Anies Baswedan dan Tangisan Penyiar Wanita


Sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak. Infografis diambil dari maslarto.web.id

Setiap orang tua mungkin saja memiliki berlimpah kekayaan. Dengan uang dan harta benda mereka boleh saja menghidupi dan membekali anak-anak mereka. Bisa jadi, bagi sebagian orang tua, harta dan uang adalah pemberian dan warisan terbaik untuk putera dan puteri mereka. Tak pelak, hari-hari dihabiskan untuk mencari uang dan memupuk kekayaan. 

Akibatnya, harta dan uang terus menggunung, sementara perhatian dan kasih sayang kepada anak-anak semakin berkurang. Situasi pun menjadi berbanding terbalik: waktu untuk ada dan ada bersama anak-anak menjadi semakin sedikit bahkan menjadi sangat mahal, sedangkan harta benda bertumpuk-tumpuk dengan mudah. 

Sepekan sebelum hari pertama sekolah di tahun ajaran baru pada 18 Juli lalu, Anies Baswedan, menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, turun gunung memberikan sosialisasi tentang Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah di salah satu stasiun radio JakFM. 

Di tengah euforia dan geliat memasyarakatkan pentingnya gerakan tersebut melalaui berbagai ruang media dan promosi baik cetak, elektronik maupun di jagad maya, Anies pun tampil di berbagai fora. Ketika tampil di stasiun radio tersebut, sosialisasi Anies menyentuh hati penyiar wanita. 

“Ngomong pendidikan buat saya menangis juga…Selama ini sebagai ibu bekerja saya nggakbisa ngantaranak ke sekolah,”aku sang penyiar dengan berlinang air mata. 

Anies yang tampil dengan baju putih dan dasi hitam, dengan lembut mengaku bahwa hari pertama sekolah adalah kesempatan terbaik orang tua untuk berkomunikasi dengan anak dan dengan sekolah sebagai mitra dalam pendidikan sang anak. 

Kepada anak, orang tua memberikan suntikan semangat, kepercayaan diri dan kepastian untuk melangkah ke ruang kehidupan yang baru. Tak sedikit anak yang merasa grogi, cemas dan was-was. Ada pula yang merasa senang, bangga dan tak sabar untuk segera memasuki gerbang sekolah. Pada titik tersebut, kehadiran orang tua menjadi oase mereka berbagi rasa dan menumpahkan segala pikiran dan isi hati. 

Menurut Anies, kehadiran orang tua pada saat tersebut menjadi penting agar jangan sampai segala beban dan isi hati ditumpahkan kepada pihak lain. Tak sedikit orang tua yang mendelegasikan tanggung jawab kepada tukang ojek, sopir pribadi atau anggota keluarga yang lain. Alhasil yang menghadapi sang anak di saat-saat penting tersebut bukan orang tua sendiri. 

“Yang menenangkan siapa? Sopirnya. Yang menenangkan siapa? Tukang ojeknya. Ibu bapaknya di mana? Somewhere else,”celetuk Anies. 

Efeknya pun berlanjut. Tanpa orang tua, hari pertama sekolah tak akan banyak berarti bagi sang anak. Bisa pula, hari pertama sekolah menjadi pengalaman yang menyakitkan ketika sang anak melihat rekan-rekan lainnya mendapatkan sentuhan perhatian dan kasih sayang dari orang tua mereka. Sementera ia sendiri tak memiliki sandaran untuk berbagi rasa dan isi hati.

Bila hari pertama sekolah sudah muncul rasa sendiri dan terasing dari perhatian orang tua, maka rasa tersebut akan terpatri dalam ruang kesadaran yang akan dibawanya selama bertahun-tahun ke depan. Hari itu adalah hari yang tak perlu dikenang, malah sebaiknya segera dienyahkan dari ruang. Menurut Anies hari pertama sekolah mestinya menjadi pengalaman tak terlupakan yang mengisi ruang kesadaran sang anak bahwa orang tua sedang mengantarnya untuk belajar. 

Selain mendampingi sang anak, di hari pertama sekolah, orang tua (tentu saja ayah dan ibu) akan bertemu dan berkomunikasi dengan para guru. Menurut Anies, pada saat itu, para guru adalah representasi negara yang bertugas untuk menyambut amanah yang diberikan negara dan orang tua untuk mendidik generasi penerus bangsa. 

“Tugas negara adalah memastikan negara hadir menyambut anak di sekolah,”tegas pria kelahiran Kuninga, Jawa Barat, 47 tahun silam. 

Lebih lanjut, menurut Anies, pada saat pertemuan tersebut, orang tua dan pihak sekolah bisa melakukan banyak hal. Mulai dari bertukar nomor handphone, berbagi tentang rencana belajar sang anak dan orang tua bisa menyampaikan kondisi, kebutuhan hingga kekhawatiran sang anak. Dengan demikian, pihak orang tua tahu apa yang akan terjadi dengan sang anak di sekolah, siapa wali kelas sang anak, sementara sekolah akan mengetahui kondisi peserta didik yang akan ditempa dan dibina selama kurang lebih enam sampai tujuh jam di ruang sekolah. 

“Jangan sampai orang tua tidak tahu sekolah, sekolah tidak kenal orang tuanya. Padahal yang dididik sama, anaknya. Ini namanya kolaborasi tanpa komunikasi.” 

Sebagai dua institusi yang bertanggung jawab terhadap pendidikan sang anak, sekolah dan orang tua semestinya bermitra melalui komunikasi yang dimulai pada hari pertama sekolah itu. Jangan sampai tugas mendidik sang anak dilimpahkan kepada salah satu pihak. Padahal keberhasilan pendidikan sang anak tidak hanya ditentukan oleh kesuksesan belajar di ruang kelas. Dengan porsi waktu belajar yang terbatas di sekolah, rumah dan orang tua memegang porsi tanggung jawab yang besar untuk melanjutkan pendidikan sang anak.

Untuk memastikan hari pertama sekolah itu berjalan baik, negara dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mewajibkan kepada setiap sekolah untuk menyiapkan kondisi yang kondusif untuk menyambut peserta didik beserta orang tua. 

Salah satu langkah reformatif adalah menghapus segala bentuk perpeloncoan yang selama ini menjadi menu wajib untuk menyambut para siswa baru. Melalui program Sekolah Aman, negara beritikad memastikan bahwa setiap anak bebas dari ancaman kekerasan (bullying) dari siapa pun. 

Selain itu, menghapus Masa Orientasi Sekolah (MOS) yang sarat kekerasan dan praktik tak terpuji dan diganti dengan program Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS). Melalui Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 ditegaskan pentingnya PLS untuk “mengenali potensi diri siswa baru; membantu siswa baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya, antara lain terhadap aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah; menumbuhkan motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru; mengembangkan interaksi positif antarsiswa dan warga sekolah lainnya; menumbuhkan perilaku positif antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati, keanekaragaman dan persatuan, kedisiplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja dan semangat gotong royong.”

Lantas bagaimana bila orang tua tidak memiliki kemampuan untuk menyekolahkan anak? Bagi peserta didik dari kalangan tidak mampu, negara telah memfasilitasi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan melalui berbagai program di antaranya program Indonesia Pintar melalui distribusi Kartu Indinesia Pintar. Dengan kartu tersebut, setiap anak mendapat hak yang sama di dunia pendidikan dan diharapkan orang tua mereka pun menyertakan anak mereka di hari pertama sekolah. 

Saat hari pertama itu, orang tua memberikan dukungan semangat dan menanamkan sikap positif walau mereka secara material “kalah” dibandingkan anak-anak lain. Kehadiran orang tua menamamkan kepercayaan diri kepada anak mereka untuk bertekun dalam pendidikan, terlibat persaingan sehat di ruang belajar. Tak sedikit anak-anak dari kalangan tidak mampu merasa minder sejak hari pertama sekolah sehingga mengganggu seluruh proses belajar dengan membawa serta rasa rendah diri, inferior sehingga memilih menjauh dari ruang pergaulan sosial. 

Dengan demikian penting hari pertama sekolah yang telah digagas dan digelorakan secara masif oleh Anies Baswedan. Diharapkan penggantinya, Profesor Muhadjir Effendy, dapat melanjutkan gagasan bernas tersebut dengan memikirkan cara untuk menambal sejumlah celah dari gerakan tersebut. Beberapa dari antaranya adalah, pertama,mengatasi kemungkinan bila orang tua juga berprofesi sebagai guru. 

Menurut pengalaman Kepala Sekolah SMA Labschool, Jakarta, Spurano, seperti dilansir Liputan6.com,beberapa guru terpaksa tidak dapat mengantar anak mereka di hari pertama sekolah. “Ini gerakan baik sekali, ini sudah dilakukan sejak tahun lalu. Ya tapi yang enggak bisa ikut gerakan ini ya cuma guru, karena kami harus standby,"tuturnya.

Kedua,melakukan sosialisasi dan imbauan jauh sebelum hari H. Hal ini penting untuk menanamkan kesadaran sekaligus mengantisipasi jadwal kerja orang tua pada hari pertama sekolah anak. Dengan demikian mereka bisa lebih dini menyiapkan diri (terutama orang tua yang bekerja jauh dari rumah), mulai dari mendampingi sang anak untuk berbelanja segala kebutuhannya, hingga memastikan kehadiran mereka di hari pertama sekolah. 

Sosialisasi tersebut bisa digemakan melalui berbagai cara seperti yang sudah dilakukan oleh Anies Baswedan dan timnya. Diharapkan dengan sosialisasi yang luas, gerakan tersebut bisa sampai pula ke telinga dan ruang kesadaran para pemangku kepentingan, terutama yang berkaitan dengan pekerjaan para orang tua. 

Tangisan sang penyiar yang tersentuh dengan imbauan Anies Baswedan di atas adalah cerminan orang tua yang terperangkap dalam kesibukan sekaligus ikatan kerja yang kuat sehingga mereka tak memiliki waktu barang sejenak untuk mengantar anak di hari pertama sekolah. Seperti para Pegawai Negeri Sipil (PNS) mendapatkan izin untuk mengantar anak di hari pertama sekolah, bidang kerja lainnya pun mestinya memberikan kelonggaran kepada para karyawan untuk mengukir kesempatan tak terlupakan bersama buah hati mereka di hari pertama sekolah. 

Apakah semua bidang tugas dan medan kerja para orang tua memberikan kesempatan yang sama di hari pertama sekolah? Ketiga,hari pertama sekolah adalah titik berangkat untuk hari-hari penting pendidikan sang anak. Diharapkan agar pertemuan antara guru dan orang tua dan orang tua dan orang tua tidak sebatas hari pertama saja. Awal yang baik di hari pertama sekolah perlu dilanjutkan pada hari-hari selanjutnya agar perkembangan pendidikan sang anak bisa terus dipantau. Momen-momen pertemuan lainnya perlu disiapkan sebagai ruang evaluasi proses belajar dan pendampingan terhadap sang anak baik di sekolah maupun di rumah. Dengan demikian tanggung jawab orang tua tetap dijaga sejak hari pertama sekolah hingga selesainya proses pendidikan sang anak. Jangan sampai orang tua merasa hanya perlu terlibat di hari pertama sekolah selanjutnya menyerahkan hari-hari selanjutnya ke pangkuan sekolah dan para guru. 

Keempat,melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tingkat efektivitas Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah untuk melihat sejauh mana tingkat pelaksanaan dan keterjangkauannya. Termasuk juga pelaksanaan program Pengenalan Lingkungan Sekolah untuk memastikan negara benar-benar hadir untuk menyambut anak dan orang tua di hari pertama sekolah dan jauh dari praktik perpeloncoan, bullying dan sebagainya. 

Diharapkan dengan evaluasi menyeluruh gerakan tersebut semakin sempurna sejak persiapan hingga pelaksanaan sehingga menjadi PROGRAM WAJIB saban tahun. Muaranya adalah menyasar esensi sekolah sebagai ruang yang nyaman, aman dan konstruktif bagi peserta didik untuk mendapatkan pendidikan seluas-seluasnya dan pembentukan karakter yang handal serta menjadikan sekolah sebagai ruang kolaborasi dan partisipasi antarberbagai komponen demi membentuk generasi emas Indonesia.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 31 Juli 2016.


Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing