Kekalahan The Minions dan Momok Baru Bernama Servis
Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya/badmintonindonesia.org |
Sedikitnya ada dua momen yang membuat saya harus menahan
napas lebih lama. Pertama, saat menyaksikan partai kedua antara Marcus Fernaldi
Gideon dan Kevin Sanjaya menghadapi Kitthisak Namdash dan Nipitphon
Puangpuaphet. Merujuk pengalaman dan rangking dunia, pasangan tuan rumah itu
bukan lawan sepadan the Minions. Marcus dan Kevin yang kini berada di puncak
rangking BWF diprediksi bakal menang mudah.
Namun harapan tinggal harapan. Meski berstatus non unggulan,
Namdash dan Puangpuaphet tak mau menyerah sebelum bertanding. Keduanya membuat
pendukung tuan rumah bersorak dan sesama anggota Tim Thomas dan Uber yang
berada di sisi lapangan tersenyum dan menari. Setelah mengunci set pertama,
keduanya sempat mendapat tekanan di game kedua. Namun mereka berhasil menjaga
momentum untuk menyumbang poin. Diluar perkiraan, wakil tuan rumah ini membungkam
juara All England itu dalam pertarungan selama 48 menit dengan skor akhir 16-21,
21-13, 12-21.
Kemenangan di partai kedua membuat Thailand bersemangat. Kedudukan
kedua tim pun imbang. Partai ketiga menjadi krusial. Situasi berbeda terjadi di
kubu Indonesia. Kekalahan The Minions meninggalkan kekecewaan. Apalagi para
pencinta bulu tangkis di tanah air yang sempat terganggu dengan tayangan TVRI
yang tiba-tiba berpindah ke lain program. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi
netizen dan yang tak terpublikasikan menghadapi dua situasi yang cukup sensitif
ini!
Harapan besar kini berpindah ke pundak Ihsan Maulana Mustofa
yang tampil sebagai tunggal kedua. Apakah ia mampu mencatatkan kemenangan mudah
seperti Anthony Ginting di partai pertama? Mampukah Ihsan bermain dengan tenang
dan sambil sesekali mengumbar senyum seperti saat Ginting membuat Khosit Phetpradab
tak berkutik?
Situasi sungguh berbeda. Ginting memiliki modal bagus saat
menghadapi Phetpradab. Selain berada di depan lawannya dalam daftar rangking
dunia, ia juga unggul dalam head to head. Ginting, pemain berperingkat 13
dunia, unggul 2-1 dalam rekor pertemuan atas pemain berperingkat 26 dunia itu.
Di pertemuan terakhir di Malaysia Masters 2017, Ginting menang, meski harus
bermain rubber set, 26-28 21-10 21-12.
Sementara Ihsan sebaliknya. Wangcharoen lebih diunggulkan
baik dari peringkat dunia maupun rekor pertemuan. Wangcharoen berperingkat 32,
sementara Ihsan 16 strip di belakangnya. Tidak hanya itu. Ihsan pun kalah di
pertemuan sebelumnya pada awal Januari di Thailand Masters 2018. Saat itu
pemain berusia 22 tahun ini menyerah straight set 14-21 13-21.
Situasi yang kurang menguntungkan ini membuat degup jantung kubu
Indonesia makin kencang. Apalagi Ihsan! Selain kurang diunggulkan, ia juga
mendapat tekanan tambahan dari situasi secara keseluruhan. Batin pemain asal
Tasikmalaya, Jawa Barat ini tentu cukup bergolak.
Ihsan berusaha tampil tenang. Sempat tertinggal di game
pertama, ia mampu menyamakan kedudukan, bahkan dengan lebih meyakinkan di game
kedua. Puncak pertarungan terjadi di game ketiga. Tidak hanya menguras tenaga
kedua pemain, energi para penonton pun tersedot. Betapa tidak, kedua pemain
menampilkan duel ketat. Saling kejar mengejar angka setelah kedudukan sama kuat
17-17. Bisa disebut setelah itu, jantung para penonton bekerja lebih kencang. Tanpa
perlu berpanjang kata, perjalanan skor ini sudah cukup menggambarkannya: 18-18,
20-18, 20-20.
Setelah itu masih ada tiga match point lagi. Ihsan sempat
tertinggal 20-21, sebelum menyamakan kedudukan menjadi 21-21. Selanjutnya giliran
Ihsan memimpin, namun berhasil dikejar Wangcharoen. Ihsan kembali memimpin
setelah “challenge in”. Angka terakhir diwarnai reli panjang sebelum Ihsan
menutupnya dengan “smash” keras. Bagi saya, “rally” terakhir menjadi “play of
the day” yang mengkombinasikan teknik dan tensi yang panjang.
Tidak hanya itu, pertarungan kedua pemain selama 1 jam dan
22 menit itu menjadi duel terpanjang sementara di turnamen ini. Kemenangan
Ihsan menjadi titik balik bagi tim Indonesia. Pasangan ganda putra Fajar
Alfian/Mohammad Rian Ardianto serta tunggal ketiga, Firman Abdul Kholik tanpa
kesulitan meraih poin. Kemenangan dua game langsung yang diraih di dua partai
itu memastikan skor akhir 4-1 untuk keunggulan Merah Putih sekaligus membuka
langkah ke perempat final.
Kredit patut diberikan kepada Ihsan. Dalam segala tekanan,
ia mampu menyumbang poin. Ia melewati momen penuh ketegangan dengan semangat
juang pantang menyerah hingga akhirnya menang. Meski begitu perjuangan tim
secara keseluruhan patut diapresiasi.
Apresiasi juga patut diberikan kepada Thailand. Mereka telah
menghadirkan tontonan yang menarik berkat “fighting spirit” yang memukau, tidak
hanya kepada Indonesia tetapi juga Korea Selatan di pertandingan sebelumnya. Anak
asuh Rexy Mainaky mampu mencuri satu game dari Indonesia dan dua game dari
Korea Selatan, sebuah perjuangan yang pasti tidak mengecewakan penonton dan
lebih dari cukup mendatangkan “respect.”
Momok baru Minions
Kembali lagi ke Minions. Menarik berbicara lebih jauh
tentang kekalahan pasangan ini. Terlepas dari faktor keberuntungan dan
ketidakberuntungan, ada pertanyaan penting yang patut dikemukakan. Mengapa
keduanya bisa menyerah mudah dari pemain non unggulan?
Banyak sebab, tentu saja. Jeda kompetisi yang cukup lama
bisa menjadi alasan. Tidak mengayun raket dalam turnamen kompetitif selama dua
bulan membuat mereka harus kembali beradaptasi satu sama lain. Termasuk pula
mendapatkan kembali “chemistry” yang telah dibangun selama ini.
Waktu selama 60 hari memang cukup panjang untuk
beristirahat. Tetapi juga cukup signifikan mempengaruhi momentum dan tren
positif yang telah dijaga. The Minions terakhir kali tampil di tur BFW saat
mempertahankan All England pada Maret lalu. Kemenangan atas pasangan kawakan
Denmark, Mathias Boe/Casten Mogensen, 21-18, 21-17 di Arena Birmingham, Inggris
itu menjadi laga kompetitif terakhir mereka. Setelah itu mereka mengambil jeda
dari turnamen, karena satu dan lain pertimbangan, terutama karena Gideon yang
mengakhiri masa lajang.
Keduanya boleh saja digdaya di turnamen reguler atau
individu. Namun situasi dan atmosfer berbeda dialami saat ambil bagian di
turnamen beregu. Sudah banyak kejadian, pemain atau pasangan yang tampil baik
di tur reguler malah gagal menyumbang poin. Pasangan sekelas Hendra Setiawan
dan Mohammad Ahsan pun pernah mengalami hal serupa.
Selain faktor non teknis, ada alasan teknis yang patut
dikedepankan. Usai pertandingan pasangan ini mengeluhkan angin di Impact Arena
yang kurang bersahabat. Namun faktor ini semestinya tidak terlalu dipersoalkan
karena keduanya kerap menghadapi hal seperti itu dan para pemain lawan pun mengalami
hal yang sama.
Ada hal lain yang penting. Gideon cukup terganggu dengan keputusan
hakim servis (services judges). Sekurangnya tiga kali servis pemain yang
karib disapa Sinyo ini dinyatakan “fault.” Sinyo terlihat kecewa. Merasa tidak
puas dengan keputusan hakim servis, ia sampai memperagakan kembali cara dan
posisi raket saat servis.
Kekecewaan itu masih terbawa hingga pertandingan usai. Dalam
keterangannya kepada badmintonindonesia.org, Gideon mengatakan keputusan sang
pengadil pertandingan cukup mempengaruhi permainan mereka. Meski keduanya sudah
sering menghadapi tekanan serupa, melakukan kesalahan yang sama lebih dari
sekali bisa mempengaruhi fokus dan konsentrasi. “Karena saya mendapatkan banyak
fault saat servis, jadi untuk bola sambungnya saya tidak bisa mengembangkan
lagi,” beber Marcus.
Di All England, turnamen kedua setelah German Open yang
memberlakukan aturan baru terkait servis, Sinyo tak mengalami kendala berarti.
Mengapa kali ini ia justru melakukan kesalahan?
Pada aturan sebelumnya servis yang benar adalah posisi
shuttle cock (kok) tidak boleh lebih tinggi dari pinggang si server. Aturan ini
memiliki sisi implementasi yang fleksibel karena mengikuti postur setiap pemain.
Tinggi pinggang setiap pemain tentu berbeda-beda sehingga tinggi kok pun
mengikuti tinggi badan sang pemain.
Sementara aturan baru memiliki patokan yang sama bagi setiap
pemain, terlepas dari seberapa tinggi dan pendeknya sang pemain. Seorang pemain
diharuskan melakukan servis pada posisi kok maksimal setinggi 1,15 meter di
atas permukaan lapangan. Posisi kok harus ditaksir setinggi itu sebelum dipukul
ke bidang permainan lawan.
Aturan ini tidak lepas dari masalah. Karena berlaku umum,
maka cukup merepotkan bagi pemain berpostur jangkung. Pemain dengan tinggi
badan 190 cm ke atas tentu kesulitan, bila tidak ingin dikatakan dirugikan
dengan kebijakan ini. Dibanding para pemain berpostur pendek, para pemain
jangkung lebih repot untuk mengikuti aturan ini.
Sebagai contoh, Viktor Axelsen yang bertinggi badan
1,94 m atau Li Junhui dari China yang menjulang setinggi 1,95 harus menurunkan
posisi kok setinggi maksimal 1,15 meter.
Dalam tulisan sebelumnya di sini https://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/5aa7a67ebde5752ec1062673/all-england-2018-dan-momok-baru-bernama-servis
, saya memberi contoh beberapa pemain yang dirugikan dengan aturan baru ini. Di
German Open saat pertama kali diberlakukan Gloria Emanuele Widjadja, pemain
ganda campuran yang berpasangan dengan Hafiz Faizal beberapa kali harus
kehilangan poin karena serviss dianggap "fault." Wanita bertinggi 184
cm ini cukup kesulitan untuk memenuhi standar aturan dalam melakukan servis.
Kesalahan lebih banyak dilakukan Rizki Amelia Pradipta. Tak
kurang dari 11 servis pemain bertinggi 1,71 ini dinyatakan salah. Jangankan
pemain muda, pemain senior sekelas Hendra Setiawan pun kelimpungan untuk
mendapatkan cara terbaik agar terhindar dari kesalahan. Saat mengalahkan ganda
Denmark, Kim Astrup/Anders Skaarup Rasmussen, beberapa kali servis pemain
senior itu dinyatakan salah.
Namun demikian aturan tersebut tidak bisa selalu dijadikan
alasan. Setiap pemain dituntut untuk beradaptasi dengan aturan tersebut. Buktinya,
para pemain jangkung bisa menerapkan aturan tersebut dengan baik. Malah kesalahan
juga terjadi pada pemain berpostur “ideal”-untuk mengatakan tidak terlalu
jangkung atau sebaliknya. Pengalaman Sinyo, yang bertinggi 1,68 kemarin adalah
contoh.
Bila demikian, setiap pemain harus terus melatih dan
membiasakan diri dengan aturan baru ini. Pemain sekelas Sinyo pun masih
memiliki “PR” mendasar ini. Namun begitu ada hal lain yang harus dicermati oleh
penyelenggara, dalam hal ini BWF.
Aturan ini tidak lepas dari kekurangan. Menyertai aturan
baru ini, setiap pertandingan, seorang hakim servis ditemani alat manual untuk
memastikan tinggi servis seorang pemain. Di sini tidak hanya kejelian mata
seorang hakim yang ditutut, tetapi juga akurasi penilaian. Alasannya, seperti
pernah dikemukakan Kabid Binpres PBSI, Susy Susanti, sudut pandang serta jarak
alat dengan hakim servis bisa mempengaruhi penilaian benar tidaknya servis seorang
pemain.
Subjektivitas itu pernah terjadi di German Open beberapa
waktu lalu. Seperti penilaian pelatih ganda putra, Herry Iman Pierngadi
terhadap Fajar Alfian. Menurut Herry IP, sejak babak pertama hingga semi final,
pemain ganda putra itu tak mengalamai masalah dengan servis. Namun hal yang
ditakutkan itu akhirnya terjadi di partai puncak.
"Namun kemudian di final terkena service fault sebanyak
lima kali. Saya lihat posisi servisnya sama, tingginya sama, semuanya sama,
hanya beda hakim servis yang bertugas," ungkap sosok yang dijuluki pelatih
Naga Api tersebut.
Lantas apa solusi terbaik? Setiap pemain dan pelatih harus
terus membiasakan diri dengan aturan baru tersebut. Dalam pertandingan, tidak
ada yang bisa memastikan benar atau salah selain hakim servis yang telah
dilengkapi alat bantu. Tekanan yang dialami bisa jadi membuat seorang pemain
kehilangan kendali termasuk atas apa yang benar dan salah. Lebih dari itu, mereka tetaplah pemain dengan kodrat kemanusiawian yang tak bisa disangkal.
Segera berbenah The Minions!
Comments
Post a Comment