Larut Tapi Tak Hanyut (Budaya-Kaum Muda-Masa Kini)

Dalam lintasan sejarah, kehadiran kaum muda tidak dapat dinafikan. Selain keberadaan an sich, peran penting pun tidak terbantahkan.Dalam konteks Indonesia, kaum muda sudah hadir dan berperan sejak sebelum kemerdekaan. Heroisme kaum muda generasi 1928 adalah contohnya. Namun generasi telah berganti generasi. Entah sudah berapa banyak generasi yang datang dan pergi. 
 Satu hal yang pasti: regenerasi pasti terjadi. Inilah mata rantai antargenerasi.Ignas Kleden, mendefenisikan karakteristik sebuah generasi dengan similaritas usia, gaya hidup, persepsi dan sikap yang khas, ekspresi kebudayaan yang khusus serta adanya suatu cultural focus(1987:120-127). Namun dalam alihgenerasi, mutu atau kualitas peran yang dimainkan perlu diberi tanda tanya. Regenerasi bertalian dengan apa yang disebut sang sosiolog itu sebagai kontinuitas unsur-unsur kebudayaan yang berfaedah bagi generasi penerus dan kelahiran kembali secara spiritual.  
Dalam sebuah regenerasi tidak hanya menyangkut pewarisan nilai tetapi juga perkembangan dan perubahan nilai. Artinya, sebuah regenerasi selain menuntut alih nilai-nilai yang baik kepada generasi pengganti juga kemungkinan untuk bersikap selektif dan kritis terhadap warisan nilai-nilai dan peluang melahirkan nilai-nilai baru yang tidak diwariskan generasi pendahulu.
Dari Fast Food Hingga Shopping Center
Era globalisasi dengan kekuatan dan kelemahannya menjadi tempat diam kaum muda saat ini. Penanda globalisasi: perkembangan yang sedemikian pesat hampir dalam semua aspek kehidupan. Tidak heran segala sesuatu amat diper(mudah). Kita bisa bergerak bebas ke mana saja, berkomunikasi dengan orang di tempat manapun danmenikmati beragam informasi tentang kejadian-kejadian di seluruh dunia secara real time. Kita bisa memasuki budaya-budaya yang sama sekali berbeda hampir dalam sekejap.Akibatnya, spasi antarwilayah dan kebebasan antarmanusia menjadi tidak jelas (borderless). Kita seakan menjadi warga dunia yang semu. Kita ditawari berbagai nilai yang berbeda dan terbuka untuk ditanggapi (Budi Kleden, 2008:172).
Dalam bidang ekonomi, maju dan mundurnya perekonomian suatu daerah di dunia ditentukan oleh perekonomian seluruh dunia. Komoditas suatu daerah bisa ditawarkan di manapun. Produk MacDonald dan pepsodent dapat dibeli di seantero jagad. Bahwa di pasar Indonesia dijual anggur produksi Prancis sudah dianggap biasa. Namun pengaruh kuat neoliberalisme itu membuat pasar menjadi timbunan keuntungan dan pembentuk stratifikasi ekonomi yang jelas. Meskipun hubungan perekonomian yang terikat dengan hukum pasar yang sistematis mengakumulasi keuntungan finansial yang tak terkira, orientasi utilitarianistis ini menekan keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sampai ke titik nadir (Magniz Suseno, 2008: 14).
Sistem ekonomi ini menjadi tidak wajar sebab mengejar keuntungan semata dan membuka lebar-lebar jurang kemustahilan bagi setiap orang untuk hidup wajar. Nasib masyarakat golongan paling bawah pada negara-negara lemah tidak didongkrak sama sekali, malah terpuruk dalam kemiskinan dan keputusasaan. Implikasi lanjutan: masyarakat yang sungguh miskin secara ekonomi akan menaruh lingkungan hidup dalam daftar prioritas dan atensi kesekian, bahkan menganggap setiap persoalan ekologi tidak lagi mendesak.Masih bisa kita membayangkan masyarakat papa di sudut-sudut sempit kota Jakarta berpikir tentang membuang sampah pada tempatnya jika perutnya belum lagi terisi dan himpitan kebutuhan yang belum juga terpenuhi?
Jika perkembangan ekonomi global membuka ruang neoliberalisme, maka pesatnya perkembangan tersebut membentuk kita dengan pola hidup konsumeristik yang mengejar kesenangan. Derasnya perkembangan pasar membuat kita tak kuasa menahan serbuan tawaran yang menggiurkan. Produk kapitalisme ini menciptakan peluang konsumerisme. Kapitalisme sebagaimana dicemaskan Karl Marx (1818-1883) tidak sekadar memproduksi  aneka barang untuk mencukupi kebutuhan masyarakat tetapi juga menciptakan kesempatan yang membuat kita merasa membutuhkan sesuatu (Magniz Suseno, 2008: 16). Memang beralasan bahwa tawaran-tawaran itu memungkinkan kita memperoleh berbagai kemudahan dan membuahkan kemajuan. Persoalan akhirnya muncul ketika rupa-rupa kebutuhan bermunculan karena pergeseran skala kepentingan. Dalamnya terjadi manipulasi kebutuhan yang tidak kita sadari sehingga memicu timbulnya kebutuhan palsu. Stimulasi arus massa, promosi dan iklan membuat pilihan kita bergeser: apa yang sesungguhnya kurang atau tidak kita butuhkan akhirnya dirasakan sebagai kebutuhan karena derasnya arus massa dan kuatnya tawaran promotif.
Franz Magnis Suseno memberikan beberapa contoh menarik (Magniz Suseno, 2008: 16-19). Tentunya keinginan untuk menikmati hamburger pada saat sekarang sebagai variasi untuk kebiasaan makan sagu dan berbagai penganan lokal bukanlah sebuah kebutuhan palsu. Tetapi kebutuhan makan di MacDonald menjadi palsu apabila kita sebenarnya lebih suka mengkonsumsi makanan tradisional tersebut, tetapi karena merasa rendah nilai prestisenya, maka kita merasa harus makan di MacDonaldagar lebih terkesantrendy dan bergengsi.  Kita datang ke pusat fast food itu karena melihat orang-orang zaman sekarang berbondong-bondong ke sana.
Demikian halnya dengan kebiasaan berbelanja dan memiliki handphone (HP). Pada saat sekarang orang beramai-ramai ke shopping centertidak hanya karena ia membutuhkan sesuatu tetapi hanya demi belanja itu sendiri. Berbelanja di mall tidak lagi sekadar membeli sesuatu yang penting tetapi terkadang hanya untuk memenuhi satu kebutuhan:shopping. Kalau seseorang secara terencana membeli HPdengan alasan fungsional tentu tidak menjadi masalah. Tetapi tidak sedikit orang yang telah termanipulasi secara psikis sehingga begitu ada model HP terbaru di pasaran, mereka merasa harus membelinya sekalipun HP yang dimiliki masih memadai.
Kebutuhan buatan yang diciptakan kapitalisme ini akan terus mamacu kita untuk membeli lebih banyak, lebih baru dan lebih hebat. Tampak bahwa kapitalisme tidak hanya mempromosi barang-barang kebutuhan yang terus meningkat dalam jumlah tetapi serentak memperkenalkan dewa baru yang banyak dipuja yakni wellness(Magniz Suseno, 2008: 20). Inilah berhala baru yang menyempitkan wawasan kita pada satu nilai esa: kesenangan pribadi. Di hadapan dewa itu kita dihipnotis untuk merasa berhak atas perasaan yang well, berhak atas kebahagiaan pribadi. Kita disugesti untuk  menjadi egosentrik karena berkutat di sekitar kesenangan pribadi dan menganggap kebutuhan orang lain berada di luar perhatian kita.
Kebutuhan pribadi yang sedemikian diagungkan membuat kita mengalami dua kehilangan sekaligus yakni kehilangan orientasi diri dan kepedulian sosial. Kita terasing dari diri yang sebenarnya karena yang kita butuhkan adalah hasil sugesti yang manipulatif. Karena terdorong oleh keinginan untuk terus membeli yang lebih baru maka kita bisa menjadi apatis dan kehilangan empati terhadap kekurangan yang dialami sesama kita. Yang diutamakan adalah apa yang lebih menyenangkan. Bahayanya, hemat Magnis Suseno, kita bisa kehilangan apa yang sesungguhnya lebih bernilai daripada sekadar kesenangan pribadi. Ketika sedang menyembah sang wellness di shoping centerdan gerai-gerai produk terbaru, masihkan kita berpikir kalau di luar sana antrean kaum miskin tak berpunya (the haves not) kian memanjang dan betapa sulitnya mereka mendapatkan sesuatu barang cukup untuk mengganjal perut semalam?
Simulacra, Techno Culture, Malas Berpikir
Definisi kaum muda misalnya, tentang cantik dan tampan akan diderivasi dalam sejumlah variabel seperti  berkulit putih, berhidung mancung, dan rambut hitam berair. Identifikasi dan obsesi tampilan dan style hampir pasti mengarah pada artis-artis Korea atau Hollywood. Duplikasi mode dan life style selebriti di layar kaca, billboard dan iklan yang membanjir akan dengan gampang dibuat oleh siapa saja hingga yang berjarak ratusan bahkan ribuan kilometer dengan figur idealnya. Pendefinisian diri yang berat sebelah dan identifikasi yang hampir tanpa dasar ini sedang dan akan terus bekerja dalam mekanisme yang tidak disadari.
Saat ini hampir sulit kita temukan, apalagi membedakan, realitas sejati dari yang palsu. Dalam perspektif posmodernisme, dunia konkret dengan darah dan daging kian disimulasi menjadi dunia citra. Realitas tidak lagi tampil apa adanya tetapi lebih sebagai realitas semu hasil polesan dan pencitraan. Sosiolog dan posmodernisJean Baudrillard (1929-2007) menyebutnya sebagai simulacra: tampilan seakan-akansebagairealitassesungguhnyapadahaliahanyalahrealitasartifisialciptaanteknologisimulasi. Yang tampak bukan lagi realitas yang asli melainkan salinan-salinan identik yang bahkan lebih asli dari yang asli (Hikmat Budiman, 2002: 84).Sehinggadalamsimulacaituapa yang semudianggaplebihnyata, dan yang palsudianggaplebihbenar (Piliang, 2005: 223-224).
Hubungan sosial tidak lagi murni dimediasi dan dibumbui oleh empati, tepa selira, rasa sungkan, budaya malu (shame culture), rasa bersalah (guilt culture) dan semacamnya tetapi oleh citra. Citra inilah yang mampu mengubah kenyataan menjadi memori dan nostalgia indah. Kita akan mudah dibuat lupa akan kebenaran oleh janji-janji manis dalam citra tertentu. Dan angka-angka di layar kaca tidak lagi mewakili kenyataan real tetapi sekadar basa basi belaka. Yang menguasai teknologi simulasi ini, tidak cukup sulit untuk melakukan pencitraan dalam gambar, kata-kata pun angka-angka.
Belum lagi perkembangan teknologi mutakhir yang mendudukkan kita pada sebuah budaya baru: techno culture dengan ragam media baru (new media) yang begitu dominan dan bekerja secara luas dengan adanya internet dan broadbandnetworks. Tingkat partisipasi kaum muda saat ini amat tinggi dalam menggunakan iPods, cell phones, video games dan keterlibatan dalam komunitas on line atau jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dan sebagainya. Jarak sepertinya telah tiada (death of distance) dan waktu yang tidak lagi mewaktu-timeless time (Van Dijk: 2006). Seperti tesis McLuhan (1964), dunia sungguh telah menjadi seperti sebuah kampung kecil (global village) karena hampir tidak ada lagi sisi yang sulit dijangkau.
Selain sisi positif dari situasi mutakhir ini, ekses bagi kaum muda tidak sedikit. Banjir informasi (information overload) terjadi,tersajianeka content, tak terkecuali berupa unsur kekerasan, manipulasi, intimidasi, penerabasan privasi,seksualitas dan pornografi. Fenomenacyberstalking, cyberbullying, internet gaming adiction, phising (kejahatan berkedok “orang baik dan dikenal” untuk memeras dan mendapatkan uang),spamming (demi tujuan komersial) dan spyware (untuk menilep dan mengekspos informasi pribadi), tidak terhindarkan pula. Ruang plagiarisme dan persoalan seputar orisinalitas hampir tidak lagi tabu. Teknologi, meminjam gagasan McLuhan, bukanhanya sekedar perpanjangan tangan manusia (extension of man) dalam berkomunikasi tetapi juga dalam berpikir. “Mbah google” menjadi tempat pelarian yang paling mudah dijangkau untuk setiap kebuntuan dalam berkreasi dan berpikir.
Tersajinya segala sesuatu secara mudah membuat aktivitas berpikir menemukan penggantinya. Jika yang terjadi seperti ini, maka sikap malas berpikir menjadi sesuatu yang lumrah. Demikianpun berpikir berarti antioposisi (ke-seragam-an)dan perbedaan pandangan bukan lagisarana penyatuan horizon. Dalam kegiatan berpikir ini yang diutamakan mestinya pertemuan antargagasan, bukannya perjumpaan antarpribadi. Tidak mengherankan jika tradisi ngobroltanpa juntrungan menjadi trend masa kini bahkan itu terjadi di pusat-pusat studi atau lembaga pendidikan. Karena yang dipertemukan bukanlah gagasan maka bersikap kritis bisa berarti antipati atau meretas permusuhan pribadi. Respek intelektual tidak lagi pada bernasnya buah pemikiran tetapi lebih pada status dan gelar akademik yang disandang. Diskusi tidak lagi menjadi solusi. Iklim diskursus yang egaliter dan penuh respek terhadap keberagaman berganti dominasi dan kontak fisik. Tawuran dan kekerasan fisik lebih dijadikan pilihan. Inilah salah satu lukisan kelam di wajah hitam pendidikan kita saat ini. 
Larut Tapi Tak Hanyut
Potret yang dilukis di atas, tentu masih jauh dari kesempurnaan dan masih bisa dipoles dengan berbagai sapuan pemikiran berbeda. Namun itusekilassketsa wajah generasi muda dalam konteks sekarang. Generasi muda masa ini berbeda dengan generasi muda era 1928 hampir dalam segala aspek kehidupan. Jika generasi 1928 hidup dalam iklim revolusi kemerdekaan maka generasi masa kini berada dalam realitas masyarakat berjaringan (network society) yang dimediasi oleh teknologi yang telah berkembang sedemikian pesat. Apabila generasi 1928 menukikkan perjuangannya pada tanah yang terjajah, maka generasi masa kini mengalihkan pandangannya pada kehidupan yang tidak lagi berjarak, waktu yang tak lagi mewaktu dan realitascyber nanmaya (virtual) yang sulit bahkan mustahil teridentifikasi rupa personakarena sifat anonimitas yang tidak terhindarkan. Karena itu, nilai yang dianut, budaya yang dihidupi, dan cultural focus yang disasar pun sedikit banyak berbeda. Di satu sisi, unsur-unsur dari kebudayaan lama telah melebur. Di sisi lain, muncul unsur-unsur kebudayaan yang baru. Namun demikian tidak berarti bahwa sesuatu yang dipertahankan turun temurun, yang dialihkan dari generasi ke generasi sebagai nilai yang selalu selaras zaman, dapat begitu saja disingkirkan secara serampangan.
Dengan tanpa bermaksud membuat dikotomi yang tegas-tentunya juga karena masih sangat problematis-antara (budaya) Timur dan (budaya) Barat saya coba mengangkat ilustrasi antara dua kehidupan berbeda dalam salah satu karya sastra. Seperti tegangan antara dua kehidupan sastrawi itu demikianpun halnya yang dialami generasi masa kini.
Burung-BurungRantau(1992) merupakansalahsatu novel penting Y.B Mangunwijaya yang antaralainberbicaratentangpertarunganantaraduagenerasiyang berbeda dalam sikap dan pandangan. Generasipertamadisebut sebagaigenerasi Indonesia yang berkutatdenganadatketimuran yang kental dan terwakiliolehpasutriLetjenWirantodanYuniati.Sementaraitu, puteribungsumereka, Marinetilebihberpihakpadagenerasikedua, generasipasca-Indonesia”. Inilah generasi yang telahbergerakmeliwatibatas-batasketimuran. Sayang, penghayatankebebasandantatabusananyaterkesankebarat-baratan (semisalmengenakan Jeans dantanpabreastholder).Generasipasca-Indonesiadapatpula merujukpadasaudara-saudaraNetisepertiAnggraini-wanitakarierdanjanda kaya raya, Dr.Wibowo-pakarfisikanuklirdanastro-fisika di salahsatulaboratorium di JenewadanLetkol Chandra, sang instrukturpesawat-pesawatpemburu jet di Madiun.
Generasiidealadalahgenerasikeduadenganarti yang lebihproporsionalyaknitetapmenjadi orang Indonesia serentakwargadunia yang memiliki adab yang terjaga,wawasanluasdankapabilitastinggi. Karenaitu,burung-burungrantaudapatdijadikananalogiuntuk model generasi “perantau” yang tidakmelupakankampunghalaman.Ada itikad ke luar dari status quo dan kebiasaan lama yang membelenggu untuk menyambut fajar baru perubahan. Sinergi ini mensyaratkantidak ada hegemoni dan dominasi satu budaya, tetapi  spirit pembelajaran untuk mengganti nilai-nilai budaya yang tidak lagi selaras zaman. Demikianpetikan, “…pascaartinyamasihtetapsama, tetapisekaligusmenjadi lain …”(1992:59).
Kiranya simbolisme burung-burung rantaubisa menggambarkan kiprah generasi Indonesia masa kini. Zaman penuh keterbukaan mesti memacu kaum muda untuk passing over, tidak hanya secara geografis tapi juga dalam hal moral, pandangan hidup dan pengetahuan. Kekayaan yang ditimba melalui konfrontasi nilai-nilai tradisional (feodalisme dan mentalitas picik) dan modern (individualisme yang kritis dan rasional) akan membentuk mental dan watak generasi Indonesia yang terbuka terhadap dunia tanpa kehilangan identitas keindonesiaan(Shindunata: 1999: 32). Gemerlapnya etalase promosi dan hingar-bingar iklan di berbagai beranda yang tidak bisa tidak dinikmati mesti selalu dihadapi dengan sikap kritis tidak semata-mata, meminjam gagasan Ignas Kleden, sebagai “pasien” tetapi juga sebagai “agen” kebudayaan.
Akhirnya, dalam realitas virtual yang sulit disentuh oleh kontrol bahkan oleh tangan hukum sekalipun, gagasan Charles Ess dalam bukunya Digital Media Ethics(2009)bisa dijadikan tuntunan:kembali pada pengalaman etis dan  pilihan moral.Kazanah kultural kita masih menyimpan adat sopan santun dan budaya menghargaiprivasi dan hak orang lain. Berbagai kasus kejahatan seksual dan skandal yang mendera lembaga pendidikan formal (dari play group hingga perguruan tinggi) akhir-akhir ini, semakin memantapkan atensi pada keluarga,yang tentunya,masih dipandang sebagai sekolah pertama dan utama untuk mempelajari nilai-nilai etis dan aneka kebajikan moral. Melalui interaksi dan pola pengasuhan yang baik, ketepatan pilihan etis-moral seorang anak ditempa dan diasah agar makin jeli dan tajam membedakan yang bajik dari yang batil. Untuk itu, institusi keluarga mestinya tetap pada posisi sentral dengan orang tua sebagai edukator pertama dan pendamping lanjutan bagi seorang anak dalam masa-masa pertumbuhan hingga terbentukrasa tanggung jawab dan kontrol diri yang baik. Hal ini mengandaikan bahwa rumah sungguh-sungguh menjadi home dan bukan sekadar gedung (house) persinggahan belaka. Relasi muka ke muka secara real tetap terjaga. Tidak sekadar say hello oleh gadget dan basa-basi relasional termediasi. Jika tidak, maka sulit kita membayangkan generasi “pasca Indonesia” yang mampu mensinergikansecara selektif-kritis-konstruktif: “budaya Oksiden” dan “Budaya Orient” (mengutip term poskolonialis, Edward Said untuk Budaya Barat dan Budaya Timur namun tidak dalam arti tegas), kearifan lokal dan techno-culture, danrealitas sejati dari simulacra.Ibaratnya:sebagai campuran yang larut dalam takaran yang pas dan bukannya,sedikit-banyak, lebih-kurang,mengendap sebagai residu yang gampang di(hanyut)kan.

REFERENSI
Budiman, Hikmat. LubangHitamKebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Ess, C. 2009. Digital Media Ethics. Polity.
Kleden, Budi. 2008. Kampung, Bangsa, Dunia, 50 Tahun Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta: Lamalera.
Kleden, Ignas. 1987..SikapIlmiahdanKritikKebudayaan. Jakarta: LP3S.
MagnisSuseno, Franz. 2008. EtikaKebangsaanEtikaKemanusiaan (79 TahunSesudahSumpahPemuda).Yogyakarta: Impulse danKanisius.
Mangunwijaya, Y.B. 1993.Burung-Burung Rantau. Jakarta: Gramedia.
McLuhan, M. 1964. Understanding Media: The Extensions of Man. NY: McGraw-Hill Company.
Piliang, Yasraf A. 2005. Transpolitika (DinamikaPolitik di Dalam Era Virtualitas.Yogyakarta: Jalasutra.
Sindhunata (edit.). 1999. Menjadi Generasi Pasca-Indonesia, Kegelisahan Y.B Mangunwijaya.Yogyakarta: Kanisius.
Van Dijk, Jan. 2006. The Network Society. Second Edition. Sage.


Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing