nyaman dan
ramah anak. Sebagai institusi terkecil dan locus
utama perlindungan dan pembentukan anak, keluarga mesti berada di garda depan
untuk mengantisipasi dan menghindarkan anak dari kemungkinan terjadinya
pelecehan dan tindak kekerasan seksual.
Pada titik ini posisi keluarga sungguh dilematis. Di satu
sisi, peran penting keluarga tak tergantikan bagi tumbuh kembang anak.
Sementara di sisi lain, keluarga menjadi sorotan atas sejumlah kasus yang
melibatkan orang-orang terdekat.
Pemerintah pun mengambil sikap. Mengoptimalkan program
Pengasuhan Anak Berbasis Keluarga sesuai dengan standar nasional pengasuhan. Namun,
patut diakui, langkah tersebut merupakan satu dari sekian banyak kemungkinan
yang lebih menyasar pada keluarga yang sudah terbentuk. Padahal membangun
fondasi yang kuat jauh lebih mendasar. Selain
demi menjauhkan keluarga dari aneka persoalan, juga mempersiapkan keluarga yang
berkualitas. Artinya, siap dan mampu memainkan 8 fungsi utama sebagaimana amanat
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 yakni keagamaan dan keimanan; sosial
budaya (sosialisasi, pembentukan norma, etika dan etiket); cinta kasih
(perhatian, kasih sayang dan rasa aman); perlindungan; reproduksi (meneruskan
keturunan, memelihara dan membesarkan anak); sosialisasi dan pendidikan;
ekonomi (pemenuhan kebutuhan, pengaturan penghasilan); dan peran pembinaan
lingkungan.
Nikah dini
Mengingat peran penting keluarga seperti disinggung di atas,
maka pembentukan keluarga bukan perkara gampang. Tak heran regulasi di negeri
ini pun menggariskan syarat usia pernikahan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mensyaratkan usia minimal perempuan yakni 16 tahun.
Sementara Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) serta Badan
Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama malah menganjurkan usia
ideal untuk menikah yakni 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk
laki-laki.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan BKKBN pada tahun
2014, diperoleh hasil yang cukup mencengangkan. Tercatat 46 persen atau 2,5
juta pernikahan di Indonesia dilakukan secara dini. Artinya usia perempuan
berkisar antara 15 sampai 19 tahun. Bahkan 5% dari antaranya melibatkan
perempuan di bawah usia 15 tahun.
Data tersebut dipertegas oleh penelitian dari organisasi PBB
untuk melindungi hak-hak anak dan kaum muda, United Nations Children’s Fund (UNICEF) bahwa satu dari enam anak
perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun atau sebanyak 340.000
orang. Sementara perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun sebanyak 50.000
anak per tahun.
Berdasarkan data tersebut, salah satu lembaga bernama United National Development Economic and
Social Affair (UNDESA) menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan angka pernikahan usia dini tertinggi kedua di
ASEAN.
Tentu, tingginya angka pernikahan dini dipicu oleh banyak
faktor. Beberapa dari antaranya bisa disebutkan di sini. Prtama,
alasan kultural. Di daerah tertentu perempuan masih ditempatkan sebagai
warga kelas dua sehingga tak memiliki posisi tawar dalam urusan perjodohan dan
pernikahan.
Di salah satu wilayah di Nusa Tenggara Timur, provinsi dari
mana saya berasal, masih hidup praktik perhambaan. Sebagai hamba, seseorang tak
memiliki hak sama sekali termasuk atas dirinya sendiri. (Anak) wanita dari
kasta ini sepenuhnya mengabdi pada sang tuan dan patuh tanpa protes kepada
keputusan sang empunya sehingga ruang ekspolitasi terbuka lebar.
Selain itu ada pula tradisi dimana keluarga perempuan
pantang menolak bila ada yang melamar putrinya seperti yang masih berlaku di
Desa Tegaldowo, kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah. Masih hidup pula
kebiasaan menjodohkan anak perempuan dengan pria dari kalangan atau kelompok
tertentu, biasanya dari strata sosial lebih tinggi.
Kedua, pernikahan
dini juga terjadi karena kesengajaan orang tua yang ingin lepas dari tanggung
jawab. Bisa diduga kesengajaan itu di antaranya dipicu oleh alasan ekonomi.
Himpitan ekonomi memaksa orang tua terpaksa “menjual” anak perempuannya.
Ketiga, lantaran
rendahnya tingkat pendidikan. Tak dapat dipungkiri kasus pernikahan dini lebih
marak terjadi di kalangan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah sehingga
dalam “kebutaan” dan ketidaktahuan mengabsahkan pernikahan seperti itu.
Keempat, akibat salah
pergaulan sehingga terjerumus dalam pergaulan bebas. Akibat perilaku seks bebas
dan pergaulan yang “kebablasan” menyebabkan seorang remaja wanita hamil di luar
nikah (married by accident). Demi
menghindarkan aib, orang tua terpaksa menikahkan anak-anak korban salah
pergaulan itu.
Dalam masyarakat tertentu, seperti di NTT misalnya, urusan
pernikahan yang biasanya rumpil rumit dengan aneka proses adat dan keagamaan,
terpaksa “dipangkas” atau dipersingkat agar pernikahan segera digelar sehingga
rupa aib keluarga dianggap sedikit tersaput.
Risiko
Regulasi dan anjuran BKKBN agar menikah pada batas usia
tertentu bukan tanpa alasan. Ada banyak faktor yang patut diperhitungkan
sebelum melangsungkan pernikahan, karena pernikahan dini memiliki akibat yang
tidak sedikit.
Pertama, berdasarkan
penelitian dari The National Center for
Health Statistics, nikah di usia muda, antara 12 hingga 21 tahun,
disinyalir tiga kali lebih banyak berakhir dengan perceraian. Data tahun 2002
itu menyebutkan lebih dari 50 persen atau 59 persen pernikahan dengan wanita di
bawah 18 tahun berujung perceraian dalam waktu 15 tahun setelah menikah.
Kedua, menikah
dini amat berisiko pada masalah kesehatan reproduksi wanita mengingat organ
reproduksi belum siap untuk berhubungan atau mengandung. Bila hamil berisiko
mengalami tekanan darah tinggi lantaran tubuh tidak kuat. Pada tahap awal
kondisi ini biasanya tak terdeteksi. Namun pada tahap selanjutnya bisa
menyebabkan kejang-kejang, pendarahan yang bisa berujung kematian ibu dan bayi.
Di samping itu, berisiko mengalami trauma fisik pada organ
intim dan terjadinya preeklampsia, bayi prematur hingga kematian ibu. Remaja
perempuan usia 10-14 tahun berisiko meninggal saat hamil atau melahirkan lima
kali lebih tinggi dibandingkan perempuan berusia 20-25 tahun.
Selain itu, perempuan yang menikah di bawah umur 20 tahun
berisiko terkena kanker leher rahim (serviks). Pada masa transisi (remaja)
sel-sel leher rahim belum matang sehingga rawan terjadi infeksi saat
berhubungan intim. Semakin muda usia pertama kali seseorang berhubungan seks
maka semakin besar risiko daerah reproduksi terkontaminasi virus.
Ketiga, nikah dini
berpengaruh buruk pada sisi psikologis remaja karena secara emosional belum
stabil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44 persen perempuan yang menikah
dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baik dalam frekuensi tinggi
maupun rendah.
Keempat, menikah
dini membuat pasangan kehilangan masa-masa indah dan penting dalam hidup yakni
masa kanak-kanak dan remaja. Siapa dari antara kita yang tidak ingin merasakan
inahnya masa-masa bermain bersama rekan-rekan, menjalankan aneka hobi dan
kesukaan tanpa penghalang, termasuk menggapai ilmu dan cita-cita setinggi-tingginya?
Saat pasangan menikah dini, besar kemungkinan masa-masa indah itu hilang, dan
potensi putus sekolah sangat tinggi.
Usia ideal
Di atas disebutkan usia yang dianggap pas untuk menikah.
Namun pertanyaannya adalah apakah pada usia tersebut sungguh menjamin
keberlangsungan, keselamatan dan keberadaan keluarga tersebut? Secara medis
sudah disebutkan rentang usia mana saja seorang wanita boleh menjalankan
fungsi-fungsi reproduksinya.
Tetapi apakah persoalan mental dan emosional akan berkembang
selaras usia? Dengan kata lain, semakin tinggi usia seseorang maka emosi,
mental dan pola pikirnya akan semakin matang? Demikian pun sebaliknya?
Tentu pernikahan tidak hanya berpatok pada usia saja. Ada
beragam faktor yang patut dipertimbangkan sebelum seorang pria dan wanita
mengikat simpul di jenjang pernikahan. Beberapa faktor penting tersebut antara
lain, pertama, kemantapan sikap.
Menikah tidak dilakukan dalam situasi ketergesaan tetapi setelah melalui
pertimbangan yang matang. Menikah bukan karena selera, mood, tetapi
berangkat dari pertimbangan yang
benar-benar matang dan sampai pada kebulatan tekad.
Kedua, keputusan
menikah harus didasarkan pada kesiapan material. Materi tersebut pertama-tama
dan terutama bukan untuk menyemarakkan akad dan prosesi pernikahan, namun untuk
kelangsungan hidup bersama. Kemantapan pekerjaan menjadi faktor penting tak
hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup pasangan juga persiapan untuk anak-anak.
Ketiga, kesiapan
mental untuk melepaskan keterikatan berlebihan dengan masa lalu, rekan-rekan
sebaya, orang tua untuk mengambil peran dalam keluarga, terlebih bila saatnya
tiba mendapat keturunan maka harus memainkan peran-peran penting yakni delapan
peran keluarga di atas.
Optimalisasi
Dengan latar belakang dan berbagai pertimbangan di atas maka
penting untuk menggencarkan kampanye usia ideal dalam menikah. Pemerintah
Indonesia bersama negara-negara di dunia telah berkomitmen untuk ikut menghapus
praktik pernikahan dini pada 2013 sebagaimana garis kerja sama Sustainable Development Goals.
Selama ini berbagai program sudah ditempuh, namun
berdasarkan evaluasi tampaknya perlu ada revisi, penajaman dan penggalakkan
agar cita-cita tersebut bisa tercapai.
Pertama, pada
tataran regulasi, pemerintah perlu menyelaraskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan amanat BKKBN yang saling bertolak belakang. Penting
menyamakan poin tentang syarat menikah ini agar tak terjadi kebingunan di
masyarakat. Dengan landasan yang jelas berbagai kebijakan turunan mudah
dilakukan tanpa terjadi tumpang-tindih dan kontradiksi.
Kedua, selama ini
pemerintah menggalakkan program GenRe (Generasi Berencana). Program ini
bertujuan untuk menyiapkan kehidupan berkeluarga bagi remaja, agar mereka mampu
menempuh jenjang pendidikan secara terencana, berkarir dalam pekerjaan secara
terencana, serta menikah dengan penuh rencana sesuai siklus kesehatan
reproduksi.
Dengan menyasar remaja dan mahasiswa yang belum menikah,
keluarga yang memiliki remaja dan masyarakat yang peduli pada kehidupan remaja,
diharapkan program ini mampu memberikan efek berantai atau bola salju dengan
membentuk PIK-R/M (Pusat Informasi dan Konseling Remaja/Mahasiswa), di
sekolah-sekolah, kampus-kampus dan di desa-desa.
Namun dari hasil survei indikator kinerja RPJM program
kependudukan dan KB 2015, sebanyak 19 persen remaja perempuan merencanakan
menikah di bawah usia 22 tahun, dan 46,2 persen remaja pria di umur 20-25
tahun.
Data tersebut menunjukkan bahwa program tersebut belum
optimal. Hal itu diakui oleh Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapaty, Senin
(4/4/2016).
"Belum optimalnya kampanye penundaan usia perkawinan,
terjadi karena fokus kampanye yang dilakukan melalui program GenRe (Generasi
Berencana) di kalangan remaja dinilai tidak fokus pada penundaan usia
perkawinan atau penghentian perkawinan dini," tuturnya dikutip dari Okezone.com
Karena itu langkah cepat yang dilakukan BKKBN dengan
rebranding program tersebut patut diapresiasi. Substansi kampanye tersebut kini
diubah menjadi ke dalam slogan “Katakan Tidak Pada Nikah Dini, Katakan Tidak
Pada Seks Pra Nikah, dan Katakan Tidak Pada NAPZA”.
Agar program tersebut berjalan maksimal maka sosialisasi
perlu semakin digalakkan. Bentuk sosialisasi pun perlu disesuaikan dengan
geliat kehidupan kaum muda saat ini. Selain menggunakan wadah formal melalui
sekolah-sekolah, universitas-universitas, perlu juga memanfaatkan momen-momen
yang digemari kaum muda seperti pekan seni dan olahraga, juga tak lupa
memanfaatkan jejaring sosial.
Ketiga, keberhasilan
program ini tak bisa tidak menyentuh persoalan substansial yakni kultural baik
itu terkait dengan adat istiadat yang membelenggu. Keterbelakangan ekonomi dan
pendidikan. Variabel-variabel tersebut penting dengan melihat kenyataan bahwa
sebagian besar pernikahan dini terjadi di kalangan masyarakat miskin dengan tingkat
pendidikan yang sangat minim.
Diharapkan signifikansi berbagai program yang tengah
digalakkan pemerintah seperti infrastruktur pendidikan, sentra-sentra ekonomi,
dan aneka kartu saksi seperti Kartu Indonesia Pintar juga mengarah pada
perubahan pola pikir dan kesadaran masyarakat tentang menikah usial ideal agar
harapan Presiden Joko Widodo yang digemakkan saat perayaan Hari Keluarga
Nasional (Harganas) ke-23 di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 30 Juli lalu bisa
terwujud.
“Jika keluarga bisa memupuk pola pikir dan perilaku yang
produktif, kita akan bisa melahirkan generasi emas Indonesia, generasi
pemenang, cerdas, kreatif, inovatif, produktif dan visioner”, tutur Jokowi
seperti dilansir Kompas, Minggu 31
Juli 2016, hal. 1.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 25 Agustus 2016.
Comments
Post a Comment