Menjagokan Spurs, Mengapa Tidak?

Spurs vs Manchester City/Dailymail.co.uk

Kemenangan dua gol tanpa balas Tottenham Hotspur atas Manchester City, Minggu (2/10) lalu setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, Manchester Biru seperti tetangganya Manchester United sedang dalam masa transisi. Tren positif tak terkalahkan dalam enam laga awal belum menggaransi stabilitas yang dibangun pelatih barunya Pep Guardiola.

Di sisi berbeda, Spurs menunjukkan diri lebih solid setelah ditempa selama dua tahun terakhir. Di tangan Mauricio Pochettino the Lilywhites dibentuk dengan kombinasi pemain senior dan pemain muda. Hasil positif sudah terlihat di musim lalu. Walau hanya menempati urutan ketiga di klasemen akhir, di belakang Arsenal dan Leicester City, hal tersebut sudah lebih dari cukup menunjukkan seberapa signifikan perubahan yang ada di tubuh klub London Barat itu.

Dengan demikian musim ini, tidak berlebihan, bila Spurs bakal tampil lebih baik setelah melewati waktu uji coba dan pembentukan tingkat lanjut itu. Gol bunuh diri Alexander Kolarov dan lesatan indah Dele Alli tidak hanya membenamkan City, serentak semakin mengangkat pamor klub tersebut ke tingkat elit. Bahkan diperhitungkan sebagai salah satu pesaing utama menuju tangga juara. Toh sekarang Spurs hanya berselisih satu poin dari City di puncak klasemen dengan 18 poin.

Mengapa tidak?
Melihat permaian Spurs sejauh ini, termasuk di laga terakhir itu, sekurang-kurangnya ada tiga keutamaan sekaligus kekuatan utama mereka. Pertama, pertahanan yang kokoh. Spurs menjadi satu-satunya tim dengan kemasukan paling sedikit yakni tiga gol. Prasyarat sekaligus pengandaian logis untuk memenangkan gelar yakni menghindari kebobolan sebanyak mungkin. Dan itu hanya terjadi bila memiliki benteng pertahanan yang kuat.

Pilihan Pochettino mendatangkan Toby Alderweireld setahun lalu sungguh tepat. Menurut eks pemain Chelsea dan timnas Inggris yang kini menjadi komentator, Chris Sutton, pembelian pemain timnas Belgia itu sungguh brilian. Bek 27 tahun itu telah menjadi tandem yang pas bagi rekan senegaranya Jan Vertonghen di jantung pertahanan tim. Adelweireld dan Vertongen adalah  kuartet lini belakang bersama Danny Rose dan Kyle Walker dalam formasi pilihan 4-5-1.

Kedua, keseimbangan. Permainan Spurs tidak semata-mata mengandalkan lini belakang yang solid. Apa artinya pertahanan yang baik bila tak didukung oleh sektor-sektor lain. Bagaimana bisa mencetak gol bila hanya menggantung harapan pada permainan bertahan.

Tentu saja tidak demikian. Spurs tampil sangat seimbang antara bertahan dan menyerang. Para pemain memiliki landasan pemahaman terhadap filosofi sang pelatih untuk menjaga keseimbangan di semua lini. Tak hanya bertahan, saat menyerang pun Spurs memiliki skema yang jelas. Kecepatan para pemain, yang cenderung memanfaatkan lebar lapangan, ditopang oleh dua bek tengah yang sangat nyaman dalam penguasaan bola.

Saat menyerang Spurs tidak hanya bergantung pada para pemain depan. Formasi empat pemain di lini belakang dan 5 pemain di depannya benar-benar dimanfaatkan dalam situasi ofensif. Kendali sepenuhnya dipegang oleh dua pemain yang menjadi tulang punggung yang solid di jantung permainan. Saat menyerang, empat pemain di lini belakang pun turut terlibat.

Alderweireld, dalam kaca mata eks pemain timnas Inggris Jamie Frank Redknapp, adalah sosok yang brilian. Ia sanggup mengorganisasi permainan dan menjadi simpul pengikat baik dengan mitranya Vertongen di lini belakang maupun rekan-rekannya di bagian depan.

Ketiga, terkait poin kedua, patut disebut secara khusus sosok Victor Wanyama yang baru diboyong ke White Hart Lane musim panas ini. Pemain asal Nigeria ini, dalam bahasa eks pemain Spurs Jermaine Jenas telah menjadi “prajurit di lini tengah” tim.

Mulanya banyak pihak meragukan, tak terkecuali para pundit Dailymail.co.uk, kontribusi gelandang bertahan 25 tahun itu. Namun kepercayaan dan pendekatan yang baik dari Pochettino membuat pilihan sang pelatih menurunkannya saat menghadapi City tak keliru.

Kehadirannya bersama Moussa Sossoko benar-benar berarti untuk menghentikan para pemain City. Peran sentral lini ini tak terbantahkan demi meredam agresivitas City, sama seperti yang dilakukan Celtic saat menahan imbang City di pentas Liga Champions pekan lalu. Fikis Wayama yang kuat dan cepat benar-benar sentral untuk peran penting itu. Selain itu ia semakin disiplin, meski terkadang harus mengambil pilihan sulit dengan melakukan pelanggaran seperti musim lalu bersama Southampton tiga kali diusir ke luar lapangan.
Victor Wanyama/Dailymail.co.uk
Melihat performa Wayama itu, bukan tidak mungkin, ia akan menjadi penopang dan back up bagi gelandang sentral yang selama ini diandalkan yakni Eric Dier dan Mousa Dembele. Sebelum tampil menghadapi City, Dembele tercatat baru tampil selama 74 menit. Namun aksi yang telah ditunjukkannya membuat kehadirannya selalu dibutuhkan, sama seperti Harry Kane-yang saat ini tengah absen-untuk lini depan tim. Meski di atas segalanya,  Spurs tetap memiliki cukup stok pemain siap tampil.

Keempat, Spurs adalah tim yang segar. Dibandingkan City, Spurs mengawali musim ini sedikit lebih lambat. Alasannya, Pochettino butuh waktu untuk memulihkan kebugaran para pemain yang tampil habis-habisan musim lalu.

Saat melawan City terlihat kebugaran para pemain Spurs jauh lebih baik, untuk mengatakan prima. Tujuh pemain yang tampil melawan City tercatat sudah tampil tiga kali dalam delapan hari termasuk saat bertandang ke Moskow menghadapi klub ibu kota CKA Moskow di pentas Liga Champions. Walau demikian sama sekali tak terlihat penurunan semangat. Bisa jadi mereka telah masuk pada fase kebugaran yang bagus setelah melewatkan masa-masa pemulihan yang berjalan baik.

Statistik mencatat, dikutip dari BBC.co.uk, saat menghadapi City, para pemain Spurs mengukir rekor baru, menempuh jarak terpanjang selama bermain dibandingkan tim-tim lain sejauh ini. Saat itu mereka paling banyak melakukan sprint dibandingkan tim-tim lain yang bertabur bintang. Spurs sudah 647 kali melakukan sprint, tujuh kali lebih banyak dari Liverpool saat menghadapi Swansea City dan unggul 35 kali dari City saat menghadapi Swansea City.
Statistik tim-tim dengan jumlah sprint terbanyak/BBC.co.uk

Catatan di atas menunjukkan bahwa Spurs memiliki cukup alasan untuk diperhitungkan. Meski demikian performa sejauh ini belum bisa dipakai sebagai premis untuk menarik konklusi akhir. Spurs memang tampil nyaris sempurna saat menghadapi City, namun belum menyempurnakan sejumlah celah yang masih terlihat.

Salah satu yang perlu suntikan lebih adalah lini depan. Kehadiran Heung-Min Son sudah cukup membantu, mengisi ruang yang ditinggalkan sementara oleh Kane. Vincent Janssen yang mengantri untuk posisi yang sama sudah tampil lebih baik dibandingkan musim lalu namun belum cukup siap untuk beradu di Liga Primer Inggris.

Di atas segalanya menjaga momentum dan konsitensi adalah pekerjaan pelik yang kadang menjadi bumerang  yang bisa menyerang balik. Pengalaman Spurs musim lalu adalah contoh nyata. Modal dasar yang dimiliki ditambah pengalaman Pochettino dan para pemain yang semakin matang bukan mustahil Spurs akan tetap di jalur positif itu. Bila Leicester yang semula tidak diperhitungkan mampu membuat kejutan musim lalu, mengapa Spurs yang lebih siap tidak bisa melakukannya di musim ini?
Klasemen sementara Liga Primer Inggris/Dailymail.co.uk


Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 4 Oktober 2016.


Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing