Berpuisi dalam Lagu Antar Bob Dylan ke Panggung Nobel
Bob Dylan/BBC.com
Bagi yang meremehkan kekuatan sebuah lirik lagu,
penganugerahan Nobel Sastra 2016 kepada Bob Dylan adalah pukulan telak. Demikianpun
yang menganggap bahwa apresiasi prestisius itu hanya diperuntukan bagi mereka
yang produktif menghasilkan buku, bakal segera berpikir ulang.
Penyanyi, penulis lagu, disc jockey-di samping
penyair-bernama asli Robert Allen Zimmerman ini telah membuktikan bahwa lagu bisa
berdiri sama tinggi dengan karya sastra umumnya seperti puisi, cerpen dan
drama. Dan dengan hanya menulis tiga buku pun ia bisa meraih hadih Nobel.
Lebih dari separuh masa hidupnya selama 75 tahun, sosok
multitalenta ini telah melewati jalan panjang untuk memperjuangkan cita-cita
kesenimanannya melalui lagu dan musik. Oleh Dylan, anasir seni yang kadang
disepelehkan bahkan dipinggirkan itu disuntik dengan unsur-unsur puitis yang
dalam.
Oleh The Royal Swedish Academy of Sciences, sang empunya
hajat tahunan bergengsi ini, Dylan dianggap berjasa, terutama, telah “menciptakan ekspresi puitis baru dalam
tradisi lagu Amerika." Atau dalam versi asli, mengutip sekretaris permanen
The Swedish Academy, Sara Danius seperti diwartakan BBC.com, "for having
created new poetic expressions within the great American song tradition".
Seperti apa ekpresi puitis baru yang dimaksud, tentu butuh
ruang dan waktu lebih untuk menunjukkannya. Setidaknya pria kelahiran Minnesota,
24 Mei yang mengambil nama terakhir dari penyair kelahiran Wales Dylan Thomas
itu telah memberikan warna tersendiri dalam tradisi lagu Amerika. Dunia musik
Amerika sangat berutang budi padanya yang berperan penting dalam melahirkan sejumlah
genre dalam musik pop, termasuk folk rock dan country rock.
Melalui lagu-lagunya, Dylan berpuisi. Hal itu sudah diakui
oleh banyak kalangan yang telah lama menjagokannya meraih hadiah tersebut. Mengambil
contoh salah satu master-peace-nya, “Blowin
in the Wind” dan “The Times They are A-Changin,” penyair Inggris, Sir Andrew
Motion menyebut syair-syair Dylan “bekerja layaknya sajak.” Dylan sangat piawai
memainkan rima dalam lagu-lagunya. Ia
tahu kata-kata terbaik pada urutan atau posisi paling pas.
"They have often
extremely skilful rhyming aspects to them. They're often the best words in the
best order,"demikian pengakuan Motion kepada BBC.
Seperti menyimpulkan apresiasi para pakar, Sara Darius
lantas menahbiskan Dylan sebagai “a great poet in the English speaking
tradition”, atau kurang lebih terjemahan bebasnya, “seorang penyair besar dalam
tradisi penuturan Inggris.”
Penghargaan atas Dylan lantas memberi warna baru pada
tradisi Nobel, khususnya kategori sastra yang selama ini dianggap elitis dan tendensius
atau berkecenderungan pada karya-karya
tertentu. Sekaligus ia menorehkan sejarah baru sebagai penulis lagu pertama
dalam 112 tahun terakhir memenangkan penghargaan tersebut.
Hal paling substantif, berkaca pada Dylan, lagu adalah juga medium
bersastra, melaluinya siapa saja bisa berpuisi dan bercerita. Berpuisi dalam
lagu bukan lagi sesuatu yang aneh, apalagi tabu. Sehingga para pencipta lagu
dan penyanyi pun layak bersanding di panggung Nobel.
Namun seperti Dylan proses kreatif itu tidak mudah. Ada waktu
dan kerja yang harus dibayar untuk berkreasi dan menghasilkan karya berbobot. Seperti
kata Sara Darius, Dylan menginvestasikan lebih dari separuh abad untuk itu.
"For 54 years now
he's been at it reinventing himself, constantly creating a new identity," kata
Darius.
Tidak lebih besar
dari murid
Hadiah Nobel Sastra yang jatuh ke tangan Dylan sekaligus
merontokkan berbagai spekulasi. Kejutan kembali terjadi. Sebelumnya nama penulis
Jepang, Haruki Murakami paling disebut-sebut. Tahun lalu, Murakami bersama
sastrawan asal Kenya Ngugi wa Thiong'o juga masuk nominasi. Namun penghargaan
itu akhirnya menjadi milik penulis dan wartawan asal Belarusia, Svetlana
Alexievich yang tekenal dengan tulisan dokumenter bergaya cerita naratif itu.
Selain menyisihkan kedua favorit itu, Dylan juga menyisihkan
sejumlah unggulan seperti sastrawan asal Suriah Adonis, novelis asal Amerika
Philip Roth, penulis asal New York, Joyce Carol Oates, peraih Irish Booker John
Banville, penyair asal Korea Ko Un, novelis Hungaria Laszlo Krasznakorkai, hingga
penulis Argentina Cesar Aira.
Terlepas dari pertimbangan 18 anggota The Swedish Academy, menarik
melihat sepak terjang Dylan. Dengan tanpa meremehkan para nominator lainnya,
Dylan merupakan sosok besar di dunia musik. Majalah musik kenamaan Rolling
Stone sampai-sampai menempatkan Dylan di urutan kedua sebagai “Artis Terbesar
Sepanjang Masa” (Greatest Artists of All
Time), di belakang The Beatles.
Namun siapa sangka grup band rock asal Inggris itu banyak
dipengaruhi oleh gaya bermusik Dylan. Bahkan grup asal Liverpool yang beranggotakan
John Lennon, Paul McCartney, Gerorge Harrison dan Ringo Starr ini kerap
mendengarkan lagu-lagu Dylan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak selamanya seorang guru
lebih besar dari muridnya. The Beatles yang masyur itu ternyata sedikit banyak “berguru”
pada Dylan, yang kemudian tidak lebih tinggi posisinya sebagai artis terbesar
sepanjang masa.
Dylan telah berkenalan dengan musik sejak di bangku
SMA. Sosok dengan karakter suara yang khas
hingga membuat Presiden AS Barack Obama terpukau hingga menganjarnya dengan Presidential Medal of Freedom
sudah mulai bergaul dengan sejumlah alat musik seperti gitar dan harmonika
sejak remaja.
Jalan hidupnya terus mengular panjang. Mulai dari membentuk
band rock & roll di bangku SMA, selanjutnya mengekplorasi lagu-lagu rakyat
di kedai-kedai kopi saat duduk di bangku perguruan tinggi. Sejak itu, ia mulai
berani memaklumkan diri dengan identitas baru, dengan nama panggung Bob Dylan.
Tahun 1961 ia pindah ke New York. Namun kecintaannya pada
lagu-lagu rakyat dan komunitas rakyat tak juga memudar. Malah semakin kuat. Sejak
itu ia terus berkreasi seperti kata Sara Darius menemukan “identitas-identitas”
baru yang kita temukan dalam aneka karya utamanya lagu (35 album studio,
sepuluh album live, dan delapan seri bootleg), di samping buku (salah satunya
yang terkenal berjudul “Tarantula”) dan naskah adegan.
Di usianya yang sepuh, Dylan tampaknya belum kapok
berkreasi. Gelora semangat masih cukup kuat membakarnya untuk terus
menghidupkan hasratnya seperti tajuk tur
yang telah dilakukannya sejak akhir 1980, “Never-Ending Tour” atau “Tur Tanpa
Akhir.”
Sekalipun pada waktunya ia benar-benar diganjal usia,
setidaknya riwayat yang telah terpatri sepanjang jalan panjang kehidupannya
akan mewariskan nilai-nilai penting baik bagi dunia musik khususnya maupun
kehidupan umumnya. Sepeti Dylan yang kini namanya masuk dalam daftar bersama penyair
besar India Rabindranath Tagore atau sang empunya "One Hundred Years of
Solitude", Gabriel García Márquez, kita
pun dibukakan jalan untuk berpuisi tidak hanya dalam buku, tetapi juga dalam
lagu, dan dalam kehidupan.
Dylan akan mendapat US$906,000, atau Rp11,8 miliar dari
Nobel yang diraihnya. Namun sumbangsihnya jauh lebih besar dari itu, bukan?
Bob Dylan saat muda/Theguardian.com
N.B
Daftar peraih Nobel
Sastra dalam 5 tahun terakhir:
2015: Svetlana Alexievich (Belarus)
2014: Patrick Modiano (Prancis)
2013: Alice Munro (Kanada)
2012: Mo Yan (China)
2011: Tomas Transtromer (Swedia)
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 13/10/16.
kunjungi untuk gunakan jasa cargo murah disini. http://indonekargo.com/
ReplyDeleteOmniklik memungkinkan bisnis untuk mencapai hasil yang lebih baik dengan memanfaatkan teknologi dan tren terbaru dalam digital marketing.
ReplyDeleteOmniklik
Saya bangga bisa bekerja bersama MBD Kontraktor dan melihat hasil luar biasa yang mereka hasilkan.
ReplyDeleteMBD Kontraktor