Menjawab Gugatan Para Misionaris (Catatan pada Peringatan St. Yosef Freinademetz - 29 Januari)

oleh Luis Aman*


            Dorongan religius untuk melayani orang-orang kecil dan mengangkat kemanusiaan mereka ke taraf yang layak adalah apa yang menjadi pegangan seorang Yosef Freinademetz dalam seluruh perjalanan hidupnya. Menjadikan kemanusiaan orang-orang kecil itu sebagai sesuatu yang ditampakkan ke tengah konteks perendahan martabat kemanusiaan adalah jiwa seluruh karya Sang misionaris sulung Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) ini. Menggugat kemapanan peradaban yang senantiasa meniscayakan penjubelan kaum-kaum terpinggirkan adalah nada dasar simponi segala karya perutusannya di tengah masyarakat Cina akhir abad XIX hingga awal abad XX.
Yosef lahir di Oies/Abtey (Tyrol selatan), sebuah kampung terpencil di pedalaman pegunungan Alpen, dalam wilayah kekaisaran Austria-Hungaria (sekarang masuk wilayah Italia) pada 18 April 1852. Ia anak petani sederhana. Ditabiskan menjadi imam praja pada Agustus 1875. Pada tanggal 27 Agustus 1878, ia masuk Seminari misi di Steyl, bergabung dengan P. Arnold Janssen. Ia menyatakan niat dan kesetiaannya yang sungguh bagi karya pewartaan Injil di tanah Cina, sampai akhirnya ia betul-betul berangkat ke negeri Tirai Bambu, bersama Pastor John Baptista Anzer, 2 Maret 1879 dan menginjakkan kakinya di Tsianfu, Shantung pada 15 Juli 1881, setelah dua tahun (sejak 20 April 1879) belajar bahasa Cina dan bekerja di Hongkong. 
Ia menjadi seorang pewarta keselamatan ulung di tengah kokohnya kekuasaan pemerintahan Cina dan di zaman gencar-gencarnya kolonialisme di berbagai belahan dunia. Ia hidup di tengah situasi saling rebut dan saling mempertahankan kuasa antara orang-orang yang memang selalu haus akan kekuasaan yang di sisi lain juga di tengah kenyataan banyaknya orang-orang yang berpasrah menderita akibat kolonialisme, imperialisme, penyakit, dan kemiskinan.    
            Nama Yosef terus dikenang bukan karena kebesaran posisi dan kuasanya di tanah Cina,  melainkan karena kebertahanan dan kesungguhannya berada bersama dan melayani orang-orang kecil di Shantung Selatan. Ia dibeatifikasi/digelar ‘Berbahagia’ (19 Oktober 1975) dan dikanonisasi/digelar ‘Kudus’ (5 Oktober 2003), bukan karena kepandaian melakukan lobi-lobi politik dengan para penguasa Cina demi kepentingan umat yang ia layani, melainkan karena keluarbiasaan kemenyatuannya dengan orang-orang yang paling sering diabaikan dalam diskursus pengambilan kebijakan publik.
            Amat sulit menemukan orang sesederhana dan setulus Yosef di abad ini. Susah ditemukan manusia-manusia yang betul-betul rendah hati dan jujur, yang rela disakiti dan sungguh berteguh mempertahankan kebenaran, yang setia dan rela bertahan bersama kaum marginal, yang mau terus tinggal bersama orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan. Yosef menyadari bahwa perhatiannya pada mereka yang paling kecil hanya akan tuntas kalau ia betul-betul berada bersama mereka, merasakan suka dan duka hidup mereka, bahkan seumur hidupnya. Sebulan sebelum mengikrarkan kaul kekalnya dalam Serikat Sabda Allah (1886), misionaris kelahiran 15 April 1852 ini, menulis surat kepada orangtuanya di Oies/Abtei: “…Aku dapat mengatakan dengan jujur dan terus terang bahwa aku sungguh mencintai orang Cina serta negeri Cina dan aku siap meninggal seribu kali bagi mereka. … Cina bukan hanya tanah airku sekarang, tetapi juga sudah menjadi medan juang, tempat aku akan gugur pada suatu ketika kelak. Seandainya aku pulang ke lembah Abtei, aku pasti akan merasa asing! Aku sudah tinggal tujuh tahun di negeri Cina, dan insya Allah, aku akan tinggal 70 tahun lagi”
            Pelayanan cinta kemanusiaan sungguh mengabaikan identitas kesukuan dan agama. Kemanusiaan adalah nilai universal. Ia tidak bisa dicegah oleh limitasi teritorial, tidak dipenjarakan oleh primordialisme sempit. Ia melampaui gaya pikir “orang kita” dan “orang mereka”, mengatasi pembedaan kedudukan laki-laki dan perempuan, golongan atas dan bawah, majikan dan karyawan, pastor dan umat, pemimpin dan rakyatnya. Gaya pikir semacam ini kiranya yang membuat Yosef lebih merasa diri sebagai ‘Yosef dari Shadung’ daripada ‘Yosef dari Abtei’. Tiga tahun setelah berkaul kekal (1889) ia menulis, “Aku mencintai orang-orang Cina dan aku ingin tidak lain kecuai tinggal dan mati di tengah mereka. Aku sekarang lebih sebagai orang Cina daripada seorang Tyrol, dan aku ingin tetap sebagai orang Cina pun di surga”
Perjuangan kemanusiaan meniscayakan suatu keberanian sejati. Bukan keberanian “gertak sambal”, bukan keberanian sesaat, keberanian yang hanya dalam tataran retorik. Perjuangan kemanusiaan meniscayakan keberanian yang berasal dari kepastian niat dan menyata dalam hidup. Kepastian niat selalu melahirkan ketenangan batin, dalamnya ada perpaduan yang meyakinkan antara dua keutamaan yang sepintas lalu terlihat bertentangan tapi dapat dibuat kompatibel, antara kerendahan hati dan jiwa yang besar untuk berjuang, antara kesabaran dan kepastian melangkah, antara kelemahlembutan dan antusiasme yang dalam bagi pencapaian harapan. Ia melenyapkan kekecutan hati dan keraguan budi. Ia senantiasa mengarahkan diri secara sungguh bagi apa yang dicita-citakan.
Keberanian yang sungguh itu pada akhirnya secara paripurna dibuktikan Yosef dengan meninggal di tanah misi (28 Januari 1908), ketika wabah tifus melanda wilayah itu, dan ketika ia tengah melayani umatnya yang terserang wabah mamatikan itu. Menjadi misionaris seumur hidup, tanpa pernah kembali melihat ayah dan bunda serta kampung halaman. Itulah bentuk keberanian Yosef yang sempurna.
Cerita kemisionarisan Yosef mengingatkan kita akan begitu banyak misionaris asal Eropa yang diutus dan berkarya di negara-negara Asia, termasuk di Indonesia. Wilayah kita malah menjadi pusat karya para misionaris. Kebanyakan dari mereka kini telah tiada. Namun buah-buah karya dan kesetiaan mereka, sadar atau tidak, masih begitu nyata di wilayah kita. Kita tentu ingat pastor-pastor Barat yang menembus rimba raya daerah-daerah pegunungan di pedalaman Flores, Timor, Sumba, Lembata dan daerah-daerah lainnya, dengan berjalan kaki atau pun menunggang kuda demi memaklumkan warta keselamatan dan mengangkat kemanusiaan masyarakat NTT. Fondasi pembangunan masyarakat pedalaman di kebanyakan daerah di wilayah kita tidak terlepas dari sentuhan para misionaris Eropa ini. Yang paling tampak mungkin dalam dunia pendidikan. Kebanyakan sekolah-sekolah katolik di wilayah kita adalah peninggalan para misionaris. Sebagian karya mereka di bidang pendidikan itu ditulis Romo Eduardus Jebarus, Pr, Imam Keuskupan Larantuka, dalam buku Sejarah Persekolahan di Flores (Penerbit Ledalero, 2008, xxxii + 336 hlm). Semuanya adalah buah cinta dan kesetian bahkan seumur hidup mereka yang diberikan tanpa pamrih bagi kita yang nun jauh dari tanah air mereka.
Kenangan akan kemisionarisan Yosef dan cerita perjuangan para misionaris Eropa adalah sebuah gugatan terhadap praksis perjuangan kita kini. Kenangan akan sepak terjang para misionaris adalah gugatan terhadap kiprah orang-orang NTT masa kini untuk menghadapi beragam masalah sosial kemanusiaan akut: kemiskinan, busung lapar, gizi buruk, rawan pangan, AIDS, keterbelakangan pendidikan, pengangguran, kekerasan horizontal, dll. Kiprah kita justeru memperlihatkan ironi yang tak kalah akutnya. Korupsi dan money politics makin hari makin meraja bahkan makin kreatif dan variatif dalam cara. Politik tidak lebih dari medan perebutan kuasa antar orang-orang berkuasa dan berpunya. Kemiskinan jadi komoditas politik. Kampanye pilkada jadi ajang jual beli martabat rakyat. Kemenangan Pilkada dipestai secara gemerlap di tengah rakyat pemilih yang melarat. Gaya pikir primordialisme merasuk hampir setiap warga. Kisah dan semangat perjuangan kemanusiaan para misionaris dulu seakan tinggal cerita. Banyak kebaikan dan keutamaan mereka yang kini hilang.

Upaya memperbaiki wajah kemanusiaan membutuhkan keinginan dan komitmen yang sungguh dari kedalaman hati. Tidak sekadar menebar kebaikan dalam rangka meloloskan harapan-harapan sesaat. Tidak sekadar untuk ‘ambil hati’ demi mendapatkan ataupun memapankan kekuasaan. Ia menjadi upaya yang ‘bertahan’ justeru karena kedalaman kehendak yang memotivasinya. Apa yang betul-betul berasal dari dalam biasanya bertahan dan bisa dipercaya. Sementara kebaikan yang hanya merenggut perhatian sebentar demi kepentingan-kepentingan terselubung akan susah dipercaya dan akan kentara juga tampang kedangkalannya. ‘Kebaikan’ semacam ini biasanya muncul hanya pada momen tertentu, seperti saat gencar-gencarnya orang berbicara tentang siapa yang akan menduduki tampuk kekuasaan. Kebaikan dan cinta sejati tidak kenal saat dan tempat, juga tidak pilah-pilah orang berdasarkan basis kedaerahan, kesukuan dan basis asal konstituen. Kebaikan dan cinta yang bertahan adalah buah dari kesungguhan komitmen. 
*Pernah diterbitkan di Pos Kupang, Jumad, 30 Januari 2009

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing