Refleksi Hari Jantung Sedunia, Anak dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Bisa Hidup Normal

Ilustrasi anak: klikdokter.com

Setiap tanggal 29 September, kita memperingati Hari Jantung Sedunia. World Heart Day (WHD). Secara global, peringatan tahun ini mengambil tema “Use Heart to Connect.” Tema besar ini kemudian dikerucut menjadi “Jaga Jantungmu untuk Hidup Lebih Sehat” sebagai tema nasional.

Tentu ada fokus tertentu di balik tajuk tersebut. Salah satunya semakin tanggap dan sadar pada ancaman penyakit kardiovaskular. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), melansir promkes.kemkes.go.id, mencatat lebih dari 17 juta orang di dunia meninggal tersebab penyakit jantung dan pembulu darah.

Di Indonesia angka kematian per tahun menginjak 651.481 kasus. Jumlah tersebut terbagi atas kematian karena stroke (331.349), penyakit jantung coroner (245.343), penyakit jantung hipertensi (50.620), dan berbagai penyakit kardiovaskular lainnya.

Di balik peringatan tersebut ada pesan kuat yang ingin disampaikan. Kesehatan jantung harus menjadi perhatian setiap orang. Untuk itu diperlukan gaya hidup sehat agar organ vital itu tetap terjaga. Mengkonsumsi makanan yang sehat, beraktivitas fisik lebih baik, berhenti merokok, cek kardiovaskular secara berkala, dan berbagai anjuran praktis lainnya sebagai implementasi agar peringatan tersebut tidak menjadi seremoni belaka.

Anak dengan PJB

Ada fakta lain yang patut diangkat saat memperingati WHD kali ini. Penyakit jantung sebenarnya bukan monopoli orang dewasa. Penyakit jantung pun bisa ditemukan pada anak-anak.

Prevalensi anak yang lahir dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) masih tinggi. Ada sekitar 43.200 kasus PBJ dari 4,8 juta kelahiran hidup setiap hari. Dengan kata lain, ada satu PJB setiap 100 kelahiran hidup.

Tak mengherankan bila Danone Specialized Nutrition Indonesia ikut memaknai peringatan WHD tahun ini dengan mengangkat tema tersebut. Kegiatan webinar pada Rabu (29/9/2021) bertema “Pentingnya “Dukungan Nutrisi Tepat untuk Optimalkan Tumbuh Kembang Anak dengan Kelainan Jantung Bawaan” menghadirkan dr Rahmat Budi Kuswiyanto SpA(K) MKes, spesialis anak konsultan kardiologi dan Dr dr I Gusti Lanang Sidiartha SpA(K), spesialis anak konsultan nutrisi dan penyakit metabolik.
Para pemateri: sumber Danone

Menurut dr Budi, kasus PJB bisa muncul dalam beberapa kondisi. Beberapa di antaranya adalah jantung bocor, katup jantung sempit, katup jantung tidak lengkap, pembuluh darah terbalik, hingga bilik tunggal.

Secara umum, PJB dibagi dalam dua kategori besar. PJB kritis dan non-kritis. PJB kritis membutuhkan pengobatan segera di tahun pertama usia anak. Bila tidak, maka akan berisiko meninggal.

Dari antara kedua kategori itu, jumlah kasus terbesar adalah kategori non-kritis yang mencapai sekitar 37.500 kasus per tahun. Sementara itu jenis pertama memiliki sekitar 17.500 kasus per tahun.
Sumber: materi presentasi/Danone

Masih menurut dr Budi, ada sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko seorang anak mengalami PJB. Beberapa di antaranya adalah infeksi kehamilan dan penyakit ibu, misalnya ibu hamil menderita diabetes, lupus, atau hipertensi.

Selain itu, karena faktor konsumsi obat, alkohol, dan rokok pada ibu hamil. Hal yang disebutkan terakhir tidak hanya terkait langsung dengan ibu hamil sebagai perokok aktif. Tetapi, juga dalam posisinya sebagai perokok pasitf. Paparan asap rokok dari orang di sekitar bisa berisiko melahirkan bayi dengan PJB.

"Ibu hamil, bapaknya egois (merokok), perokok pasif sama dengan perokok aktif risikonya," tegas dr Budi.

Asupan nutrisi ibu hamil yang tidak seimbang, Riwayat keluarga dengan kelainan jantung, hingga kelainan genetik juga berkontribusi meningkatkan risiko PJB pada anak.

Peran penting orang tua

Pertanyaan penting terkait PJB pada anak salah satunya adalah apakah anak dengan penyakit tersebut bisa pulih dan hidup normal? Para rasumber mengatakan ya. Bahkan pada kesempatan webinar itu turut bersaksi sejumlah orang tua dengan anak PJB. Mereka mengatakan tidak mudah perjuangan orang tua untuk mendampingi buah hati dengan kondisi seperti itu. Banyak tantangan yang dihadapi.

Namun, PJB bukan kutukan. Bukan pula vonis yang tak bisa digugat. Anak dengan PJB pun bisa hidup normal sebagaimana anak-anak lainnya. Hanya saja diperlukan peran orang tua. Menurut para narasumber, orang tua memegang peran penting. Para dokter dan tenaga medis hanya membantu. Selebihnya kehidupan anak dengan PJB berada dalam kendali dan tanggung jawab orang tua.

Peran orang tua bisa diwujudkan dalam beberapa hal. Pertama, memberikan dukungan nutrisi yang tepat agar tumbuh kembang anak optimal. Dr dr Lanang menekankan anak dengan PJB sering mengalami malnutrisi atau kurang gizi.

Malnutrisi bisa disebabkan beberapa faktor. “Kenapa anak PJB sering mengalamu malnutrisi atau kurang gizi? Karena asupan nutisi tidak adekuat. Anak dengan PJB mudah lelah, sering terhenti bila makan atau minum, bahkan sejak bayi sehingga asupan nutrisi tidak sesuai dengan kebutuhannya,” tegas Dr Lanang.

Sumber dari materi presentasi/Danone

Selain itu, anak PJB juga sering mengalami inflamasi atau infeksi yang membuat kebutuhan nutrisinya meningkat. “Bisa juga karena penyerapan nutrisi pada usus yang terganggu. Anak PJB sering kali mengalami gangguan penyerapan nutrisi pada usus,” sambug Dr Lanang.

Untuk itu, Dr Lanang mengimbau para orang tua anak PJB untuk memberikan perhatian serius terutama dalam urusan nutrisi. Usia enam bulan pertama dianjurkan memberikan ASI dalam keadaan tenang. Seiring berjalannya waktu, perlu dipertimbangkan pemberian formula khusus dengan densitas kalori lebih tinggi sesuai instruksi dokter anak.

“Merawat anak dengan PJB tidak sama dengan merawat anak normal, memerlukan ketelatenan dan kewaspadaan diri. Berkomunikasilah dengan dokter spesialis anak konsultan jantung dan konsultan nutrisi sesegera dan sesering mungkin,” ungkap Dr Lanang.

Kedua, deteksi dini merupakan hal penting. Ini langkah awal menangani PJB pada bayi. Menurut dr Lanang, cara paling mudah mendeteksi dini adalah dengan melihat perkembangan fisik anak.

Selengkapnya dokter asal Bali itu mengatakan demikian. “Jika secara fisik perkembangan anak tidak ideal sesuai dengan usianya, maka bisa diasumsikan mereka mengalami malnutrisi atau kurang gizi. Kekurangan gizi karena PJB biasanya disebabkan oleh 3 faktor utama, yakni asupan nutrisi yang tidak mencukupi, kebutuhan nutrisi yang meningkat namun tidak disadari, dan penyerapan nutrisi pada usus terganggu.”

Bisa hidup normal

Patut diakui tidak semua orang bisa mengakrabi kenyataan hidup bersama anak dengan PJB. Tidak sedikit yang pesimis dan kehilangan harapan. Namun, anak dengan PJB memiliki harapan hidup dan sembuh.

Agustina Kurniari Kusuma, salah seorang ibu dari anak penderita PJB bersaksi. “Yang membuat saya punya harapan lagi, tuh, ketika dokter saya bilang kalau anak saya bisa sembuh asal kondisinya baik. Jadi saya upayakan dia dapat nutrisi yang optimal, lalu bisa dioperasi agar jantungnya bisa normal seperti anak lainnya.”

Dokter Lanang memberi semangat kepada orang tua seperti Agustina. Menurutnya, membesarkan anak dengan penyakit tersebut tidak mudah. Baginya memiliki anak dengan PJB adalah juga anugerah bagi para orang tua.

“Faktor utama keberhasilan kesehatan bayi dengan PJB itu adalah peran orangtuanya, tugas dokter hanyalah membantu. Orangtua yang telaten, perhatian, dan kooperatif itu akan menuai hasil yang baik,” tegas Lanang.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...