Anies Baswedan Serahkan Estafet ke Muhadjir Effendy

  
Anies Baswedan menyambut Muhadjir Effendy sebelum serah terima jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kartika Sari Tarigan/detikcom)



Hari ini, Rabu, 27 Juli 2016, suhu ruang publik Indonesia panas. Hawa yang mulai terasa sejak sepekan terakhir-berupa instruksi Presiden Jokowi kepada para menteri untuk tak meninggalkan Ibu Kota- yang distimulus oleh anasir ekonomo, sosial dan politik, mencapai titik didih pada siang ini. Pergantian kabinet untuk kedua kalinya pada masa kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, terjadi.

Seperti reshuffle edisi pertama, ada reposisi. Ada pula yang benar-benar lengser sehingga diganti muka baru. Namun, sebagian besar yang mengisi pos pembantu presiden adalah muka lama yang selam ini wara-wiri di lingkaran kekuasaan.

Satu dari sedikit profesional, sekaligus sedikit dari kumpulan yang “terbuang” adalah Anies Baswedan. Sejak 27 Oktober 2014, mantan rektor Universitas Paramadina itu menjalankan amanat sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak hari ini, kursi utama di kementerian yang terletak di kawasan Senayan itu ditempati oleh Profesor Muhadjir Effendy.

Tentu, aneka polemik menimpali lagu lama drama politik ini. Pro-kontra mencuat, menjadi hal biasa. Kini, pilihan terbaik adalah menanti kiprah kabinet kerja Jilid II ini karena hidup kenegaraan kita tak berhenti di sini.

Walau getir, refleksi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said sehari sebelum digusur, cukup menyentuh.  "Setelah kita ada di puncak bukit, hanya ada satu jalan ke depan. Karena itu setiap sampai di puncak bersiaplan turun setiap saat." (Detik.com, 27 Juli 2016).

Permenungan Sudirman cocok menggabarkan nasib setiap pemimpin di negeri ini . Namun, kata-kata tersebut bisa jadi ungkapan penghiburan setelah kehilangan jabatan penting. Bila taka was mencerna, bisa saja mengikis nyali dan menggerus energi setiap penerus.

Sebagai pengganti Anies, Muhadjir seyogyanya tak perlu merisaukan posisi. Hal penting yang harus ditunai adalah melanjutkan estafet kepemimpinan di salah satu kementerian yang kepadanya arah dan masa depan Indonesia digantung. Seperti Anies, selama hampir dua tahun, ia telah berjuang untuk memajukan pendidikan Indonesia.

Dalam waktu yang cukup singkat untuk rencana besar membangun masa depan Sumber Daya Manusia Indonesia yang unggul, pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 47 tahun silam telah menggebrak dengan sejumlah gagasan dan gerakan. Bahkan beberapa dari antaranya muncul jauh sebelum menjadi menteri.

Beberapa dari antaranya adalah Gerakan Indonesia Mengajar untuk menjangkau pendidikan hingga pelosok-pelosok negeri yang sudah digalakan sejak akhir 2009, Gerakan Indonesia Menyala untuk “membukukan” Indonesia (menyebarkan buku-buku ke kawasan terpencil), Gerakan Literasi Sekolah, dan pembaharuan kebahasaan melalui Permendiknas 46/2009 yang membekukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan diganti dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.

Terkini, di tahun ini, doktor ilmu politik itu menggagas Gerakan Membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai dan Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah yang digelorakan di awal tahun ajaran baru ini.

Terlepas dari sejauh mana realisasi program tersebut, dan seperti apa pertimbangan Muhadjir Effendy nanti, itikad baik Anies tersebut sepatutnya dipertahankan. Jalan yang sudah dirintis Anies, perlu diperbaharui bila ada kekurangan yang mengganjal.

Dengan tanpa meremehkan yang lain, Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah perlu dipertahankan, dipertajam dan dimaknai secara komprehensif. Hemat saya, gerakan tersebut adalah titik antara yang mengantarai prakondisi dan konsekuensi tertentu yang kerap terlupakan. Artinya, mengabaikan atau meniadakan salah satu titik, maka tak akan pernah tercapai garis panjang kesuksesan. Patut dicatat, beberapa titik yang diangkat ini jauh dari kata sempurna untuk melengkapi garis tersebut.

Mustahil seorang anak bisa di antar ke sekolah bila hak sipilnya dicederai atau dilanggar. Walau cuma selembar, akta kelahiran berbicara banyak hal. Di sana ada pengakuan dari negara terhadap hak sipilnya, di sana asal usul dan satus orang tua tergambar jelas dan lembaran itu menjadi kunci mendapatkan hak pendidikan dan jaminan kesehatan.

Di negeri ini, persoalan terhadap secarik akta itu masih diwarnai diskriminasi, terutama terkait asal usul dan status orang tua anak itu. Di bumi yang menyebut diri berbhineka tak sedikit orang tua yang dipersulit bahkan terang-terangan mendapat perlakukan tak adil.

Belum lagi status anak yang lahir akibat perkawinan di luar nikah lantas ditinggalkan orang tuanya atau dengan sengaja ditelantarkan begitu saja. Atau, anak yang benar-benar ditinggalkan orang tua karena kematian, pun yang terpaksa “ditinggalkan”  karena lilitan prahara ekonomi. Masih bisa kita berbicara tentang hari pertama sekolah yang indah dan adil bila fenomena tersebut masih saja mengemuka?

Tak sampai di situ, setelah mengantar anak di hari pertama, aneka konsekuensi pun menanti. Belum selesai tugas orang tua mengantar anak dan uluran sambutan hangat guru di hari pertama. Hari pertama, adalah permulaan dari hari-hari selanjutnya. Itulah titik berangkat untuk sebuah garis akhir yang membentang panjang.

Setelah hari pertama, orang tua dan guru akan melewati hari-hari panjang bahkan melelahkan untuk mengajar, membimbing, menuntun, dan mendampingi anak. Sekolah dan rumah, adalah dua dari sekian banyak ruang hidup dan belajar anak yang membutuhkan uluran tangan guru dan orang tua secara sinergis dan kolaboratif. Di dalamnya ada kerja sama, kerja bersama, serta pembagian tugas dan wewenang.

Saat orang tua melancarkan kritik terkait kebersihan sekolah atau praktik-prakti tak terpuji di ruang belajar dan dibalas dengan intimidasi terhadap atau dilampiaskan kepada peserta didik adalah contoh buruk untuk kerja sama tersebut.

Sebaliknya, saat guru memberikan edukasi dengan ketegasan lantas ditanggapi secara berlebihan oleh orang tua, atau orang tua memasuki ruang belajar dan pengambilan keputusan sekolah secara sembrono adalah juga bentuk sinergi yang keliru.

Alih-alih saling menerabas kewenangan dan tugas atau mensubordinasi salah satu pihak,  adalah lebih penting menggalang kekuatan untuk menangkal terjangan vaksin palsu, paparan asap rokok bahkan godaan merokok dan narkoba, lem dan jajanan tidak sehat. Selain itu, mengawasi ruang bermain anak yang semakin sempit, terutama, di ibu kota. Akibat ruang belajar dan bermain yang sempit, di sejumlah tempat, anak-anak dengan leluasa bermain di pinggir jalan.

Selain itu, menggalang kerja sama untuk menjaga konsistensi proses pendidikan anak agar anak tak terjebak putus sekolah. Di halam depan Kompas, Selasa, 26 Juli 2016, terpapang data masih signifikannya angka putus sekolah baik di desa (1,67 persen) maupun perkotaan (1,24 persen).

Berat
Tugas Muhadjir Effendy memang berat. Melanjutkan program baik yang sudah dirintis pendahulunya.  Mempertahankan gerakan tersebut dan gerakan-gerakan lainnya sambil mempertebal pelaksanaannya hingga ke tingkat terbawah.

Amanat konstitusi, teranyar melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tumbuh kembang, kesejahteraan, keamanan, kenyamanan dan keadilan bagi anak perlu diterjemahkan secara nyata dalam lingkup pendidikan.

Untuk menerapkannya, Muhadjir tak hanya berpikir keras tentang pelaksanaan teknis (sistem), juga mengatasi kondisi-kondisi yang mengganjal seperti pola pikir, adat-budaya, anggaran dan regulasi.
Agar Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah saja bisa berjalan baik, ia tak hanya menggalakkan sosialisasi dan memastikan pengawasan. Mengatasi apa yang saya sebut prakondisi di atas, termasuk membongkar adat yang belum menempatkan pendidikan sebagai prioritas tak mudah dilakukan.

Harapan kita, dengan pengalaman panjang di bidang pendidikan di antaranya menjadi rektor kelima Universitas Muhamadiyah Malang (2000-2016), teruji jam terbang kepemimpinan di tubuh organisasi keagamaan Muhamadiyah, serta wawasan luas di bidang militer dan sosiologi, sekiranya cukup lengkap untuk menahkodai kapal besar bernama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini.

Setelah Anies Baswedan membuka jalan, selanjutnya kepada Muhadjir Effendy kita menitipkan tugas mulia ini, menjawabselentingan Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sujito seperti dikutip Kompas, Selasa, 26 Juli 2016, hal.11, “Bicara soal daya saing bangsa, berarti bicara soal kualitas sumber daya manusia. Bagaimana kita bisa bicara kualitas SDM apabila cikal bakalnya tak mendapatkan situasi tumbuh kembang secara wajar dan sehat?”

Teriring ucapan terima kasih kepada jasa besar Pak Anies, seperti saat menyambut seorang siswa di hari pertama sekolah, kepada Pak Muhadjir kita berkata, “selamat datang.”
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 27 Juli 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing