“Bapak-isme” Kepemimpinan

Oleh Servinus Nahak*


Seusai peringatan HUT ke-80 Sumpah Pemuda, untuk kedua kalinya pada tanggal 12 November 2008 ini kita memperingati suatu hari yang diabdikan untuk para bapak. Hari Bapak Nasional (selanjutnya, disingkat HBN) dalam peringatan sepanjang tahun masih “sekeluarga” dengan Hari Ibu dan Hari Anak Nasional. Dan tentu, Hari Pahlawan (10 November) masih punya “hubungan darah” dengan semua hari nasional tersebut. Di antara kepungan momentum ini, peran sentral para bapak tidak dapat diabaikan. Tetapi, di dalam sejarah ada saja konstruksi sosial yang telah menjadi guru yang jahat bagi masyarakat.

Entah disengaja atau tidak, penetapan HBN jatuh sesudah Hari Sumpah Pemuda. Secara amat umum dapat dikatakan bahwa seorang pemuda akan segera menjadi (disapa) bapak sesudah meninggalkan masa lajangnya. Peralihan dari masa muda kepada “masa bapak” ini bisa terjadi sangat dini. Seorang siswa SMU yang menghamili teman kelasnya akibat seks pra-nikah, sebagai misal, mesti mengambil peran bapak keluarga sekalipun ini terasa sangat mendadak. Dalam perhitungan seperti ini, secara nasional, penempatan HBN sesudah Hari (Sumpah) Pemuda kiranya dapat menjadi cerminan baik bagi orang muda maupun bagi para bapak (dan tentu, ibu).
Secara lokal, peringatan HBN yang diselenggarakan di Maumere oleh Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret kali ini mengusung tema “Bapak dan kepemimpinan”. Pembicaraan tentang figur bapak dapat diperluas dengan membuat tinjauan dari berbagai segi. Salah satu sisi problematis adalah pemaknaan kata “bapak” dan konstruksi sosial terhadapnya dalam sejarah.

Enggan Menjadi Bapak

Konstruksi sosial yang sudah umum diterima ialah bahwa kehadiran anak menjadi legitimasi peran dan penegasan posisi bapak. Akibat dari suatu hubungan intim antara pria dan wanita, apalagi “hubungan gelap”, menuntut sosok anak sebagai kuasa legitim yang secara sahih dapat menegaskan relasi tersebut. Eksesnya apa? Secara tradisional, banyak tradisi mengutuk keluarga yang tidak mempunyai anak. Dan, akibat paling buruk terjadi ketika keluarga yang bersangkutan turut merasa terkutuk oleh konstruksi sosial seperti ini. Sebab konon, tanpa anak, seorang perempuan tidak sungguh-sungguh menjadi ibu dan seorang laki-laki bukan bapak sejati!
Menjadikan anak sebagai pembuktian “kebapakan” (kejantanan) dan “keibuan” (kesuburan) dapat berdampak pada perilaku sosial masyarakat terhadap intitusi perkawinan. Dalam kasus-kasus seks pra-nikah dan seks di luar nikah anak sering diperlakukan sebagai “alat bukti”. Asumsi saya (yang tentu masih harus diuji kebenarannya), hal ini terjadi karena anak adalah salah satu rujukan untuk mengatakan kebenaran. Maka, dalam banyak kasus langkah penggelapan yang diupayakan untuk mengaburkan dan menutup-nutupi setiap hubungan adalah dengan melakukan aborsi.
Tindakan (pidana) aborsi dalam konteks seperti ini secara amat nyata menunjukkan suatu sikap pengingkaran terhadap peran ke-bapak(-ibuan) seseorang. Orang menolak menjadi bapak (atau ibu). Peran itu seolah-olah terlalu cepat mendatanginya karena situasi ini niscaya akan merebut sebagian besar kebahagiaan dan kebebasan masa muda. Seorang pemuda bukan merasa tidak layak saja menjadi bapak, tetapi sesungguhnya malu menyandang gelar itu karena peran itu diperolehnya tanpa suatu persiapan yang memadai. Terpaksa.
Keengganan menjadi bapak sebagai suatu fenomen sosial, tidak hanya berhenti pada kasus-kasus pernikahan dini seperti di atas. Rujukannya di dalam kehidupan bermasyarakat cukup banyak. Salah satu contoh yang sudah uzur: tempat pelacuran. Legalisasi pelacuran (melalui lokalisasi) selain diterima sebagai upaya normalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, sesungguhnya adalah salah satu “cermin retak” yang memantulkan bayang-bayang keengganan mengambil peran bapak. Di sini, sebetulnya ada upaya sadar untuk mengelak dari tanggungjawab menjadi bapak. Orang tidak mau menjadi bapak yang kemudian mesti menanggung beban (baca: anak-anak) yang mungkin hadir sebagai akibat dari setiap hubungan yang sah. Persis ada tiga kelompok besar yang mungkin bisa (dan biasa) pergi ke tempat lokalisasi: anak muda, bapak-bapak pun kakek-kakek. Di tempat lokalisasi, kemungkinan menjadi bapak (karena prokreasi) direduksi seluruhnya kepada hiburan (rekreasi).     

"Bapak-isme” pemimpin

Ketika peran bapak diterima oleh seorang anak karena keterpaksaan semata, posisi ini dapat menjadi aib dan malapetaka yang mempersempit potensialitasnya. Sebaliknya, kalau peran itu diemban secara “terhormat”, maka kenikmatan dan kenyamanan menjadi bapak adalah kutub lain dari keengganan itu sendiri. Inilah posisi ideal yang diharapkan. Namun, dalam sejarah terlihat bahwa kenyamanan seperti ini pun dapat berakibat fatal ketika konsep bapak mau diterapkan juga di luar atap rumah keluarga.
Sejalan dengan peran sosialnya sebagai kepala keluarga, bapak juga adalah pemimpin. Konstruksi sosial yang lumrah seperti ini memungkinkan kita berbicara tentang “bapak-isme” sebagai kemungkinan terburuk dari kenyamanan posisi para pemimpin, yang sampai sekarang masih didominasi para bapak. “Bapak oriented”. Segala-galanya secara sentripetal dan sentrifugal bermuara pada bapak dan serentak mengalir dari bapak sebagai sumbernya. Secara teologis (Kristen), konsep ini sangat luhur. Namun, secara sosiao-politis kita perlu menunda opsi kita sebelum membuat “pembongkaran” atasnya.     
            Ada kerancuan yang mesti segera diperbaiki. Perlu dibuat distingsi jelas antara bapak dan pemimpin. Dalam bahasa Indonesia, istilah “bapak” dan “pemimpin” mengalami asimilasi makna sekian dekat, sehingga seorang bapak langsung disebut seorang pemimpin keluarga, sedangkan seorang pemimpin langsung disebut bapak entah bapak presiden, bapak bupati, bapak pastor dll.
              Doktor Leo Kleden, SVD dalam makalah yang disampaikannya pada seminar memperingati HUT ke-2 HBN membuat tiga distingsi antara bapak dan pemimpin. Pertama, bapak adalah figur relasional dalam keluarga, terhubung secara personal dengan ibu dan anak. Pemimpin adalah figur sosial, terhubung secara fungsional dengan masyarakat lainnya; hubungan ini diatur oleh hukum atau aturan sosial lainnya. Kedua, bapak tidak dipilih oleh anak, ia diterima sebagaimana adanya. Sebaliknya pemimpin dipilih oleh warga dan bertanggungjawab terhadap para pemilihnya. Ketiga, hubungan bapak-anak bersifat asimetris karena anak dalam masa tertentu bergantung pada orang tua. Sebaliknya, hubungan pemimpin dan warganya bersifat simetris karena mereka mempunyai hak yang sama. Kekuasaan yang lebih besar pada pemimpin hanyalah titipan oleh rakyat yang sesewaktu bisa ditarik kembali.
            Ketika terjadi asimilasi makna bapak dan pemimpin, ada dua kemungkinan bisa terjadi. Secara negatif bisa terjadi kerancuan makna dan kesalahan sikap. Pemimpin yang selalu disebut “Bapak Pemimpin” secara sadar atau tidak merasa dia adalah figur relasional dalam suatu keluarga besar. Hubungan dengan para warga yang bersifat simetris cepat atau lambat berubah menjadi hubungan asimetris bapak-anak: anak bergantung pada si bapak dan bapak bertanggungjawab mengasuh si anak. Pelan-pelan “Bapak Pemimpin” bisa juga lupa bahwa dia dipilih rakyat dan bahwa kekuasaan adalah titipan yang sesewaktu bisa ditarik kembali. 
            Contohnya ialah Bapak Presiden Soeharto. Dr. Leo Kleden dalam analisisnya mengatakan, Soeharto telah memperlakukan republik ini sebagai keluarga besarnya dan dialah figur sentral, bapak. Sebagai bapak tentu saja ia memberi privilese khusus kepada keluarga inti, sehingga anak-anaknya dengan mudah dapat memakai aset negara ini seolah-olah milik keluarganya. Sebagaimana bapak keluarga tidak dipilih oleh anak tetapi harus diterima saja, Soeharto juga tidak pernah dipilih! Pemilu kita di era Orde Baru adalah “pemilu semu” untuk menampilkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara demokratis. “Dalam hal ini, pemilu Indonesia waktu itu rupanya lebih maju dari Amerika Serikat. Kalau di Amerika hasil penghitungan suara dan penentuan pemenang pemilu baru diketahui sehari sesudah pemilihan, di Indonesia pemenang pemilu sudah diketahui jauh-jauh hari sebelum Pemilu,” seloroh Leo Kleden. “Karena syarat menjadi Presiden, menurut Bapak Soeharto, seorang yang sudah berpengalaman sebagai presiden.” Jelas, yang berpengalaman sebagai presiden ya hanya Soeharto. 
            Hubungan pemimpin dengan rakyat pada zamannya bersifat sangat asimetris: “Bila Bapak berkenan…” atau “Dengan restu dan perkenan bapak Presiden…” adalah ungkapan yang sangat lazim, yang mungkin masih dipertahankan pada sejumlah kalangan sampai sekarang. Sesudah Soeharto lengser ia tidak diadili, karena anak-anak (baca: rakyat) tidak mungkin mengadili bapaknya sendiri. Korupsi yang terjadi di Indonesia antara lain disebabkan oleh kerancuan makna dan sikap ketika pemimpin mentransfer peran bapak keluarga ke dalam fungsi publik yang diembannya dan mengubah fungsi publik menjadi peran bapak keluarga, dengan tekanan pada keluarga inti dan kelompok sukunya sendiri.
            Asimilasi makna bisa juga mempunyai dampak positif bila terjadi transformasi makna kreatif ke arah penghayatan yang lebih baik. Pemimpin pada tempat pertama dan utama adalah figur sosial dengan fungsi publik sebagai inspirator, koordinator dan administrator, dan karena itu dia harus tetap menyadari bahwa hubungannya dengan rakyat bersifat simetris, karena dia dipilih oleh rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat. Kesadaran akan hal ini akan membuat pemimpin bersifat egalitarian dan demokratis seperti hampir semua pendiri republik ini. Sapaan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dapat menjadi petunjuknya. Sikap egalitarian juga bisa membuat rakyat lebih berani dan bertanggungjawab mengontrol pemimpinnya berdasarkan hukum yang berlaku.               

Dua masukan
            Keengganan menjadi bapak dan kenyamanan menjadi bapak dalam status quo adalah dua ekstrim yang dapat saja terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Fenomen yang saya sebut sebagai keengganan menjadi bapak sebetulnya berurusan dengan rasa tanggungjawab. Dua masukan saya berikan di sini. Pertama, kaum muda yang oleh pengaruh lingkungan dan pergaulan bebas selalu “terancam” menjadi bapak dalam usia dini mesti mendapat perhatian orang tua dan tentu, dunia pendidikan. Sekolah sebagai suatu lingkungan belajar, dalam keadaan yang paling kritis sekalipun mesti menjadi rumah yang nyaman bagi anak-anak yang terlibat seks pra-nikah. Kehamilan semasa sekolah tidak boleh mnejadi alasan seorang anak putus sekolah. Sekalipun sulit, hal ini rasanya problem yang mesti ditangani secara arif dan penuh “keibuan”. 

Kedua, dalam lingkup lebih luas, dalam praktik kenegaraan biasanya seorang bapak yang memperoleh jabatan publik dengan sendirinya memberikan satu posisi plus untuk sang istri. Contoh yang sangat umum di negeri ini adalah ketua penggerak PKK yang otomatis ada di tangan dan pundak ibu Gubernur, ibu Buapati sampai ibu Kades. Struktur sistemik seperti ini secara tidak sadar mengandung “penyakit” yang turut mengkonstruksi sebuah model kepemimpinan yang tidak adil. Ini satu gejala “bapak-isme” lain yang sebenarnya tidak bebas persoalan. Mengapa? Karena posisi bapak pada saat yang sama serta-merta menguntungkan “keluarga inti” (ibu) yang seharusnya bisa ditempati oleh orang lain yang lebih berkompeten di dalam bidangnya. Otomatisme semacam ini sudah saatnya dibongkar. Selamat Hari Bapak Nasional!   

(Pernah terbit di Pos Kupang, Rabu, 12 November 2008)

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing