69 Tahun Itu “Sesuatu…”


Eksistensi bangsa Indonesia baru saja menginjak angka 69 tahun. Riwayat hidup yang tak bisa dibilang muda, juga tak bisa serta-merta dikategori terlalu tua. 69 itu bukan hanya soal angka yang gampang diurut dan dibilang dalam satu kali tarikan nafas.

Di dalam angka itu ada nyawa beratus ribu bahkan berjuta pahlawan. Di dalam angka itu ada darah, air mata dan peluh yang dikorbankan demi tegaknya sebuah bangsa bernama Indonesia. Di dalam angka itu ada elan vital. Ada pula solidaritas, ada kerja sama, ada pengorbanan, ada kerelaan dan keikhlasan, juga ada tumbal untuk tetap merekatkan tali perbedaan serba keanekaan dalam satu pakem Bhineka Tunggal Ika.

Namun dalam 69 tahun yang tak muda lagi itu, ada sisi lain yang menyiratkan tantangan dan tanda tanya. Selepas 69 tahun memerdekakan diri dari kolonialisme, dari senapan dan popor penjajah, dari perbudakan dan diskriminasi dikotomis, kita patut bertanya: apakah sejauh ini kita sudah benar-benar menghirup aroma kemerdekaan? De facto, 350 tahun penjajahan Belanda telah berakhir. Tiga setengah tahun penjajahan Jepang sudah usai. Tetapi apakah kini, tak ada lagi kolonialisme dalam wajah berbeda? Sabar dahulu!


Ada sesuatu di balik angka 69 tahun itu yang harus kita gali agar kemerdekaan yang kita rayakan tidak sekedar formalisme dan basa-basi belaka. Sejatinya, kita tak butuh angka yang terus diurut, tetapi makna kemerdekaan yang harusnya sungguh kita rasa, tanpa terkecuali, tanpa pilih kasih. Jangan sampai kita tak beda dengan pepatah, “Lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut singa”. Artinya, merdeka tidak merdeka, sama saja. Dahulu dan sekarang, tak ada bedanya.

Pertama, dari laporan Sekertaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), diperoleh hasil bahwa jumlah atau presentase penduduk miskin di Indonesia dalam lima tahun terakhir kian menurun (Kompas, 13/08/2014, hal.1). Pada tahun 2009, jumlah penduduk miskin mencapai 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari populasi penduduk. Lima tahun berselang, tahun 2014, jumlah penduduk miskin turun menjadi 28,28 juta jiwa atau 11,25 persen.
Di balik penurunan jumlah penduduk miskin yang patut kita apresiasi, muncul persoalan ketimpangan yang mengundang simpati. Angka kemiskinan boleh menurun, tetapi ketimpangan atau kesenjangan sosial malah melebar. Hal ini berarti gap antara yang berpunya (the haves) dan tak berpunya (the haves not), antara kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah kian menganga lebar. Buah kemerdekaan lebih banyak, bahkan akan terus mengalir masuk ke kantong-kantong dan kas kekayaan kalangan elite sementara rakyat jelata semakin tenggelam di dasar kemiskinan.
Ikhtiar program pro rakyat seperti Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Bantuan Siswa Miskin (BSM), program Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin), program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) masih menyentuh sifat artifisial dan sementara, dan belum bersifat substantif sebagai solusi tepat atau kartu truf untuk mengentaskan kemiskinan. Entah mekanismenya yang harus dievaluasi, realisasi yang harus diperketat, sinergi lintas sektoral yang harus diperkukuh atau mental aparatur yang perlu direvolusi, yang pasti belum semua rakyat merasakan dampaknya.
Kedua, signifikansi berbagai terobosan yang belum menyasar kepentingan rakyat berkelindan dengan praktik kecurangan dan korupsi. Berbagai peruntukan malah berbelok arah dan bermuara pada pundi-pundi segelintir orang. Melalui praktik korupsi itu, negara dirugikan triliunan rupiah. Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir, angka korupsi pada semester pertama di tahun 2014 merugikan negara 3,7 triliun. Potensi kerugian terbesar ada pada pengadaan E-KTP (negara berpotensi merugi 1,12 triliun), Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji di Kementerian Agama (dengan potensi kerugian negara 1 triliun) serta dugaan tindak pidana korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) PPh Badan PT BCA, Tbk tahun pajak 1999 sebesar Rp.375 miliar.
Inilah perhitungan terkini, pada semester ini dan masih bersifat tentatif. Artinya, nominal itu masih bisa berkurang, bisa juga bertambah, mengandaikan pihak terkait secara serius dan sungguh-sungguh menjaring para koruptor. Jika dikalkulasi kerugian negara akibat praktik korupsi pada semester sebelumnya, secara jeli dan kredibel menyasar seluruh tingkatan dari pusat hingga satuan pemerintah terkecil, menyertakan juga berbagai “kebocoran”, entah berapa banyak uang negara yang sudah ditilep dan mengalir haram ke saku-saku perakus.
Selain Korupsi patut kita menyebut saudara dekatnya, Kolusi dan Nepotisme. Sebagai trisula maut yang sulit dipisahkan, penghisapan secara sepihak berbanding lurus dengan pengarusutamaan kepentingan kelompok atau primordial. Di Indonesia masih kuat trah dan dinasti politik dengan maksud bagi-bagi kursi dan jabatan sambil menjaga stabilitas kerajaan bisnis dan usaha. Meski negara kita dikategori sebagai bangsa dengan kekuatan demokrasi terbesar ketiga di dunia, dalam kenyataan praktik-praktik curang yang sarat manipulasi, tipu daya, bahkan intimidasi tak jua menemui titik akhir. Demokrasi masih menjadi alat dan kuda tunggangan untuk merengkuh ambisi dan nafsu. Patut diakui setelah 69 tahun merdeka, kualitas demokrasi kita masih menyentuh level artifisial dan formal belum menukik pada tataran substansi. Jangankan mengharapkan rakyat berdemokrasi, para pemimpin, kaum cerdik pandai, pihak bijak bestari saja tidak mampu menunjukkan bagaimana berdemokrasi secara benar.
Ketiga, terkait dengan jurang kesenjangan tidak hanya dialami secara individu atau kelompok tetapi juga secara geografis. Saat ini Jawa menjadi sentra pembangunan sekaligus primadona pertumbuhan. Dalam konstelasi 13.466 pulau di Indonesia, Jawa berada di titik pusat atau menjadi sentral sementara wilayah lain berada pada titik periferi. Akibatnya, dampak pembangunan lebih terasa di pusat kekuasaan. Daerah-daerah lain hanya menerima remah-remah dan otonomi daerah yang telah lama bergulir seakan basa-basi belaka. Kekurangan dan ketiadaan infrastruktur serta sarana-prasarana masih menjadi litani kegelisahan yang terus berulang saban tahun.
Keempat, Indonesia adalah rumah bagi 240 juta jiwa dengan beragam latar belakang agama, dan sosial-kultural. Namun idealisme ini lebih terasa sebagai lelucon melihat tingkah segelintir orang, sebagian kaum,dan sejumlah suku-agama yang merasa memiliki negara ini. Praktik diskriminasi bahkan pemberangusan terhadap sama-saudara yang berbeda agama dan kepercayaan, serta suku dan golongan terasa semakin menjadi-jadi di negara yang terang-terangan mengakui kebhinekaan, pluralisme, dan multikulturalisme dalam sila-sila Pancasila dan UUD 1945.
Kelima, hal-hal miris di atas membuat kita seakan pesimis mendiami nusantara ini. Padahal kita memiliki begitu banyak alasan untuk optimis. Sekalipun 69 tahun itu masih memancarkan sejumlah spektrum gelap, tapi masih ada sisi lain yang membuat kita bisa bernafas lebih panjang. 69 tahun bukan titik akhir. 69 tahun bisa menjadi titik bangkit untuk terus menata diri dan berbenah.
Sejauh ini kita telah dianugerahi banyak kekayaan alam dan sumber daya manusia yang memacu kita untuk tidak lagi saling memangsa demi kepentingan diri, membiarkan diri menjadi pasar, sasaran penghisapan, dan penonton pasif di tengah arus deras perkembangan global dan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sudah di depan mata. Modal rasional dan demokrasi yang telah kita kantongi perlu terus diasah sambil mengisi jiwa kita dengan semangat persaudaraan, kerja sama, gotong royong, tepa selira yang telah diwariskan para pendahulu kita.
Dengan demikian, ketika kita menyebut angka 69 tahun, bukan lagi histeria dan pesimisme yang menyeruak seperti diterikan artis Peggy Melati Sukma, pusiiinggg… tetapi desahan optimisme untuk memaknai 69 tahun dan sesudahnya secara berfaedah. Seperti Syahrini, sejatinya 69 tahun itu, sesuatuuu…

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing