Memahami Literasi Emosi dari "Literasi Emosi, Intelligence with A Heart"

Tampak depan dan belakang dari buku "Literasi Emosi, Intelligence with A Heart: foto dokpri

Kecerdasan itu tidak tunggal. Kita terkadang terpenjara pada pengagungan aspek intelektual sebagai standar utama kecerdasan. Kecerdasan intelektual (intelligence quotient) pun acapkali dipakai sebagai patokan untuk menilai seseorang.

Howard Earl Gardner dan Elisabeth Hobbs adalah beberapa peneliti yang menunjukkan ketidaktunggalan kecerdasan manusia itu. Peneliti dan pengajar di Universitas Harvard ini kemudian melahirkan teori tentang kecerdasan majemuk (multiple intelligences).

Kita bisa merunut perkembangan teori Gardner melalui sejumlah publikasinya mulai dari “Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences” (1983), “Multiple Intelligences: The Theory in Practice” (1993), “Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century” (1999), hingga “Multiple Intelligences: New Horizons” (2006 ).

Singkatnya, psikolog perkembangan asal Amerika yang sudah berusia 78 tahun itu, berkesempulan manusia memiliki tujuh model kecerdasan, kemudian berkembang menjadi sembilan kecerdasan berbeda. IQ menjadi salah satunya dan bukan satu-satunya.

Kecerdasan Emosi

Delapan kecerdasan lain adalah kecerdasan linguistik (linguistic intelligence), kecerdasan logis-matematis (logical-mathematical intelligence), kecerdasan spasial (spatial intelligence), kecerdasan kinestetik (bodily-kinesthetic intelligence), kecerdasan musikal (musical intelligence), kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence), kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence), kecerdasan naturalis/lingkungan (naturalist intelligence), dan kecerdasan ekistensial (existential intelligence).

Kehadiran buku Emotional Intelligence-Why it can matter more than IQ karya Daniel Goleman sejak 1995 menjadi salah satu tonggak pengakuan adanya jenis kecerdasan lain.

Sebenarnya, Goleman dengan konsepnya tentang kecerdasan emosi ini hendak menekankan salah satu aspek dalam diri manusia yang sudah diperkenalkan oleh Abraham Maslow sejak 1950-an. Betapa sisi emosi atau emosional memainkan peranan penting dalam diri manusia.

Karena itu, jenis kecerdasan yang satu ini tidak bisa dinafikan begitu saja. EQ menjadi salah satu tolak ukur kesuksesan seorang anak manusia baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun karier.

Aspek ini memiliki spektrum yang luas. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mampu menguasai lima kecerdasan non-teknis atau “soft skill” yakni:

a) “self awareness”(bisa mengenali emosi, kemampuan, kekuatan, kelemahan, dan batasan diri),

b) “self regulation” (bisa mengontrol emosi dan tindakan sehingga jauh dari tindakan yang merugikan),

c) “motivation”(dapat memotivasi diri sendiri),

d) “emphaty” (mampu memahami orang lain), dan

e) “social skill” (bernegosiasi, berkomunikasi, berelasi dengan orang lain).

Literasi emosi

Sekalipun setiap manusia memiliki aspek emosi, untuk mencapai taraf kecerdasan emosi tertentu tidak bisa serta-merta. Dengan kata lain, kecerdasan emosi itu tidak akan muncul dengan sendirinya. Begitu juga tidak dapat terbentuk dari kekosongan dengan hanya mengandalkan potensi semata.

Pada titik ini, kehadiran buku Literasi Emosi, Intelligence with A Heart dari Dandy Birdy dan Diah Mahamudah menjadi penting.

Buku setebal 212 halaman ini menjadi jalan bagi orang tua khususnya untuk membentuk kecerdasan anak melalui literasi emosi.

Secara sederhana, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya.

Konsep ini, sebagaimana diterangkan para penulis di bagian awal, mulai dikembangkan oleh American Humanist Psychology pada tahun 1970.

Pertama-tama patut dicatat, kecerdasan emosi (emotional intelligence/EI) dan literasi emosi (emotional literacy/EL) tidak identik.

Keduanya sama-sama mengacu pada peran penting aspek emosi dalam kehdupan manusia yang terejawantah dalam sejumlah dimensi seperti "self-awarness", "self regulation", dan "social skill emphaty" pada kecerdasan emosi dan "knowing your own feeling", "managing emotion", dan "emphaty" pada literasi emosi.

Namun, ada sejumlah aspek yang membedakan kedua konsep itu (hal.23-24). Salah satu perbedaan adalah EL secara khususu membahas peranan hati (heart brain), sementara EI tidak membicarakannya secara khusus.

EL mengandung dimensi minta maaf dan bertanggung jawab pada kerusakan emosional, hal mana tidak menjadi perhatian dari EI.

Lantas hal apa lagi yang menarik dari buku ini? Saya menangkap sekurang-kurangnya tiga hal.

Pertama, buku yang diterbitkan Madani Kreatif pada 2022 ini adalah buku kesembilan dari seri buku psikologi keluarga. Betapa serius dan berkomitmennya para penulis untuk menggarap tema ini.

Tidak hanya itu. Mereka juga menyuarakannya melalui berbagai program tatap muka seperti seminar, pelatihan, dan workshop. Jejak rekam yang panjang menunjukkan keberpihakan mereka pada kesehatan mental para pembaca secara luas, hal mana masih menjadi pekerjaan rumah jangka panjang.

Seperti mereka katakan, dari hasil penelitian pada 2021, ternyata sebagian besar responden (79,5%) dari 435, tidak dibekali pendidikan emosi yang baik. Betapa rumah, sekolah, dan komunitas belum menjadi tempat pendidikan literasi emosi dan para agen (orang tua, guru, dan sebagainya) belum mengambil peran secara sungguh-sungguh untuk membentuk kesehatan mental anggota keluarga.

Slogan help people to help themselves sepertinya tidak berlebihan karena visi besar yang terus mereka perjuangkan.

Kedua, jelas buku ini tidak lahir dari kekosongan. Pengalaman mereka baik secara literer maupun terlibat langsung menghadapi berbagai kenyataan di lapangan membuat buku ini tidak semata-mata berisi teori dan konsep, tetapi juga petunjuk-petunjuk praktis.

Salah satu bagian dari buku "Literasi Emosi, Intelligence with A Heart": foto dokpri.

Kita bisa mendapati penjelasan konseptual seputar psikologi seperti rasa, emosi, dan empati yang diterangkan dengan bahasa yang sederhana namun padat di satu sisi. Berbarengan dengan itu, di sisi berbeda, kita akan diarahkan untuk mengaktualisasi berbagai konsepsi psikologis itu dalam refleksi dan aplikasi.

Singkatnya, buku ini berusaha menyeimbangkan posisi sebagai buku ajar atau buku teks dan pemberi petunjuk teknis bagaimaan mempraktikkannya. Bahkan, aspek kedua diberi bobot dan porsi lebih karena buku ini diniatkan bukan sebagai buku pegangan dalam perkuliahan di ruang kelas, tetapi referensi bagi para orang tua di dunia nyata.

Berbagai ilustrasi yang diangkat pun berangkat dari pengalaman konkret dan lokal sehingga para pembaca Indonesia akan merasa dekat, alih-alih berjarak seperti dari refleksi penulis asing yang diangkat dari konteks mereka.

Para penulis tidak menjadikan pembaca sebagai siswa, tetapi lebih sebagai partner. Orang tua yang disasar diajak untuk ikut terlibat memahami aspek-aspek emosi dalam diri anak.

Dalam setiap bab, selalu tersedia bagian praktik dan aplikasi, serta refleksi. Misalnya, bagaimana mengaplikasikan empati dan mengukur kadar empati seorang anak. Jadi, setelah teori, langsung berpraktik.

Ada sejumlah teknik untuk melakukan regulasi emosi (konsep ini semestinya lebih dielaborasi), mulai dari berbicara dengan orang yang dipercaya, bermain dengan teman atau keluarga, teknik “grounding”, teknik “butterfly hug,” dan sebagainya.

Begitu juga soal pemaafan, hingga pada bagian penutup orang tua diajak untuk melakukan penilaian akhir secara keseluruhan terhadap aspek-aspek literasi emosi berdasarkan bacaan, pemahaman, dan latihan.

Ketiga, buku ini terdiri dari tujuh bab. Dimulai dengan topik seputar rasa dan emosi, lalu bagaimana mengasah hati dengan empati, pengelolaan emosi, berdamai dengan pemaafan tulus, integrasi empat dimensi literasi emosi, “assessment” literasi emosi, hingga kumpulan kisah nyata betapa banyak orang merasakan manfaat dari literasi emosi.

Saya coba mengangkat beberapa poin penting untuk menegaskan betapa besarnya peran orang tua bagi pembentukan emosi seorang anak.

Para penulis menyebut orang tua berperan sebagai Psycological First Aid (PFA) alias P3K Mental (hal. 48) untuk mengIDENTIFIKASI, meNORMALISASI, dan memVALIDASI rasa dan emosi seorang anak.

Kemudian, mengambil peran pada tiga tahap penting lainnya yakni KANALISASI (mengalirkan pada media yang sesuai), STABILISASI (meredakan gejolak emosi agar jiwa kembali stabil), dan SPIRITUALISASI (ditandai oleh penerimaan, kelapangan hati, hingga bersikap pasrah pada Allah).

Untuk memainkan peran itu, orang tua dilengkapi modal “BE A MOM” yang merupakan akronim dari Body language (amati bahasa tubuh anak), Emphaty (sensitif, masuk ke dunia anak atau dari hati ke hati, hingga menghadirkan solusi), Active listening (mendengarkan dunia anak dengan penuh atensi), Mindfulness (hadir utuh dan penuh tanpa menghakimi dunia anak), Optimist (menularkan vibrasi emosi positif dan penuh harapan), dan Micro counselling (kuasai teknik konseling).

Tugas orang tua tentu tidak ringan. Orang tua harus bisa mengarahkan anak agar bisa mengelola emosi. Tujuannya agar emosi itu bisa diarahkan untuk mencapai tujuan positif (emosi sehat) dan bukan sebaliknya (emosi jahat).

Bila seorang anak bisa cerdas mengelola emosi maka akan tercipta banyak manfaat (hal.133), antara lain:

1. memiliki kehidupan pikiran yang sehat, bisa bernalar dengan akal terbaik, dan bisa mendorong lahirnya aksi solutif.

2. bugar secara fisik dan memiliki kualitas tidur yang baik.

3. memiliki kualitas resiliensi (daya tahan) yang kuat. Bila mengalami benturan anak bisa menanganinya secara sehat dan bisa bangkit dengan kesehatan mental lebih baik.

4. memiliki konsep diri yang baik dan mental anak makin optimal.

5. memiliki kehidupan spiritual yang sehat.

6. memiliki kehidupan sosial yang sehat, memiliki keterampilan sosial asertif, berpeluang meraih hidup produktif, dan harmonis dengan lingkungan sosial. Tak kalah penting, anak memiliki “mental bonding” yang kuat dengan orang tua dan orang terdekat.

Masukan

Pengemasan yang berorientasi praktis yakni agar bisa diterapkan dengan mudah dalam keseharian, buku ini dilengkapi ilustrasi yang menarik baik cerita maupun gambar, beserta tabel dan diagram.

Hanya saja pada bagian tertentu (hal.22, 25) sajian dibuat sedemikian padat sehingga harus disiasati dengan menggunakan ukuran huruf yang lebih kecil dan tata letak berbeda. Pembaca pun harus mengakrabi diri dengan ukuran huruf yang tidak selalu seragam.

Pengemasan di atas tentu tidak mengurangi manfaat buku ini. Memang orang tua dan pendidik yang memiliki buku ini akan menuai banyak buah, baik secara teoretis maupun praktis.

Ada banyak petunjuk dan latihan menarik yang sangat membantu. Orang tua benar-benar berperan penting, baik sebagai orang tua biologis, rekan atau partner, hingga menjadi konselor.

Hanya saja, untuk mencapai hasil yang optimal, orang tua harus mengambil waktu lebih, baik untuk mencerna setiap konsep yang kadang memiliki pengertian hampir sama (seperti rasa versus emosi dan emosi versus ekpresi emosi), meluruskan gambaran keliru yang terlanjur tertanam dalam pikiran atau bahkan dipraktikkan, lantas memilih dan memilah opsi latihan, lantas mencerna dan mengaplikasikannya.

Memang konsep emosi tidaklah sederhana dan psikologi sebagai cabang ilmu yang menjadikannya sebagai salah satu subyek pembahasan tidak sepenuhnya menguraikan secara tuntas. Begitu juga buku literasi emosi ini.

Agar tidak sampai pembaca tersesat lantas menyerah di tengah jalan, apakah tidak lebih baik bila dalam setiap sesi praktik dan aplikasi misalnya, cukup dipilih satu atau dua latihan yang dianggap lebih berdaya dan berhasil guna?

Masukan dan pertanyaan kecil ini tetap tidak mengurangi manfaat besar yang bakal didapat dari buku ini.

Buku ini bisa didapat dengan menghubungi penulisnya di akun Instagram @diahmahmoed77.
Ilustrasi dokpri via Canva.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...