Leicester Sudah Terlahir Kembali Tanpa Ranieri?


Jamie Vardy merayakan golnya ke gawang Liverpool/espnfcasia.com


Banyak judul besar menyambut kemenangan Leicester City 3-1 atas Liverpool, Selasa (28/2) dini hari tadi. Salah satunya seperti yang diberikan espnfcasia.com dengan tanpa “sudah” dan “?” pada tulisan ini. Kemenangan kawanan Rubah Biru di kandangnya, King Power Stadium itu dianggap sebagai titik balik setelah melewati lebih dari separuh musim ini dengan hasil mengecewakan. 

The Foxes seperti terlahir kembali setelah terjun bebas dari singgahsana Liga Primer Inggris yang ditempati musim lalu menuju jurang degradasi. Jamie Vardy yang menyumbang dua gol dalam laga ini seperti kembali menjadi Vardy yang dulu. Vardy yang musim lalu benar-benar menakutkan, tetapi kemudian redup tak lama berselang dengan hanya mencetak sebiji gol dalam 18 laga terakhir. 

Begitu juga satu gol tambahan Daniel Noel "Danny" Drinkwater lebih dari cukup membuat sang gelandang mendapatkan kembali kekagumannya. Dan Leicester seperti mendapatkan kembali sisa-sisa pesona sebagai Cinderella yang Mei lalu benar-benar membuat seisi dunia berdecak kagum, dan ragu akan kebenaran dongeng tersebut seperti menguap seketika.

Setidaknya tiga gol ini menebus paceklik gol, tepatnya nirgol sepanjang tahun ini. Sejak malam tahun baru, keran gol Leicester seperti tertutup rapat, berpelukan dengan kemenangan yang juga tak pernah didapat. 

Patut diakui performa Leicester dalam laga ini mengingkatkan kita akan kejayaan mereka musim lalu. Armada yang diturunkan di laga ini sebagian besar adalah barisan pemenang musim lalu. Dan hanya sedikit perubahan di antaranya  Wilfred Ndidi yang mengisi kekosongan lini tengah yang ditinggalkan N'golo Kante.

Ndidi mampu mengambil bagian secara pas dalam orkestra tim yang bergerak cepat saat menyerang dan sigap dalam bertahan. Dominasi dan serangan bertubi-tubi Liverpool secara efektif dimentahkan oleh pertahanan rapat para pemain Leicester. Sebaliknya, laga baru berjalan 12 detik Vardy sudah langsung mengancam. Tak lebih dari 20 menit pertama, setidaknya tiga kali gawang Simon Mignolet diteror. Namun delapan menit berselang kedigdayaan kiper timnas Belgia itu runtuh. Kecepatan Vardy melewati Joel Matip dan Lucas Leiva, membuatnya dengan mudah menuntasan umpan terobosan Marc Albrighton. 

Gol pertama Vardy setelah paceklik selama 603 menit itu kembali berlanjut di paruh kedua.Tandukan memanfaatkan umpan silang cantik Christian Fuchs membuat Mignolet tak berkutik. Beberapa perubahan yang dilakukan pelatih Liverpool, Jurgen Klopp terlihat tak berarti. 

Gol Vardy melengkapi sepakan voli Drinkwater di menit 39, yang membuat Liverpool tak bisa lagi mengejar dan hanya bisa mendapatkan gol hiburan dari Philippe Coutinho delapan menit setelah Vardy mengukir brace. Si Merah berusaha mengejar dengan meningkatkan intensitas serangan, tetapi situasi tidak semudah yang dibayangkan. Absennya Jordan Henderson semakin terasa pengaruhnya.
Para pemain Liverpool tertunduk lesu usai dibekuk Leicester/espnfc.com
Di tribun VIP, di balik kotak kaca istimewa, Vichai Srivaddhanaprabha tersenyum lebar. Entah apa arti semua itu. Bisa saja rasa lega langsung menyeruak dari rongga dada sang bos besar mendapati kenyataan bahwa perlahan-lahan klub kepunyaannya telah meninggalkan zona merah. Rasa malu sebagai juara bertahan mulai tersaput, berganti keyakinan bahwa masih ada harapan untuk mengakhiri kompetisi secara terhormat.

Seisi King Power Stadium larut dalam kemenangan. Ada nyanyian harapan terucap jelas di ujung laga. Meski demikian tak bisa hilang dari pandangan beberapa penggemar masih menyimpan kenangan pada Claudio Ranieri. Mereka seperti masih merasa tak puas, seperti orang kebanyakan, dan bisa saja masih tersimpan sakit hati, seperti pelatih malang yang kurang dari sepekan lalu ditendang pria berkuasa dari Thailand itu. 

Seperti fans yang masih terpecah, seperti itu situasi sekarang. Apakah Leicester kini telah kembali? Persisnya, apakah pemecatan Ranieri tepat adanya? Apakah kemenangan tersebut membenarkan ada yang tidak beres dengan pria tua dari Italia itu?

Beragam analisis hingga menjurus konspirasi mengemuka mengiringi kepergian Ranieri. Bahwa pelatih itu tidak lagi menjaga stabilitas di ruang ganti. Lebih lagi, ia telah kehilangan kewibawaan dan rasa hormat sehingga pertandingan yang dijalani benar-benar tak mencerminkan semangat dan tekad Ranieri yang menggebu-gebu. Hasil negatif berkepanjangan mencerminkan krisis gairah dan layunya elan vital para pemain. Mereka tak lagi senafas dan sejalan dengan sang pelatih.

“Beberapa dari itu adalah sifat manusia,”manajer caretaker Craig Shakespeare menengahi. “Ketika orang mengkritik Anda, pasti ada reaksi. Saya tidak dapat meletakan jari saya di atasnya; Saya hanya senang untuk mendapatkan tiga poin.”

Ya, sikap bijak Shakespeare itu penting untuk kembali membangun tim yang kini berada dalam tanggungjawabnya. Tanggung jawab besar, meski untuk sementara, untuk seorang asisten pelatih yang tiba-tiba naik kelas.

Selain itu cukup meneduhkan, dalam rangka menenangkan suasan panas atas pemecatan Ranieri yang dinilai tidak adil itu. Saat Chelsea memecat Jose Mourinho beberapa bulan setelah meraih kesuksesan, publik Stamford Bridge  kompak meradang. Beberapa pemain yang diduga sebagai biang kepergian Mou diejek dan dicaci maki fans.

Namun situasi sedikit berbeda di King Power Stadium. Meski ada spanduk yang menuduh pemain mengkhianati sang pahlawan, kebanyakan dari mereka hanya mengucapkan terima kasih atas kebanggaan, mungkin saja sekali seumur hidup yang telah diberikan Ranieri.

Sementara di tingkat pemain, dan ini paling penting, kemenangan itu bukan isyarat bahwa Ranieri penyebab tunggal kelesuan itu. Hasil positif ini adalah juga “campur tangan” Liverpool yang oleh Klopp dinilai buruk di segala sisi dan waktu. Sulit membayangkan bila dalam laga itu Liverpool-lah pemenangnya.Apakah pemecatan Ranieri tetap mendapatkan legitimasinya, seperti yang dipikirkan sang pemilik? 

Leicester mungkin telah menemukan jalan pulang.  Raut sedih para pendukung Liverpool saat pengumuman lima menit injury time adalah kabar bahagia bagi penggemar tuan rumah. Namun semua itu adalah pengingat bahwa jalan masih panjang sebelum stabilitas tim benar-benar tercapai dengan pelatih definitif yang nanti segera ditunjuk untuk mengarungi sisa musim entah mendekati prestasi musim lalu, atau nasib semusim sebelum itu. 

Jangan sampai pragmatisme Vichai, dan sebagaimana bisnis sepak bola masa kini umumnya, semakin terlihat jelas. Dan Ranieri tidak lebih dari korban kekejaman itu.

Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana, 28 Februari 2017.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/leicester-sudah-terlahir-kembali-tanpa-ranieri_58b54370cd9273ce067aa2be 

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing