Memaknai Separuh Jalan Rio Haryanto


Tersingkirnya Rio sebagai pebalap kedua Manor semakin memperkuat ikatan antara tim asal Inggris tersebut dengan Mercedes. Dua pebalap utama Manor saat ini merupakan jebolan tim asal Jerman itu. Gambar MANOR GRAND PRIX RACING LTD dari Kompas.com.

Setelah separuh jalan mengibarkan Merah Putih di arena Formula One (F1), Rio Haryanto pun terdepak dari kursi utama tim Manor Racing. Seperti sudah tercium sejak awal, kendala finansial yang membelit, memaksa tim asal Inggris itu tak bisa berlama-lama menanti sisa pembayaran 7 juta euro dari total 15 juta euro yang harus dibayar untuk mendampingi Pascal Wehrlein sepanjang musim ini.

Keputusan Manor mencoret Rio bisa dimaklumi. Setoran 8 juta euro untuk 12 kali kesempatan dari total 21 seri semusim ini cukup adil. Walau jumlah setoran jauh lebih banyak dari Pascar-yang hanya membayar 5 juta euro-, dari segi kedekatan, bisnis, kebutuhan dan posisi, tak ada pilihan lain bagi Rio bila ingin mengaspal di ajang jet darat itu.

Rio adalah pendatang baru alias rookie yang tak memiliki riwayat pertemanan dengan Manor. Sementara Pascal merupakan mantan anak didik Mercedes yang merupakan penyuplai mesin untuk Manor musim ini.  Musim lalu, driver asal Jerman itu menjadi pembalap pengembang tim berlogo bintang segi tiga itu.

Sebagai tim medioker yang memiliki keterbatasan finansial, bayaran dari para pebalap walau tak seberapa sedikit menyokong kebutuhan tim untuk bergelut dan bergulat dalam dunia yang membutuhkan investasi luar biasa besar. Musim lalu Manor menghabiskan tak kurang dari 83 juta euro untuk sejumlah kebutuhan utama seperti pengembangan mobil (mulai dari penelitian hingga produksi), biaya operasional, honor kru dan staff.

Jumlah tersebut jauh lebih sedikit dari besaran uang yang digelontorkan tim-tim besar seperti Mercedes, Ferrari, McLaren-Honda, Williams dan Red Bull Racing. Sebagai contoh. Saat menjadi juara dunia tahun 2012, Red Bull Racing menghabiskan anggaran sekitar Rp 3,54 triliun selama setahun. Artinya, kebutuhan tim asal Austria itu di setiap seri sebesar Rp177,16 miliar (http://sport.detik.com/f1/3161957/menghitung-mahalnya-biaya-balapan-f1).

Angka kebutuhan tersebut tentu meningkat saban tahun. Sebagai cabang olahraga yang bersekutu dengan teknologi tinggi maka peningkatan budget menjadi lumrah. Bisa dibayangkan berapa besar dana yang dikeluarkan tim sekelas Mercedes yang selalu berambisi untuk menjadi raja di lintasan sehingga giat berinovasi dengan jumlah kru yang kompeten dan komplit untuk mendukung Lewis Hamilton dan Nico Rosberg, dua dari segelintir pembalap paling bersinar saat ini yang masing-masing digaji 25 juta euro dan 13,5 juta euro per tahun (http://www.rappler.com/indonesia/123427-f1-rio-haryanto-manor-dana).

Meski jumlah pengeluaran Manor selama semusim jauh lebih sedikit dari para raksasa, namun kalkulasi kebutuhan yang tinggi dengan tingkat kontribusi dana pebalap yang tak seberapa membuat posisi Rio yang tengah mengutang menjadi sulit. Ditambah lagi, secara prestasi, performa Rio masih dibelakang Wehrlein.

Rio mengawali debut Fi di Australia dengan hasil kurang mengenakkan. Ia gagal finish akibat kerusakan mobil. Namun di seri berikutnya di Bahrain Rio tampil impresif di antaranya mampu mengungguli sejumlah jagoan untuk kategori fastest lap.

Menjadi yang tercepat dalam satu putaran saja tak cukup. Di semua seri balapan hingga terakhir di GP Jerman, 31 Juli lalu, Rio menjadi langganan urutan belakang. Posisi terbaik pembalap kelahiran Surakarta ini diukir pada seri keenam di Sirkuit Monte Carlo pada 29 Mei. Saat itu, Rio finis di posisi 15.

Alhasil Rio menutup kiprahnya di F1 musim ini dengan tanpa menggondol satu biji poin pun. Hal ini berbeda dengan rekannya Pascal yang hampir selalu finis di depannya. Sejauh ini, pebalap 21 tahun itu sukses “pecah telur” dan mempersembahkan satu poin setelah mengakhiri kesembilan di Austria, awal Juli lalu, pada posisi ke-10.

Secara keseluruhan performa Rio tetap diapresiasi Manor. Tawaran untuk menjadi pebalap cadangan untuk Wehrlein dan penggantinya Esteban Ocon menjadi bukti. Terlepas dari seperti apa keputusan Rio dan manajemennya, bergelut dan berkompetisi di lintasan balap selama 12 seri menjadi pengalaman berharga.

Esteban Ocon merupakan pebalap masa depan Prancis. Sebelumnya memperkuat Tim Mercedes sebagai pembalap cadangan dan sukses melompat dari GP3 yang dijuarainya tahun lalu. Ia akan melakoni debut pada GP Belgia, 28 Agustus nanti/www.dw.com.
Rio telah merasakan kerasnya persaingan bisnis dan kompetisi F1. Sebagai muka baru menghadapi para jagoan yang didukung oleh sumber daya memadai menuntut kekuatan mental dan menguras pikiran dan tenaga. Rio berhasil melewati hadangan tersebut meski berkali-kali harus tahan banting diasapi para unggulan akibat adaptasi yang belum maksimal dan kondisi mobil yang tak prima.

Repotnya mengakrabi MRT05 di satu sisi, dan bayang-bayang deadline pembayaran di sisi lain akhirnya melengkapi riwayatnya di F1 musim ini. Cita-citanya mengibarkan panji Merah Putih di ajang bergengsi tersebut kandas separuh jalan karena begitu susahnya mendapatkan sponsor untuk 7 juta euro dari sebuah bangsa dengan 48.500 orang kaya (http://finance.detik.com/read/2016/03/21/194002/3169964/4/dalam-10-tahun-jumlah-orang-kaya-ri-bertambah-jadi-48500-orang) dan kelompok kelas menengah yang terus bertumbuh.

Rio adalah saksi mata dari wacana dukungan yang dikumandangkan menteri pemuda dan olahraga-yang baru saja lolos dari reshuffle jilid II-hingga wakil presiden yang kandas di tengah jalan. Berharap lebih pada anggaran negara yang terbatas dan telah dibagi-bagi menurut peruntukan, jelas tak mungkin. Demikianpun mendapatkan suntikan dari BUMN lain selain Pertamina sebagai sponsor utama, sama sulitnya. Mengapa? Entahlah.

Begitu juga mengharapkan sumbangan sukarela yang bisa disalurkan secara langsung melalui rekening khusus atau didonasikan melalui program SMS berbayar dan pernak pernik tak cukup membantu.

Pada titik ini, Rio memberikan pelajaran penting tentang bagaimana kita mewadahi dan memaksimalkan para telenta Tanah Air terutama bagi mereka yang terjun dalam dunia yang tak sepenuhnya olahraga. Rio bukan orang pertama yang merasakan kegetiran itu. Dan kita berharap ia menjadi yang terakhir.


Usiamu masih muda, jalan panjang terbentang di depan sana. Maju terus, dan teruslah membanggakan Indonesia dengan jalan yang nanti engkau pilih, Rio.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 11 Agustus 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing