Marginalisasi Perempuan (Catatan pinggir Sinetron Indonesia)
Oleh Yohanes Efraim Moore Meto*
TUBUH
dan bagian-bagiannya merupakan bagian dari peradaban manusia dan sering kali
diperdebatkan dari aspek filosofis, moral, politik dan religius keagamaan. Dalam wacana kontemporer, tubuh manusia
sering menjadi wacana popular, baik sebagai reperesentasi peradaban manusia
(budaya), ataupun sebagai inspirator politik demi meningkatkan komoditas
ekonomi. Hal ini nampak dalam
produk-produk kecantikan, kebugaran, dan klinik-klinik kesehatan. Bagaimana
reperesentase tubuh perempuan dalam sinetron?
Prinsip dasar sinetron sebagai sistem
dasar yang merayu pemirsa (penonton) adalah simulasi atas realitas manusia yang
telah, sedang dan akan terjadi dalam setting
historis kehidupan manusia. Dengan demikian, sinetron ditampilkan secara amat
menarik, bersahaja, selaras zaman, dan ’merangsang’ minat. Menelusuri hal ini,
maka tidak heran bila ’rekam ulang’
historisitas peradaban manusia dalam sinetron tampak wajah-wajah cantik dan
ganteng yang digunakan sebagai reperesentasi kemanusiaan kita yang sudah
terbiasa melihat, mengetahui, dan
memahami siapa itu manusia. Namun, sinetron tidak hanya berakhir pada
“pengiklanan“ tubuh sebagai media “tayang ulang” realitas yang ada dalam
masyarakat demi kepentingan pengusaha jasa program Televisi. Sebab, ketika
sinetron menghadirkan wajah anggun dan elegan, maka ia sedang mempromosi wacana
ekonomis tentang ketubuhan.
Bagi pembaca yang pernah belajar ilmu
ekonomi pasti mengenal arti “ekonomi“ secara baik. Ekonomi berasal dari kata
bahasa Yunani oikos dan nomos. Gabungan kedua kata ini akhirnya menjadi oikonomia (tata kelola rumah tangga) dan oikonomike (seni mengelolah rumah tangga). Aristoteles (384-322),
seorang filsuf Yunani klasik, menguraikan kata oikonomike ini secara cermat
dalam bukunya Politikon. Dalam Politikon ia membuat perbedaan yang
tajam antara oikonomike dan chrematistike. Aristoteles
mendefinisikan chrematistike sebagai
sebuah siasat mengejar harta dan uang demi uang itu sendiri. Dan, bagi yang
pernah berkenalan dengan gagasan Arsitoteles mungkin mengerti sebab gagasannya
berdiri di atas prinsip “apa yang baik adalah pemenuhan tujuan“. Apakah cara
pemenuhannya tidak perlu dipersoalkan? Pertanyaan fundamantel ini menghantar
kita kepada permenungan yang lebih mendalam mengenai siasat mengejar uang demi
uang itu sendiri. Bila kita melihat lebih jelih konteks pencarian dan
pengejaran uang dalam dunia sinetron, maka kita akan dengan jujur mengatakan
bahwa dunia hiburan dalam sinetron merupakan sebuah hasrat mencari uang untuk
hidup, tetapi bukan hidup yang baik.
Dengan demikian, betapa bodohnya kita
ketika kita harus bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam hanya untuk
menyaksikan simulasi realitas historis kita sendiri. Apakah tidak naif kalau
setelah menonton sinetron, di kelas, emperan-emperan rumah, lorong-lorong
gedung, dan tempat-tempat umum kita membicarakan lagi apa yang sama-sama kita
saksikan? Kita mengagumi si A sebagai figur dan pemeran tercantik. Kita
tergila-gila dengan ekspresi yang dibuat-buat oleh si A ini karena ia dilatih
untuk berbuat apa yang ia sendiri tidak mengerti. Kita terkesima dengan mimik
dan cara bicara si cantik A ini hingga dalam percakapan harian kita sering
menggunakan apa yang ia ucapkan. Namun kita tidak sadar kalau kita telah
menjadi korban dibuat-buat ini. Kita bisa saja mendengar kata-kata “Gaul“ dari
mulut ABG (Anak Baru Gede), Orang Dewasa, Remaja, dan anak-anak seperti “ya iya lah...masa iya dong....“, suka-suka
gue...bukan urusan loe“, itu urusan gue....loe mau apa....“, “narsasis banget
lo“, dan lain-lain.
Betapa bodohnya kita. Sebab, ketika kita mengagumi si A yang cantik di
episode sinetron ini atau itu, kita lalu mencari waktu hari berikutnya. Kita
menjadi gelisah bila episode tertentu kita tidak saksikan. Padahal, ketika kita
mengagumi si Cantik A di sinetron tersebut, sebenarnya kita terjebak dalam arus
marginalisasi kaum perempuan. Christe de Pizan (1365-1430), seorang penyair,
anggota kehormatan istana Charles V, Perancis, menulis kata-kata yang sangat
meyakinkan tentang perempuan sebagai berikut “Tidak ada keraguan sedikit pun
bahwa kaum perempuan termasuk dalam jemaat Allah dan bangsa manusia, sama
halnya seperti kaum laki-laki, dan mereka bukanlah suatu jenis makhluk hidup yang
lain atau ras berbeda.”
Dengan demikian, betapa bodohnya kita,
bila disatu pihak kita mengajarkan dan diajarkan untuk memperjuangkan
emansipasi kaum perempuan, perempuan tidak boleh dimarginalkan, dan perempuan
mesti memiliki hak yang sama dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan
kemasyarakatan. Namun, dipihak lain, kita turut merendahkan martabat perempuan.
Kita menjadikan perempuan medium penarik minat pemirsa dalam sebuah program
Televisi. Pada titik ini, kita terjebak dalam beberapa hal sebagai berikut. Pertama, kita terjebak dalam arus
menjadikan tubuh perempuan sumber mendapatkan uang. Kecantikan perempuan
dipakai untuk meraup keuntungan ekonomis. Kedua,
ketika kita mengagumi tubuh cantik perempuan dalam sinetron, maka kita
terjebak dalam “mekanisme perawatan“ diri, seperti kulit, rambut, bibir, cara
berpakaian, cara berjalan, berat badan, dan lain-lain sebagai pembentuk tubuh
ideal. Di sini, sekali lagi perempuan menjadi komoditas ekonomis di mana bila
perempuan ingin mendapat suami maka ia harus cantik, atau dicantikkan oleh
mekanisme kosmetik modern. Tidak heran, bila perempuan-perempuan kita
berlomba-lomba “menyerbu“ toko-toko kosmetik, klinik-klink kebugaran untuk
mempercantik diri. Ketiga, ketika
kita menyaksikan sinetron, di mana tubuh cantik si A, dibuat-buat sebagai figur
yang rajin memasak, mengurus rumah, merawat anak, dan mampu mengurus segala kebutuhan di rumah,
maka sekali lagi kita terjebak dalam arus menjadikan perempuan sebagai manusia
kelas dua. Perempuan diibaratkan dengan urusan rumah tangga.
Akhirnya, bila kita tidak mau membodohkan
diri, maka sinetron harus menjadi media
penyadaran akademik sosio-humaniora. Bahwasannya sinetron sebenarnya adalah
runag-ruang kelas tanpa dinding. Karena itu ia tidak boleh didominasi oleh
selera kelas pengusaha dan sama sekali lepas dari konteks kehidupan nyata
mayoritas penduduk kita. Pada titik ini, dalam menyaksikan sinetron kita
disuguhkan beragam kajian kritis.
Sinetron sebagai media “rekreasi“ setelah seharian bekerja memang saatnya harus
dikritisi untuk membongkar sindikat ideologis yang menyertainya. Karena itu
jangan main-main dengan sinetron. Sebab, di dalamnya pertarungan budaya
divisualisasikan dalam citra yang kompleks. Dengan demikian, para pemikir
kritis hendaknya membongkar sindikat operasionalnya.
*Pernah dimuat di Flores Pos, Kamis 6 November 2008
Comments
Post a Comment