Menanti Klimaks 4 Jagoan Indonesia di Final Indonesia Masters 2018

Pintu masuk menuju Istora/dokpri
Sejak pertama kali dihelat pada 2010 di Samarinda, Indonesia tidak pernah kehilangan muka di tanah air sendiri dalam ajang Indonesia Masters. Sebagai tuan rumah Indonesia minimal meraih satu gelar. Pada edisi terakhir dua tahun silam, lantaran tahun lalu batal digelar, Indonesia mampu meraih dua gelar masing-masing dari ganda putra oleh Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya serta ganda campuran Ronald Alexander dan Melati Daeva Oktavianti.

Tahun ini tuan rumah berpeluang meraih lebih banyak gelar setelah mengirim empat wakil ke partai final. Pencapaian ini patut diapresiasi. Bukan karena faktor tuan rumah yang membuat para pemain Indonesia lebih diuntungkan melainkan semata-mata karena perjuangan dan kualitas permainan yang ditunjukkan.

Berbeda dengan edisi-edisi sebelumnya, tahun ini tingkat persaingan semakin tinggi mengingat semua pemain terbaik dunia turut serta. Meningkatnya level Indonesia Masters menjadi Super 500 atau menjanjikan poin setara super series BWF menjadi daya tarik utama. Selain nama-nama beken seperti Lee Chong Wei, Akane Yamaguchi, Mathias Boe dan Carsten Mogensen dan Chris Adcock dan Gabrielle Adcock yang batal tampil, para pemain top lainnya turun gunung pada turnamen yang menyediakan total hadiah 350 ribu USD ini.

Tak heran kelolosan empat wakil itu menjadi pencapaian tersendiri bagi bulu tangkis Indonesia. Mereka mampu menyingkirkan para pemain unggulan untuk menginjak partai puncak. Menariknya, keempat wakil tersebut merupakan yang terbaik di setiap nomor. Anthony Ginting di nomor tunggal putra, Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya di ganda putra, Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir di ganda campuran serta harapan baru di ganda putri, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu.

Saya menjadi satu dari ribuan penonton yang datang menyaksikan secara langsung partai semi final di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (27/01/2018). Istora Senayan yang baru saja dipugar terlihat lebih cantik. Tidak hanya tampilan luar, isi dalam pun mendapat sentuhan perbaikan. Penggunaan lampu LED yang terlihat lebih terang dan tak bikin panas para pemain membuat para penonton bisa lebih leluasa menangkap setiap detail aksi para pemain di dalam lapangan. Nuansa merah mendominasi lapangan dan area di sekelilingnya. Sementara itu deretan kursi “single seater” berwarna perak senada dengan warna tembok dan lantai pada umumnya.

Tidak hanya itu para penonton juga tak merasa gerah saat harus beraksi memberi dukungan. Pendingin ruangan yang menempel di beberapa titik benar-benar memberikan hawa dingin maksimal. Bahkan saat penonton semakin sedikit sungguh terasa dinginnya.

Arena yang semakin kekinian benar-benar berpelukan dengan kiprah para bintang di lapangan pertandingan. Teriakan “Indonesia…Indonesia” yang berpadu dengan pukulan balon-balon stik semakin menyemarakkan suasana. Istora bergemuruh hebat saat lima wakil Indonesia beradu mempertebutkan tiket final. Hasilnya? Maksimal pula. Empat wakil berhasil melangkah ke partai puncak dengan salah satunya harus memainkan “perang saudara.”
Isi dalam Istora yang makin cantik dan kekinian/dokpri
Senioritas Owi dan Butet

Babak semi final dibuka dengan pertarungan antara dua pasangan ganda campuran terbaik Indonesia. Owi/Butet, sapaan Tontowi dan Liliyana harus meladeni juniornya Praveen Jordan dan Melati Daeva Oktavianti. Pertandingan antarrekan sepelatnas ini berjalan cukup menarik, terutama di game pertama.

Kedua pasangan saling kejar mengejar angka. Smash-smash keras diperagakan Praveen dan Owi dari masing-masing kubu. Sementara Butet saling beradu kecepatan dan penempatan bola di depan net dengan Melati. Game pertama sempat terjadi “deuce” sebelum dimenangkan Owi/Butet dengan skor 22-20.

Di game kedua Owi dan Butet benar-benar menunjukkan kelasnya. Sebagai unggulan pertama, keduanya menunjukkan diri sebagai pasangan yang lebih berpengalaman. Mereka tahu bagaimana mematikan lawan termasuk mengembalikan kepercayaan diri dan performa saat tertinggal. Pada titik ini terlihat perbedaan antara Praveen dan Owi. Owi tidak hanya memiliki pukulan yang keras, sebagaimana halnya Praveen, tetapi juga akurat, mampu menguasai lapangan dengan baik termasuk saat bermain di depan. Praveen masih belum lepas dari kesalahan atau error. Meski Owi/Butet akhirnya menutup pertandingan straight set dengan skor 22-20 dan 21-17, Jordan dan Melati telah berusaha memberikan perlawanan terbaik.

Sejak babak pertama Owi dan Butet tak pernah menghadapi lawan-lawan berat. Mereka pun meraih kemenangan dengan mudah dalam dua game langsung. Di partai final kedigdayaan peraih emas Olimpiade Rio 2016 itu diuji unggulan enam Zheng Siwei/Huang Yaqiong. Pasangan China itu melangkah ke final setelah menyingkirkan satu-satunya wakil Malaysia, Goh Soon Huat/Shevon Lai dalam dua set, 18-21, 14-21.

Owi dan Butet belum pernah bertemu Siwei dan Yaqiong sebelumnya. Senioritas pasangan Indonesia ini akan diuji oleh pasangan ganda campuran masa depan Negeri Tirai Bambu itu. Bila Owi dan Buteet mampu meraih kemenangan di partai final, maka mereka akan menjadi satu-satunya pemain atau pasangan dengan gelar juara Indonesia Masters terbanyak. Sebelumnya keduanya sudah meraih tiga gelar masing-masing pada 2010, 2012 dan 2015 ketika masih kategori Grand Prix Gold.
Jumpa mantan terbaik dunia.

Greysia dan Apriyani akan menantang mantan ganda putri terbaik dunia asal Jepang, Misaki Matsutomo dan Ayaka Takahashi. Pasangan terbaik Indonesia ke final setelah menyingkirkan unggulan kelima, lee So Hee dan Shin Seung Chan.

Greysia dan Apriyani membuktikan sebagai kekuatan baru di sektor ini. Jawara Franch Super Series 2017 itu menunjukkan perjuangan yang luar biasa. Mereka tidak hanya memiliki “defense” yang kokoh, juga cerdik dalam mencuri poin. Meski memiliki “power” untuk melepaskan smash bahkan “jumping smash”, keduanya tidak menjadikannya sebagai senjata utama. Sesekali mereka mengkombinasikan dengan dropshot yang mematikan lawan.

Beberapa kali pasangan nomor 11 dunia ini kehilangan poin saat service dan salah pengertian. Namun “chemistry” yang telah dibangun, plus komunikasi yang baik memungkinkan mereka mampu saling mengingatkan dan menguatkan. Sempat tertekan dan kehilangan gim kedua, mereka akhirnya mampu mengunci kemenangan rubber set, 21-11, 17-21, 21-17.

Partai final bakal berjalan menarik. Kedua pasangan sama-sama memiliki pertahanan yang rapat dan kecerdikan dalam menempatkan bola. Dari segi pengalaman Misaki dan Ayaka memang lebih diunggulkan, sebagaimana telah dibuktikan saat mengatasi perlawanan pasangan kawakan Denmark, Christinna Pedersen/Kamilla Rytter Juhl, 23-25, 21-15, 21-16 di semi final. Kekalahan Christinna dan Kamilla sekaligus menjadi kado pahit bagi wakil Eropa yang tak memiliki wakil di final, sekaligus memperpanjang catatan belum pernah ada pemain Eropa yang menjadi jawara di turnamen ini sejak pertama kali bergulir.

Begitu juga dalam rekor pertemuan yang selalu berpihak pada pasangan dari Negeri Matahari Terbit itu dalam dua pertemuan terakhir, termasuk di laga terakhir di Japan Super Series 2017. Namun Greysia dan Apriyani sedang dalam tren positif, performa dan kekompakan semakin baik. Dukungan penuh publik tuan rumah bisa menjadi tambahan stimulus bagi unggulan delapan itu untuk menaklukkan peraih emas Olimpiade Rio itu.

Final ketujuh

Bagi Marcus dan Kevin final ini menjadi yang ketujuh dalam tujuh turnamen secara beruntun. Sebelumnya duo berjuluk “The Minions” ini menjejaki final Korea Super Series (SS), Japan SS, Denmark SS, China SSP, Hong Kong SS dan Dubai Super Series Finals. Pasangan nomor satu dunia ini lolos ke partai pamungkas setelah mengakhiri kiprah Satwiksairaj Rankireddy/Chirag Shetty. Pasangan nomor satu dunia hanya butuh setengah jam untuk menyudahi perlawanan wakil India itu dengan skor 21-14, 21-11.

Di partai final The Minions kembali bertemu dengan Li Junhui/Liu Yuchen. Pertemuan ini menjadi salah satu final ideal lantaran mempertemukan dua unggulan teratas. Kedua pasangan sudah enam kali bertemu dengan rekor kemenangan terbanyak dipegang wakil Indonesia. Dalam lima pertemuan terakhir, setelah pertemuan pertama yang berakhir dengan kekalahan, Marcus dan Kevin tak pernah kalah.

Apakah rekor positif tersebut akan berlanjut? Li/Liu tentu berambisi untuk mengakhiri catatan buruk itu. Keduanya telah menunjukkan diri sebagai pasangan terbaik China saat ini setelah memenangkan “perang saudara” menghadapi unggulan tiga Liu Cheng dan Zhang Nan.

Ginting fantastis

Kata fantastis sepertinya tak salah disempatkan kepada tunggal putra Indonesia ini. Hampir semua pemain terbaik dunia pernah ia kalahkan, termasuk para jagoan yang berlaga di Indonesia Masters kali ini. Setelah menyingkirkan tunggal terbaik dan berpengalaman China, Chen Long kali ini giliran Chou Tien Chen yang dipaksa bertekuk lutut.

Kedua pemain saling beradu taktik dan teknik. Ketenangan dan kesabaran Ginting menjadi senjata pamungkas untuk meladeni pukulan keras dan permainan ulet wakil Taiwan itu. Sempat menyerah di game kedua, pemain 21 tahun itu akhirnya memastikan tiket final dengan kemenangan 21-16, 13-21, 21-12.  Kemenangan itu sekaligus menegaskan domiasi Ginting atas pemain berperingkat tujuh dunia dengan skor 3-1.

Ginting akan berebut gelar juara dengan pemain Jepang, Kazumasa Sakai. Final di nomor ini bisa saja menjadi kejutan. Namun mereka telah membuktikan diri layak ke partai final. Sakai menyingkirkan pemain nomor lima dunia, Son Wan Ho dari Korea Selatan.

Skor pertemuan sedikit berpihak pada Ginting yang memenangkan pertemuan pertama sekaligus satu-satunya atas pemain 27 tahun itu. Pertemuan itu terjadi di Hong Kong Open 2015 yang berakhir dengan kemenangan 14-21 dan 4-21. Mampukah Ginting melanjutkan tren positif tersebut?
Sementara itu di tunggal putri, Saina Nehwal mengincar gelar keempat di Istora. Pemain asal India itu pernah berjaya di arena kebanggaan Indonesia masing-masing pada tahun 2009, 2010 dan 2012. Ia melangkah ke final dengan menyingkirkan pemain terbaik Thailand, Ratchanok Intanon, 21-19 dan 21-19.

Tidak mudah bagi peraih perak Olimpiade Rio itu untuk membawa pulang gelar keempat dari Indonesia. Ia akan menantang pemain nomor satu dunia, Tai Tzu Ying. Pemain Taiwan itu memupuskan harapan pemain muda China, He Bingjiao untuk bertemu Nehwal di pertemuan ke-14. Catatan head to head lebih menjagokan Tai. Delapan kemenangan, termasuk enam pertemuan terakhir, menunjukkan bahwa Tai masih menjadi momok menakutkan baginya.

Pertarungan di nomor tunggal putri akan membuka partai final Minggu, 28 Januari. Setelah itu giliran empat jagoan Indonesia. Mampukah mereka mencapai klimaks di Istora? Semoga.

N.B
Jadwal final #IndonesiaMasters2018, dimulai Pukul 12.00 WIB, Live Kompas TV.
Sumber: www.tournamentsoftware.com

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...