La Turbie dan Anomali AS Monako



AS Monaco merayakan kemenangan atas Saint-Etienne/BBC.com
Monako itu ibarat sepotong surga kecil yang jatuh ke bumi. Negara kota berdaulat dengan luas wilayah tak lebih dari 202 km persegi, menjadi yang terkecil kedua setelah Vatikan. Namun di balik ukurannya yang mungil itu, berbagai berkah tergurat di sana. 

Kasino dan turisme menjadi daya tarik yang menghidupkan negara yang memiliki warna bendera seperti Indonesia. Bila Indonesia punya Sang Saka Merah Putih, Monaco menyebutnya “Les Rouge et Blanc”. Mulai dari ajang balap formula satu, berbagai event reguler tahunan, hingga latar sejumlah film kondang James Bond seperti Never Say Never Again, Golden Eye dan Casino Royale mengambil tempat di sana.


Kontras dengan Indonesia yang membentang luas dengan garis pantai terpanjang di dunia, Monako mengkonsentrasikan segala sesuatu dalam ruang lingkup yang sempit itu. Tentu tak perlu heran bila disebut negara terpadat di dunia. Dibanding Indonesia, adalah sebuah kejanggalan dari negara mungil di Eropa Barat itu bisa mengguncang dunia dengan serba neka kemajuan, termasuk dari klub sepak bola kebanggaan mereka, AS Monako.

Hari-hari ini nama AS Monako ramai disebut setelah menggusur dominasi klub kaya baru Paris Saint-Germain menjadi kampiun Ligue 1. Dengan satu laga tersisa, kemenangan di kandang Saint-Etienne beberapa waktu lalu lebih dari cukup mengakhiri penantian 17 tahun sekitar 37 ribu lebih penduduk Monako (berdasarkan sensus 2015). 

Meski begitu pesta kemenangan Monaco ini tidak perlu terlalu dibesar-besarkan. Ini bukan kali pertama mereka menjadi juara Prancis. Delapan kali juara Ligue 1 cukup untuk mengatakan bahwa tradisi sepak bola di sana sudah berakar.

La Turbie

Melihat bagaimana Monako membangun sepak bolanya gelar tersebut bukan sesuatu yang berlebihan. Terakhir kali Monako memenangi Ligue 1 ada sejumlah sosok yang kemudian menjadi bintang di timnas Prancis seperti Fabien Bartez, David Trezeguet dan Willy Sagnol. 

Kombinasi apik pemain muda dan pemain senior kembali berbuah manis. Di balik kegemilangan Monako musim ini patut kita sebut dua nama yang tumbuh dari generasi berbeda. Ada kemilai pemain 18 tahun, Kylian Mbappe dan kembangkitan kembali Radamel Falcao yang sudah berusia nyaris dua kali lipat usia Mbappe.

Falcao, 31 tahun sempat tenggelam saat berlabuh di Inggris bersama Chelsea dan Manchester United. Hanya mampu mencetak lima gol dalam 36 penampilan, tidak berlebihan bila pemain asal Kolombia itu harus menerima nasib dibuang ke sana ke mari. Falcao kembali bertaji saat berlabuh lagi di Stade Louis 11 dengan 24 gol dan empat asis sepanjang musim ini.

Sementara Mbappe turut berkontribusi dengan 15 gol. Kehadirannya di pentas Eropa dengan enam gol yang menghantar Monaco hingga ke babak semi final Liga Champions membuat sejumlah klub top Eropa tidak bisa tidak berpaling padanya. Meski  akhirnya tersandung di kaki Juventus, Monako sudah membuat Tottenham Hotspur, Manchester City dan Borussia Dortmund bertekuk lutut.

Prestasi Monako dibentuk dengan melewati jalan yang telah digariskan. Lima tahun lalu mereka berada di posisi delapan di Ligue 2. Rentang dua tahun pada periode tersebut Monako keluar masuk zona degradasi.
Setelah musim 2011/2012, Monako mengakhiri kompetisi di puncak dan kembali naik kasta. Dua musim berselang, Monako mampu mencetak lebih dari 104 gol, dan hanya kebobolan 29 kali yang kemudian mengantar mereka ke puncak singgahsana sebagai yang terbaik di Prancis. 

Kemenangan Monako kali ini masih menyisahkan saksi sejarah dalam diri kiper Danijel Subasic, bek Andrea Raggi, pemain sayap Nabil Dirar dan forward Germain yang telah bersama Monako sejak tampil di level kedua.

Kylian Mbappe dan Radamel Falcao, perpaduan apik pemain junior-senior/ BBC.com
Perjalanan tersebut terasa panjang dan melelahkan. Namun Monako punya cara tersendiri membangun tim dan menjaga tradisi sepak bola. Hal ini tidak lepas dari embrio yang disebut La Turbie. La Turbie sebenarnya adalah nama sebuah desa kecil dengan populasi sekitar 3.000 orang.  Letaknya di antara konta Nice dan Kota Menton. 

Di sana berdiri La Turbie Training Ground. La Turbie mirip seperti La Fabrica milik  Real Madrid. Kedua nama ini bukan nama resmi akademi sepak bola, tidak seperti La Masia kepunyaan Barcelona. Meski begitu La Turbie menjadi bagian penting dari kerja regeneerasi Monako dalam mencetak para pemainnya.

Dari tempat itu pernah lahir nama-nama besar seperti Lilian Thuram, David Trezeguet, Emmanuel Petit hingga Thierry Henry. Para sosok legendaris itu mulai bergabung di La Turbie dalam rentang usia sekitar 15 tahun.
 Bergabungnya Henry cs pada usia seperti itu memang disengajakan karena keterbatasan demografi Monako. Minimnya jumlah penduduk lokal membuat para pemain yang masuk ke akademi benar-benar diseleksi secara ketat. Tidak mungkin bagi mereka mendapat para pemain setempat di bawah usia 14 tahun secara leluasa, apalagi berasal dari wilayah lain.

Meski populasi terbatas, Monako tidak kehabisan akal. Para pencari bakat terbaik dikirim ke seantero Prancis untuk menjaring anak-anak berbakat. Bahkan di setiap region ditempatkan para pencari bakat untuk melakukan proses identifikasi dan rekrutmen.

Selain dibentuk sendiri, tidak sedikit Monako menarik para pemain muda lainnya dari luar. Dalam beberapa tahun terakhir Monako meminang Bernardo Silva, Tiemoue Bakayoko, Fabinho, Gabriel Boschilia, Thomas Lemar, Jemerson hingga Kylian Mbappe. Dengan cara seperti itu Monako hampir tidak pernah kehabisan stok pemain muda. 

Monako mampu menjaga regenerasi tim dan kekuatan bisa dibentuk dengan sumber daya pemain memadai. Selain itu melimpahnya para pemain muda yang dibentuk dan direkrut dengan harga tidak terlalu mahal menjadi investasi untuk mendatangkan banyak keuntungan. Setelah dipromosi ke level  atas hingga tingkat Eropa tidak sedikit  bakat-bakat muda itu membuat klub-klub top rela merogoh kocek dalam-dalam.

Anthony Martial adalah contoh terkini. Dibeli dari Lyon dengan harga 6 juta poundsterling, setelah ditempa selama dua musim, pada 2015 Manchester United rela menjadikannya remaja termahal di dunia dengan harga mencapai 36 juta pounds.

Musim ini United kembali mengincar beberapa talenta muda Monako. Kabarnya pelatih Jose Mourinho membutuhkan tak kurang dari 72 juta pounds (setara Rp 1,2 triliun) untuk memboyong Tiemoue Bakayoko, Djibril Sidibe, dan Benjamin Mendy ke Old Trafford. Dua nama terakhir itu belum lama direkrut Monako, tentu dengan harga yang tidak mahal. Namun pesona yang telah mereka tunjukkan membuat Setan Merah tergila-gila.

Itulah cara Monako menjaga eksistensi. La Turbie dan kejelian mencari bakat muda memungkinkan Monako juga memanen kejayaan dari klub bernama asli Association Sportive de Monaco Football Club.  Tidak hanya turisme yang membuat negara mungil ini diperhitungkan.

Apa yang dilakukan Monako tentu menjadi sebentuk keganjilan di hadapan kultur sepak bola yang mendewakan uang sebagai cara instan untuk meraih prestasi dan reputasi. Dalam diam, AS Monako terus menjaga tradisi, tidak seperti klub-klub yang berlabel top tetapi tidak mempunyai akar yang kuat.

Begitu juga Monako terlihat seperti anomali pada wajah negara-negara besar di dunia yang memiliki penduduk berlipat-lipat banyaknya tetapi tidak memiliki kebanggaan dari sebuah klub sepak bola. Indonesia misalnya, negeri dengan penduduk mencapai 250 juta orang, tetapi hanya bisa membanggakan sejarah masa lalu dan bertahan dengan merawat sejarah beberapa klub legendaris yang masih bertahan hingga kini. 

Punya banyak penduduk tentu menjadi berkah, tetapi tidak mudah membangun koalisi bila masing-masing terpisah oleh laut dan darat selama beratus kilometer. Situasi yang persis dialami Indonesia ini butuh kerja ekstra untuk memanen prestasi. 

Namun cara yang telah ditunjukan AS Monako bisa ditiru. Memperkut basis di tingkat lokal, memaksimalkan setiap klub dan akademi lokal adalah salah satu cara yang paling mungkin. Bila tidak terlalu peduli dengan kerja dari tingkat terbawah dan memulai secara “bottom-up” maka sulit mengharapkan datangnya prestasi. Monako sudah memberi bukti, tidak ada prestasi yang datang dari atas, apalagi secara tiba-tiba jatuh dari langit.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...