All England 2016, Kaca Besar Bulu Tangkis Indonesia
All England
2016 memang sudah usai, Minggu (13/03/2016) lalu. Namun bayangan tentang ajang
super series premier pertama tahun ini belum juga lepas dari ingatan publik,
terutama bangsa Indonesia. Betapa tidak, di Barclaycard Arena, Birmingham itu Merah
Putih kembali berkibar setelah absen di tahun sebelumnya.
Bukan Hendra
Setiawan/Mohammad Ahsan, Greysia Polii/Nitya K.Maheswari dan Tontowi
Ahmad/Liliyana Natsir yang naik podium utama, melainkan Praveen Jordan/Debby
Susanto. Hendra/Ahsan, Greysia/Nitya dan Owi/Butet-sapaan akrab
Tontowi/Liliyana gagal mewujudkan target juara yang dibebankan kepada mereka.
Kesuksesan
Praveen/Debby di satu sisi dan kegagalan Hendra/Ahsan, Greysia/Nitya serta
Owi/Butet memenuhi target, serta terpuruknya sektor tunggal putra dan tunggal
putri di sisi lain menjadi catatan
tersendiri bagi dunia bulu tangkis tanah air.
Ajang tertua
di dunia sekaligus salah satu yang paling bergengsi itu menjadi kaca pengilon
untuk melihat wajah bulu tangkis kita sesungguhya. Kehadiran para pemain
bintang dari berbagai penjuru dunia dan atmosfer luar biasa di ajang tersebut bisa menjadi tolak ukur
melihat kualitas para pemain kita.
Pada titik
ini, apakah dunia perbulutangkisan kita mengalami kemajuan atau kemunduran?
Apakah Indonesia masih memelihara tradisi sebagai bangsa yang besar dan
dibesarkan oleh olahraga tepok bulu itu?
Dengan jujur
dan berbesar hati harus kita akui bahwa prestasi bulu tangkis Indonesia
mengalami kemunduran. Bahkan sudah sejak lama. Bila All England dengan dasar
dan pertimbangan di atas dijadikan salah satu patokan, maka kemunduran itu
terlihat jelas.
Di sektor
tunggal putra Indonesia belum lagi
memiliki juara All England setelah masa jaya Heryanto Arbi pada tahun 1994.
Susi Susanti menjadi tunggal putri terakhir yang naik podium juara pada tahun
yang sama.
Setelah kesuksesan
Sigit Budiarto/Chandra Wijaya pada tahun 2003, Indonesia harus menanti sepuluh
tahun untuk membawa pulang gelar melalui Ahsan/Hendra. Dan setelah itu, hingga
kini, belum ada lagi juara.
Di sektor
ganda putri jauh lebih miris. Sejak masa Verawati/Imelda Wiguna pada tahun
1979, atau 37 tahun lalu, Indonesia masih menanti munculnya juara baru. Harapan
itu sempat disematkan pada Greysia/Nitya, namun di tahun ini, saat performa
mereka sedang meningkat, malah keok di babak pertama.
Sektor
ganda campuran sedikit lebih baik. Sempat menanti selama 33 tahun sejak
Christian Hadinata/Imelda Wiguna, Indonesia memiliki Owi/Butet yang langsung
mengukir hattrik sejak 2012 hingga 2014. Sempat gagal mempertahankan gelar, Owi/Butet
berniat kembali merebut gelar tersebut di tahun ini. Namun harapan itu justru
berbuah manis di tangan Praveen/Debby.
Tentu tidak
adil dan jauh dari lengkap menilai maju-mundurnya bulu tangkis sebuah negara
hanya dari sebuah turnamen saja, meski level prestisius sekalipun. Kekalahan
Zhan Nan/Zhao Yunlei di babak semifinal dari Praveen/Debby misalnya tak
otomatis berakhir dengan konklusi bahwa di cabang tersebut Tiongkok mengalami
kemunduran. Di rangking lima besar dunia, Tiongkok masih menjadi raja dengan
tiga wakilnya Liu Cheng/Bao Yixin (rangking 3) dan Xu Chen/Ma Jin (rangking
lima).
Sama halnya
di sektor lain seperti ganda putra. Kegagalan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong
mempertahankan supremasi, tak berarti bahwa di sektor ini Jepang melangkah
mundur. Di rangking delapan besar dunia, Negeri Sakura memiliki tiga jagoan.
Selain Lee/Yoo di urutan teratas, ada Kim Gi Jung/Kim Sa rang (nomor enam) dan
Ko Sung Hyun/Shin Baek Cheol (rangking delapan).
Namun kegagalan
di ajang tersebut, apalagi dengan munculnya juara baru lebih dari cukup untuk
merefleksikan diri. Kembali ke sektor ganda putra, kesuksesan Vladimir
Ivanov/Ivan Sozonov menjadi juara, menjadi tanda bahwa Rusia pun sudah bisa
bersaing.
Demikianpun
di sektor tunggal putri. Munculnya nama Nozomi Okuhara di daftar juara membuat
Tiongkok semakin serius berkaca diri setelah sebelumnya peringkat teratas dunia
direbut Carolina Marin asal Spanyol dan hadirnya Saina Nehwal yang mengapit Li
Xuerui di urutan dua berikut Ratchanok Intanon di tempat keempat. Bila Tiongkok merasa perlu introspeksi diri,
apalagi Indonesia yang hanya mengandalkan Maria Febe di posisi 20 dunia.
Setali tiga
uang di sektor tunggal putra. Indonesia pun harus mengakui ketertinggalannya
dibandingkan Tiongkok dan Denmark. Di rangking delapan besar dunia, kedua
negara itu mengirim dua wakilnya. Salah satu wakil Tiongkok, Lin Dan masih
bertaji walau sudah menginjak 33 tahun dengan gelar All England keenam.
Di sektor
ini Indonesia hanya mengandalkan Tommy Sugiarto di urutan sembilan. Selanjutnya
tak ada yang bisa diharapkan, meski masih ada Dionisius Hayom Rumbaka di urutan
28 namun masih bergulat dengan cedera, selain menanti generasi emas Ihsan
Maulana Mustofa, Anthony Ginting dan Jonatan Christie yang kini sedang menapak
maju dari tangga 31 dunia.
Belajar dari Denmark
Sebagai
salah satu negara dengan jumlah penduduk tak lebih dari lima juta orang,
Denmark memiliki sistem regenerasi yang sangat baik. Di tingkat Eropa, negara
Nordik yang terletak di barat daya negerinya Zlatan Ibrahimovic, Swedia itu,
adalah raja. Tak tertandingi prestasi bulu tangkis mereka.
Tak sampai
di situ, Denmark pun rutin melahirkan bintang. Setelah era keemasan Peter-Gade
Christensen berakhir pada 2013, muncul sosok Jan O Jorgensen. Selanjutnya hadir
pemain muda Viktor Axelsen yang kini berada di rangking enam dunia dan tak lama
lagi Anders Antonsen siap meledak.
Dengan tanpa
berpanjang-panjang untuk mendata jumlah pemain bintang, dari negara tersebut
ada banyak hal positif yang sepatutnya ditiru oleh Indonesia yang berpenduduk
lebih dari 250 juta jiwa.
Pertama, pembinaan usia dini. Denmark sangat perhatian
dengan namanya pembibitan. Sejak usia belia mereka sudah diajari teknik dasar
bermain bulu tangkis. Bahkan di sekolah-sekolah anak-anak diperkenalkan dengan
olah raga tersebut.
“Ketika
berumur lima tahun, junior kami diajari dasar-dasar bermain bulu tangkis.
Mereka diajarkan bagaimana bulu tangkis dimainkan,”ungkap Peter-Gade dikutip
dari Badmintalk.
Kedua, sistem dan fasilitas memadai. Denmark sadar
bahwa mustahil melahirkan bintang tanpa ditunjang sistem dan fasilitas memadai.
Salah satu aspek yang serius diperhatikan adalah tersedianya pelatih
berkualitas.
Sistem pembinaan
pun dilakukan sejak dini dan berlangsung hingga tak kenal waktu. Dengan jumlah
penduduk sedikit, Denmark memiliki tak kurang dari 600 klub aktif dengan sistem
liga untuk junior dan senior.
“Sistem
klub adalah pusat dari bulu tangkis Denmar. Ini cukup unik jika dibandingkan
negara-negara lain. Kita memiliki pemain dari umur lima sampai 65 tahun yang
bermain secara teratur di kelompok umurnya,”ungkap Bo Jensen, Ketua Asosiasi
Bulu Tangkis Denmark.
Ketiga, bila dua unsur pertama, setidaknya sedikit
banyak masih berlaku pula di Indonesia, maka dua aspek berikut ini, harus
diakui, kita kalah. Denmark memiliki ribuan sukarelawan yang setia dan tanpa
pamrih terlibat dalam berbagai kegiatan bulu tangkis. Bahkan Denmark memiliki
Asosiasi Sukarelawan yang sudah berdiri sejak 1800 dan kini beranggotakan
sekitar 35 persen penduduk Denmark.
Keempat, kerja sama lintas sektor. Denmark menopang
geliat bulu tangkisnya dengan sinergi yang apik antar pemerintah, asosiasi
olahraga dan berbagai pihak. Modal dasar dukungan sukarelawan itu, semakin
diperkuat dengan dukungan penuh dari pemerintah yang siap menggelontorkan dana
untuk membantu asosiasi olahraga menggerakan roda kegiatan dan menyelenggarakan
berbagai event.
Comments
Post a Comment