Demonstrasi Tiga Sarjana dan Geramnya Herodes
Oleh Servinus Nahak*
Usai sensus penduduk, datang tiga
majus dari Timur ke istana Herodes. Dalam nada protes mereka seolah berteriak,
“Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?” (Mat 2:2). Protes
keras tiga majus bisa diperpanjang, “Tuan Herodes, kalo lo ada sensus coba
siapkan akomodasi di kota yang cukup ka dan beri subsidi. Masak masih
ada rakyat yang lahir di kandang?”
Natal Yesus yang gawat darurat
tanpa seorangpun bidan bersalin. Maria, ibu anak ajaib itu, seorang dara muda.
Risiko bersalin tentu cukup tinggi. Medis belum semaju sekarang. Dalam situasi
serba minus itu, datang tiga majus dari Timur. Konon tamu-tamu ini adalah para
raja dari negeri-negeri yang jauh. Saya menyebut mereka para “sarjana” –
menurut satu versi lain yang lazim.
Ketika ketiganya datang,
kemiskinan kandang langsung dihadapkan dengan kemewahan istana! Terkuaklah satu
lubang besar. Emas, kemenyan dan mur tidak bisa menggantikan palungan, lampin
dan air susu. Ketiga barang itu bukan makanan, obat-obatan atau sesuatu yang
dapat menolong situasi emergency ibu dan buah hatinya. Tentu, kado mewah
itu bisa dibarter tetapi jelas tidak tepat sasar (untung saja Yesus tidak kena
busung lapar dan meninggal. Tentu, kisah sejarah keselamatan akan lain!)
Akhir hidup Yesus, hemat saya,
yang membuat awal hidupNya ini penting untuk dituliskan kembali. Dalam Kitab
Suci ada banyak rujukan pada nubuat para nabi Perjanjian Lama yang dikutip para
penginjil untuk turut memperkuat ketokohan Yesus. Rujukan biblis ini bisa
disebut sebagai teknik rekonstruksi yang pertama.
Teknik kedua dipraktikkan
penginjil Matius. Tokoh-tokoh penting seputar kelahiran Yesus ditetaskan.
Datang tiga majus dari Timur. Kontras dengan para gembala yang tidak mempunyai
wilayah kekuasaan dan massa, sebagai pembesar (raja), ketiga majus ini datang
atas nama sejumlah besar massa pendukung (rakyat). Bisa dimengerti, kalau
Herodes gentar ia tidak gentar soal bayi ajaib itu saja tetapi kenyataan bahwa
bayi ini mempunyai pendukung yang patut diperhitungkan.
Datang dari Timur, ketiga raja
itu berniat mencari kebenaran (tentu bukan sebuah wisata rohani!). Tampilnya
ketiga tokoh ini ke pentas adalah keterwakilan yang melampaui sebuah tendensi
primordialis. Kebaikan dan kebenaran yang dipromosikan Injil dalam diri Yesus
menarik siapapun bahkan mereka yang paling jauh secara geografis. Kebenaran
sebagaimana cahaya tidak berpihak secara geografis, rasial dan primordial.
“Matahari bersinar untuk orang benar dan orang berdosa.” kata sang penginjil.
Lebih dari itu, kehadiran tiga
majus dari Timur ini adalah sebuah dukungan intelektual. Rupanya tidak banyak
orang yang tahu tentang ilmu perbintangan. Di antara sedikit orang yang tahu,
ada tiga sarjana yang bisa membaca tanda-tanda pada langit. Sebuah bintang
timur menjadi petunjuk pencarian. Sampai pula ihwal pencarian anak ajaib itu ke
telinga Herodes. Herodes kaget bukan main. Di hati dan kepalanya berkecamuk
ketakutan dikudeta. Takhtanya bakal diduduki seorang dari luar istana.
Merasa curiga, Herodes mengerahkan
para intelektual kerajaan untuk sebuah proyek penelitian. Para imam kepala dan
ahli Taurat dikumpulkan. Terbentuk dua kubu. Sebuah penemuan empiris dihadapkan
dengan doktrin-doktrin fundamental. Kelompok pertama menemukan rujukannya di langit
sedangkan kelompok kedua mencari pembenarannya pada apa yang tertulis di dalam
buku (Taurat).
Bintang di langit dan Taurat sama-sama bisa menghantar
orang kepada Yesus. Namun bisa dilihat, tafsiran terhadap setiap informasi bisa
bercabang. Proyek penelitian Herodes ini hanya sebuah formalitas untuk
membenarkan tindakan makhsiatnya. Sebagai raja, Herodes merasa wajib melindungi
dan mempertahankan kelanggengan takhtanya. Maka segala bentuk ancaman mesti
ditumpas. Yang paling tidak berdaya selalu menjadi korban. Begitulah, dua gajah
berkelahi pelanduk mati di tengah-tengah.
Berbeda
dengan Taurat yang tidak dapat diganggugugat, penampakan di langit lebih mudah
disangkal. Sebagai jejak ia selalu terancam hapus. Ia labil, tidak sestabil
tulisan. Petunjuk bintang yang menampakkan diri tidak bisa dijadikan sebuah
rujukan doktrinal. Hanya di dalam tulisan sebuah keyakinan doktrinal bisa
dipromosikan dengan yakin dan dipertahankan mati-matian.
Namun kalau disimak lebih jauh,
sesuatu yang tidak jauh berbeda bisa terjadi kalau keyakinan pada langit tidak
mempertimbangkan hal-hal yang kasat mata. Kelihatan bahwa keyakinan teoretis
yang mantap sering dimentahkan di lapangan.
Tiga sarjana datang dari timur
dan membawakan bayi Yesus emas, mur dan kemenyan. Para sarjana ini jelas-jelas
datang dengan sebuah pra-wacana tentang seorang raja. Sebagaimana mereka selalu
dimanja dan dipuja dengan segala dupa dan wewangian demikianpun mereka ingin
agar putra mahkota diperlakukan sama. Padahal Yesus yang di hadapan mereka ini
adalah seorang rakyat jelata yang kondisiNya memrihatinkan. Yang ada simpati,
bukan empati!
Beda kalau yang datang itu tiga
ratu dari Selatan. Bisa dipastikan mereka akan membawakan Yesus popok yang
baik, kain hangat, susu bubuk dan seperangkat keperluan ibu-ibu: jamu dan
ramuan obat-obatan. Begitulah tabrakan antara ideal dan realitas terjadi. Kado
mewah itu berubah menjadi semacam demonstrasi. Unjuk kebolehan!
Begitu juga kalau para calon
sarjana turun ke jalan-jalan untuk berdemonstrasi. Segala konsep ideal dibawa
ke jalan. Emas yang digali dari diktat-diktat kuliah, mur yang disadap dari
perpustakaan dan kemenyan yang diracik dari nonton berita televisi. Ini tidak
buruk. Tetapi menjadi tidak efektif kalau waktu dan ruangan yang tampan tidak
disediakan untuk sebuah dialog yang lebih intensif dalam setiap kesempatan
demonstrasi.
Dari beberapa pengalaman ikut
turun dalam demonstrasi saya melihat pemerintah dan wakil rakyat cukup terbuka
menerima para aktivis yang berdemo. Secara prosedural, surat pemberitahuan
tentang aksi demo biasanya sudah ada di meja pemerintah paling lambat sehari
sebelumnya. Negara sesungguhnya tidak melarang demonstrasi.
Herannya, waktu yang dibutuhkan
untuk mobilisasi massa seringkali lebih lama ketimbang dialog dengan pemerintah
atau dewan rakyat. Konvoi kendaraan menjadi pusat perhatian. Jalan-jalan di
kota menjadi mimbar umum tempat berorasi (atau teriak-teriak?) karena toh
tidak banyak warga yang serius menguping. Massa di kota yang mudik hanya
menangkap informasi yang terpotong-potong (apalagi kalau pengeras suaranya
buruk). Sebagai satu cara sosialisasi, turun ke jalan hanyalah sebuah atribusi
yang melengkapi dialog (diskusi) yang mestinya lebih lama.
Aksi demo perlu tetapi yang lebih
penting adalah apa isinya? Apakah sesuatu yang ber-isi dan diharapkan tepat
sasar itu efektif kalau lebih lama diteriakkan di jalan-jalan? Konkretnya,
perumusan pernyataan sikap dalam aksi demo mesti menjadi prioritas. Anjuran
pertama ini bersifat teknis.
Kedua, sebagai satu cara
mendidik para calon sarjana (mahasiswa), perlu diciptakan sebuah forum terbuka
yang mewadahi aspirasi mereka. Aksi demo hanya terjadi kalau memang pemerintah
nyata-nyata menutup pintu dialog. Tetapi kalau pemerintah antusias menerima
masyarakat, paling tidak sejauh pengalaman saya, sebaiknya demo itu dirancang
lebih akademis. Sebuah “demonstrasi indoor” perlu dipikirkan.
Memang demonstrasi adalah sebuah
tindakan simbolis ketika ia diekspresikan sebagai satu cara menentang kebijakan
struktur yang lebih tinggi atas “ketidakpedulian herodian” yang menelantarkan
rakyat banyak tetapi pada tataran lokal dialog selalu bisa diupayakan. Gagasan
“demo indoor” bisa dibuat dengan diskusi dengar pendapat dan
masing-masing pihak menyajikan analisisnya berdasarkan penelitian atau temuan
di lapangan. Ada hasil penelitian yang bisa dibanding-bandingkan. Dengan
begitu, segala kritik dan anjuran menemukan salurannya. Paling tidak secara
teknis, menurut perhitungan saya, dengan ini demonstrasi akan lebih tepat guna.
Aksi demonstrasi itu bentuknya
macam-macam, tetapi tidak semuanya harus dengan turun ke jalan to? Kalau
tidak, siapakah yang mau dibanggakan? Herodes tentu tidak karena jelas-jelas
melanggar HAM. Tiga sarjana? Dalam konteks ini mereka pun tidak bisa terlalu
dibanggakan!
(Pernah terbit di Pos Kupang, Jumad, 9 Januari 2009)
Comments
Post a Comment