(Bukan) Basa-basi Pencabutan Pembekuan PSSI dan KLB FIFA
Gambar diambil dari BBC.com
Ada satu pertanyaan menggelitik dari rencana pencabutan
Pembekuan PSSI yang baru saja dikumandangkan Presiden Joko Widodo, Rabu
(24/02/2016) petang dan Kongres Luar Biasa FIFA, Jumat (26/02) besok: apa arti
semua itu? Lebih persis, adakah perubahan signifikan yang akan terjadi di jagad
sepak bola domestik dan dunia setelah dua momentum itu terlaksana?
Saat ini,
baik sepak bola dalam negeri maupun dunia diterpa badai yang satu dan sama:
krisis. Tepatnya, krisis kepemimpinan, meski akibatnya berbeda-beda. Bagi
Indonesia buntut krisis itu terlihat jelas. Sanksi keras FIFA yang memojokkan
bahkan menukikkan sepak bola kita di titik nadir.
Sementara FIFA sedang mencari
pemimpin reformatif untuk memulihkan kepercayaan dunia sekaligus membersihkan
diri dari noda skandal korupsi, suap dan sebagainya yang berujung pada
hancurnya status quo Sepp Blatter dan kroni-kroninya. Selama kurang lebih 18
tahun digenggam pria legendaris Swiss itu, FIFA seakan hidup di puncak menara
gading kekuasaan yang tak tersentuh publik, sehingga diam-diam membiakkan aksi
koruptif dan perilaku tak terpuji, yang amat jauh dari nilai kejujuran dan
sportivitas yang digaungkan dunia olahraga.
Setelah pria 79 tahun itu mundur
pada Juni 2015 lalu, walau terkesan berat hati karena masih mau berkuasa, FIFA
kini menatap era kepemimpinan baru. Setelah kandidat kuat, Michel Platini
terkena skors enam tahun bersama kolega dekat Blatter, maka tersisa lima
kandidat yang akan bertempur menjadi orang nomor satu FIFA. Presiden
Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) asal Bahrain Sheikh Salman bin Ebrahim Al
Khalifa. Berikutnya Presiden Konfederasi Sepak Bola Yordania Ali Bin Al
Hussein. Gianni Infantino, pelaksana ketua sepak bola Eropa. Selanjutnya,
politisi dan mantan Menteri Kesejahteraan Manusia Afrika Selatan, Tokyo
Sexwale. Serta Jerome Champagne, eks anggota komite eksekutif FIFA.
Harapan
dunia kini diletakkan pada kelima kandidat itu, walau sesungguhnya tak ada dari
antara mereka yang benar-benar bersih. Pangeran Ali meragukan reputasi dan nama
baik Sheikh Salman yang diduga terlibat dalam aksi penyiksaan dan pemenjaraan
demonstran pro-demokrasi di negaranya pada 2011. Sebaliknya Pangeran Ali dan
juga Jerome Champagne sudah lama berkecimpung dengan rezim Blatter sehingga
belum cukup meyakinkan kita bahwa mereka benar-benar tak terkontaminasi.
Walaupun selama masa kampanye Pangeran Ali getol menyerukan reformasi di tubuh
FIFA. Dan awal pekan ini ia mengambil langkah mengejutkan, melayangkan
permintaan penundaan pemilihan Presiden FIFA sampai keinginannya untuk
menyelenggarakan sistem pemilihan yang transparan dipenuhi. Namun permintaan
membuat bilik transparan itu ditolak komisi pemilihan FIFA dan Pengadilan
Arbitrase Olahraga (CAS).
Paket Reformasi
Kongres Luar Biasa yang dihadiri 207
perwakilan setelah minus Indonesia dan Kuwait yang terkena skors, memiliki
sejumlah agenda penting yang akan menentukan perjalanan FIFA ke depan. Menurut
BBC Sport, setidaknya ada dua isu besar yang akan dibahas dalam KLB FIFA kali
ini.
Pertama, tentu saja pemilihan presiden baru. Kedua, pembahasan terkait
paket reformasi yang dirancang untuk mengeliminasi masalah yang membuat FIFA
jatuh ke dalam krisis sekaligus memulihkan reputasinya. Bila agenda pertama
hanya akan menjadi formalitas belaka, maka agenda kedua amat penting bagi masa
depan reformasi FIFA.
Salah satu 'orang dalam' FIFA mengaku bahwa bencana akan
datang bila paket reformasi tersebut gagal mencapai kata sepakat mengingat
mencakup sejumlah poin penting untuk meminimalisir dan mengakhiri ‘dosa’ masa
silam, di antaranya terkait: pembatasan waktu keluasaan para petugas FIFA
berikut keterbukaan soal gaji, pemisahan pengambilan keputusan dari
pengaruh pilitisperwakilan dari asosiasi nasional, penghapusan komite eksekutif
dan diganti dengan 36 anggota FIFA dengan sekurang-kurangannya enam wanita
untuk mengatur strategi global, checks and balances yang akan dilakukan oleh
serangkaian komite yang berperan sebagai tim audit dan komite kepatuhan yang
sepenuhnya independen serta audit tahunan dari setiap konfederasi regional dan
asosiasi nasional yang dilaporkan langsung ke FIFA.
Lebih dari itu, pentingnya
persetujuan paket reformasi itu untuk menyelamatkan eksistensi FIFA saat ini.
Sebagaimana diketahui FIFA sedang dalam posisi berbahaya di tengah investigasi
serius pihak berwajib Amerika Serikat dan Swiss terhadap sejumlah mantan
pejabat yang tersangkut skandal. Bukan tidak mungkin dari hasil investigasi itu
akan terungkap temuan-temuan baru yang semakin memojokkan posisi FIFA meski
sejauh ini Departemen Kehakiman AS masih menganggap FIFA lebh sebagai korban
dari ulah sejumlah pihak.
Namun bila langkah perubahan tak segera diambil bisa
saja anggapan tersebut berubah menjadi tudingan bahwa FIFA
adalah organisasi yang melakukan aksi kejahatan terorganisir, sehingga
bisa berujung pembekuan.
Siapa menang?
Seperti disingguh sebelumnya, tak ada
calon yang benar-benar bersih dari anggapan dan sejarah masa lalu. Sehingga
pertanyaan siapa pantas kurang relevan. Sebagai gantinya dengan prinsip minus
malum (terbaik dari yang terburuk) pertanyaan menjadi: siapa paling
berpeluang?
Kembali mengutip BBC, Sheikh Salman dari Bahrain dianggap sebagai
calon terkuat. Pasalnya ia mendapat dukungan dari konfederasi Asia (walau minus
Indonesia dan Kuwait) dan Afrika. Dua konfederasi ini tak bias diremehkan dalam
kontestasi pemilihan presiden FIFA, meski tak bisa dipastikan bahwa semua
anggotanya satu suara mendukung Sheikh Salman mengingat pemilihan bersifat
rahasia.
Champagne kurang populer dan diperkirakan mendapat dukungan tak kurang
dari 10 orang. Sementara pengusaha Afrika Selatan Tokyo Sexwale masih menjadi
sosok misterius di dunia sepak bola. Di tambah lagi Tokyo menuai cibiran karena
terlalu bersemangat dalam kampanye.
Bagaimana dengan Gianni Infantino? Nama
pria 45 tahun sedang melejit akhir-akhir ini. Sejumlah pengamat mengatakan
bahwa Infantino berpeluang menang mengingat sosok tersebut didukung oleh tim sukses
yang kuat. Pengalaman kegagalan Pangeran Ali bin al-Hussein pada pemilu Mei
lalu menjadi contoh. Infantino memiliki dukungan kuat di Eropa, Amerika Selatan
dan dukungan signifikan di Karibia. Bila peta kekutan demikian adanya, ia hanya
butuh tambahan setengah dari pemilih asal Afrika untuk memenangkan
pemilihan.
Sementara peluang Pangeran Ali tampaknya sudah tertutup. Saat
Platini mengumumkan akan maju dalam pemilihan kali ini suara dukungan dari
Eropa padanya hilang. Harapan untuk kembali merebut dukungan itu terbuka lebar
saat pria legendaris Prancis itu mendapat suspensi.
Sayangnya dalam situasi ini
Pangeran Ali ternyata gagal memanfaatkan momentum dan kalah sigap dari
Infantino. Walau demikian ia tetap memiliki pendukung, meski jauh dari cukup
untuk menang. Dalam posisi seperti ini Pangeran Ali akan menjadi sosok
kunci untuk menentukan sang pemenang. Dengan mengarahkan pendukungnya kepada
salah satu jagoan, maka peluang sang kandidat untuk juara terbuka lebar. Apakah
ia akan mendukung sesama wakil Asia, Sheikh Salman? Kritiknya terkait
masa lalu Salman sepertinya sudah menjadi jawaban.
(Bukan) basa-basi
Akhirnya, kita berharap agar KLB FIFA ini benar-benar menghasilkan sesuatu yang
signifikan terutama berkaitan dengan paket reformasi yang gencar dikampanyekan
acting presiden FIFA Issa Hayatou yang tinggal membutuhkan penyempurnaan dan
persetujuan peserta kongres.
Paket tersebut merupakan bagian dari reformasi
yang harus diambil FIFA bila tak ingin semakin dalam masuk ke lubang krisis yang mencekam dengan segala akibat terburuk seperti dipaparkan sebelumnya.
Sehingga 'angin positif' yang niscaya berhembus dari Zurich,Swiss itu sampai
pula ke tanah air. Menyejukkan hati dan pikiran yang beku dan menerbangkan
egoisme sektoral yang membuat sepak bola kita mati suri.
Dari situ pengaruh
perubahannya akan berpelukan dengan langkah reformatif sepak bola dalam negeri
yang sudah mulai digaungkan Jokowi dengan menyerukan pengkajian pencabutan SK
Pembekuan PSSI, dua hari sebelum KLB FIFA.
Aksi turun tangan Jokowi ini diharapkan
menjadi bagian dari terbosoan untuk membentuk paket reformasi tata kelola
sepak bola nasional yang tinggal membutuhkan tindak lanjut konkret dari semua
pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan hal itu. Jangan sampai dan sejauh
dapat tak terjadi, bahwa seruan Jokowi hanya sebagai pemanis bibir
atau basa-basi belaka.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 25 Februari 2016.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/bukan-basa-basi-pencabutan-pembekuan-pssi-dan-klb-fifa_56cea8143eafbdcc14bcd5dc
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/bukan-basa-basi-pencabutan-pembekuan-pssi-dan-klb-fifa_56cea8143eafbdcc14bcd5dc
Comments
Post a Comment