“Adieu” Kopa...
GEORGES BENDRIHEM/AFP/Getty Images
/ |
Generasi “baby boomers”, yang menangkup kakek-nenek atau
orang tua kita memang tak seberuntung generasi sesudahnya yang diberkahi serba
kemajuan. Tetapi ada hal yang patut dibanggakan generasi tersebut sebagai
kemewahan yang dirindukan anak dan cucu mereka.
Banyak pesepakbola hebat yang lahir dan menjadi besar pada
masa-masa itu. Pele dan lebih kemudian Michael Platini adalah beberapa dari
antaranya yang kini hadir sebagai kakek tua bagi generasi-generasi kemudian . Sebagian
besar generasi X hingga generasi Z bahkan Alpha hanya termangu-mangu ketika memutar
kembali roda waktu ke masa-masa jaya mereka, termasuk di masa emas Raymond Kopa.
Sebelum namanya mencuat lagi pada Jumat 3 Maret lalu, Kopa hanyalah
sosok renta yang terlupakan. Bahkan ada yang tak mengenalnya sama sekali selain
generasi baby boomers atau yang lahir di tahun-tahun awal generasi X. Sayang kemunculan Kopa saat itu adalah
penghabisan setelah ia dikabarkan meninggal dunia karena sakit di usia 85
tahun.
Bagi sepak bola Prancis, Kopa adalah sosok besar. Hanya Platini
dan Zinedine Zidane yang sedikit banyak mengikuti jejak kebesarannya. Ia mengangkat
nama Prancis dengan gelar Ballond d’Or dan gelar Liga Champions pertama. Meski
belum mampu mempersembahkan trofi Piala Dunia, peringkat tiga pada Piala Dunia
1958 di Swedia adalah pencapaian terbaik yang baru bisa diulangi pada Piala Dunia
1986 dan dilampaui pada edisi ke-16 di negeri sendiri pada 1998.
Selain menjadi besar di tim nasional, nama Kopa juga
terkenal bahkan menjadi ikonik di level klub. Angers adalah klub profesional
yang dibelanya pada usia 18 tahun sebelum pindah ke Stade de Reims pada 1951. Lima
tahun kemudian bersama Reims ia mengguncang Eropa. Lolos ke final Liga Champions
meski akhirnya kandas di tangan Real Madrid.
Pencapaian tersebut kemudian membuka pintu baru baginya
untuk menjelajah Eropa. Setahun setelah itu Madrid berhasil meyakinkannya. Tak
kurang dari 56 juta franc, jumlah fantastis untuk seorang pemain Prancis,
digelontorkan Madrid untu memboyong Kopa.
Kopa adalah seorang gelandang serang. Ia cakap mengatur
serangan. Tak hanya itu ia sangat berbahaya di depan gawang. Kecepatan,
kelincahan, akurasi tendangan dan kecerdikan menjadi satu paket dari penampilan
Kopa.
Sejak remaja bakat sepak bola Kopa sudah terlihat. Kemampuannya
menggiring bola membuka kesempatannya bermain di Divisi II bersama Angers, naik
kelas kompetisi lokal bersama US Noeux-les-Mines.
Seperti diberitakan telegraph.co.uk
, Kopa pernah dikritik pers Prancis karena terlalu sering menggiring bola. Saat
itu ia telah bermain untuk Reims. Saat mengadu hal tersebut kepada pelatih Albert
Batteux, Kopa malah diancam. "Jika Anda berhenti dribbling, saya akan mengeluarkan
Anda dari tim."
Beatteux tahu betul karakter anak asuhnya. Meski unggul
dalam dribbling, Kopa sejatinya tidak egois. Ia bermain untuk tim. Bagaimanapun
keberhasilannya melewati lawan akan membuka peluang bagi pemain lain untuk
mencetak gol. Hal itu dibuktikan dengan gelar Liga Prancis pada 1953 dan 1955
dengan torehan 48 gol dalam 158 pertandingan.
Saat hijrah ke Spanyol muncul keraguan apakah Kopa bisa mempertahankan kecemerlangannya. Di sana sudah ada Alfredo Di Stefano, playmaker dengan keandalan yang tak diragukan lagi. Kopa pun mengalah dan bergeser ke sisi kanan.
Saat hijrah ke Spanyol muncul keraguan apakah Kopa bisa mempertahankan kecemerlangannya. Di sana sudah ada Alfredo Di Stefano, playmaker dengan keandalan yang tak diragukan lagi. Kopa pun mengalah dan bergeser ke sisi kanan.
Kopa melewatkan beberapa bulan dalam kemurungan. Ia cukup
frustrasi tidak mendapatkan kepercayaan. Alih-alih mengarah padanya aliran bola
malah lebih banyak bergerak ke sisi kiri, tempat Francisco Gento yang memiliki
kecepatan supersonik berada.
Perlahan-lahan Kopa berhasil meyakinkan rekan setim dengan
permainannya yang cemerlang. Setelah idolanya Ferenc Puskas kembali mereka
berhasil membentuk tim yang solid dengan prestasi demi prestasi yang kemudian
diraih.
Tiga pemain ini kemudian melengkapi kemasyuran Madrid sebagai
penguasa Eropa pada akhir 1950-an. Bersama mereka menjadi juara Eropa selama
tiga musim secara beruntun sejak 1957 hingga 1959.
Tak hanya itu, selama tiga tahun beruntun mereka tak
terkalahkan di kandang. Dua gelar La Liga pun direbut pada 1957 dan 1958. Pada tahun
tersebut Kopa mencapai puncak kegemilangan dengan menyabet gelar pemain terbaik
dunia. Ia adalah pemain Prancis pertama yang meraih Ballon d’Or yang kemudian
menurun pada Platini pada awal 1980-an, selanjutnya Jean-Pierre Papin dan Zidane.
AFP/Getty Images
|
"Napoleon Sepak Bola"
Kopa mulai mencuri perhatian dunia pada 1955. Ia menjadi
sosok penting di balik kemenangan Prancis 2-1 atas Spanyol dalam laga yang
dihelat di Real Chamartin, Santiago Bernabeu saat ini. Aksi heroiknya saat itu
menjadi buah bibir. Daily Express pun menjulukinya “Napolen sepak bola” menyamakan semangat dan jiwa pantang menyerah seperti pemimpin militer dan politik Prancis, Napoleon Bonaparte.
Sebutan tersebut kemudian diadopsi oleh fans Prancis.
Piala Dunia 1958 di Swedia melengkapi masa keemasan Kopa. Di
Swedia itu Kopa dan kolega terhenti di semi final setelah kalah 2-5 dari
Brasil. Saat itu Brasil diperkuat Pele yang baru berusia 17 tahun.
Prancis sejatinya bisa berbicara lebih jauh, setidaknya
tidak dipecundangi Pele dan kawan-kawan sebegitu menyakitkan. Cedera Robert
Jonquet yang menjadi andalan di sektor pertahanan meninggalkan celah yang
membuat Pele leluasa bergerak dan mencetak hattrick.
Meski demikian secara keseluruhan kontribusi Kopa bagi tim Prancis saat itu
begitu besar. Ia turut andil bagi 13 gol rekannya di lini depan Just Fontainer
yang kemudian menjadi top skor. Hal ini
kemudian membuat Kopa ditahbiskan sebagai pemain terbaik turnamen tersebut.
Kecemerlangan karir Kopa berbanding terbalik dengan kisah
masa kecil. Ia dilahirkan pada 13 Oktober 1931. Kakek dan neneknya adalah
imigran asal Krakow, Polandia yang hijrah ke Jerman, di mana orang tuanya lahir.
Bersama mereka hijrah ke Prancis setelah Perang Dunia I. Prancis
kemudian menjadi tanah kelahirannya. Pada usia 14 tahun ia mengikuti keluarganya
sebagai pekerja di tambang batubara. Ia kemudian kehilangan dua jarinya yang
membuatnya berhenti dari pekerjaan berisiko yang dijalaninya selama tiga tahun.
Saat duduk di bangku sekolah teman-temannya cukup sulit
mengeja nama keluarganya. Nama belakangnya pun disingkat Kopa, kependekan dari Kopaszewski.
Setelah tiga tahun di Madrid, Kopa memutuskan kembali ke
Prancis utara, tempat dari mana ia berasal, meski klub ibu kota Spanyol itu
siap melipatgandakan gajinya. Alasannya ia tidak ingin kehilangan tempat di tim
nasional bila terus bermain di luar negeri.
Kembali ke Reims, ia berpasangan lagi dengan Fontaine, yang
kemudian dibeli Madrid untuk menggantikannya, merebut dua gelar pada 1960 dan
1962. Cedera dan beberapa persoalan dengan pihak manajemen menjadi hantu yang
mulai mengusik permainannya.
Ia masih bermain untuk Reims hingga 1967, membantu tim
tersebut kembali ke Divisi Utama setelah dua tahun di level dua. Setelah itu ia
memutuskan gantung sepatu dan fokus menjalankan bisnis pakaian olahraga.
Kopa menghabiskan masa tuanya di Korsika (bahasa Perancis: Corse; bahasa Korsika: Corsica),
pulau terbesar keempat di Laut Tengah yang berada di sebeleh tenggara Prancis. Ia
masih terus bermain bola setiap hari Minggu hingga usia tujuh puluhan.
Kepergian Kopa mendatangkan kesedihan bagi banyak pihak.
Real Madrid melalui sang presiden Florentino Perez seperti dilansir tribalfootball.com,
mengaku klub benar-benar kehilangan madridista sejati. Begitu
juga sang pelatih utama, Zidane yang melihat sosok Kopa jauh melebihi seorang
psepak bola. “Dia menunjukkan kami jalan sebagai pemain dan manusia,”ungkap Zidane
tentang Kopa yang beristrikan Christiane Bourrigault, adik dari rekan setimnya
di Angers.
Adieu Kopa..sampai
jumpa di keabadian!
Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana 6 Maret 2017.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/adieu-kopa_58bd4754f396730111b52145
Comments
Post a Comment