Kebutuhan Palsu dan Kehilangan Yang Sejati

Globalisasi membawa sesuatu yang tak disadari namun nyata: gaya hidup konsumeristik. Inilah anak kandung kapitalisme yang sedang menggeranyangi kita. Sebagaimana dicemaskan Karl Marx (1818-1883) kapitalisme tidak sekadar memproduksi aneka barang untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Ia juga menciptakan kesempatan yang membuat kita merasa membutuhkan sesuatu (Magniz Suseno, 2008: 16).
Memang beralasan bahwa  berbagai tawaran itu memungkinkan kita memperoleh berbagai kemudahan dan membuahkan kemajuan. Persoalan akhirnya muncul ketika rupa-rupa kebutuhan bermunculan karena pergeseran skala kepentingan. Dalamnya terjadi manipulasi kebutuhan yang tidak kita sadari sehingga memicu timbulnya kebutuhan palsu. Stimulasi arus massa, promosi dan iklan membuat pilihan kita bergeser: apa yang sesungguhnya kurang atau tidak kita butuhkan akhirnya dirasakan sebagai kebutuhan karena derasnya arus massa dan kuatnya tawaran promotif.
Franz Magnis Suseno memberikan beberapa contoh menarik. Tentunya keinginan untuk menikmati hamburger pada saat sekarang sebagai variasi untuk kebiasaan makan sagu dan berbagai penganan lokal bukanlah sebuah kebutuhan palsu. Tetapi kebutuhan makan di MacDonald menjadi palsu apabila kita sebenarnya lebih suka mengkonsumsi makanan tradisional tersebut, tetapi karena merasa rendah nilai prestisenya, maka kita merasa harus makan di MacDonald agar lebih terkesan trendy dan bergengsi.  Kita datang ke pusat fast food itu karena melihat orang-orang zaman sekarang berbondong-bondong ke sana.
Demikian halnya dengan kebiasaan berbelanja dan memiliki handphone (HP). Pada saat sekarang orang beramai-ramai ke shopping center tidak hanya karena ia membutuhkan sesuatu tetapi hanya demi belanja itu sendiri. Berbelanja di mall tidak lagi sekadar membeli sesuatu yang penting tetapi terkadang hanya untuk memenuhi satu kebutuhan: shopping. Kalau seseorang secara terencana membeli HP dengan alasan fungsional tentu tidak menjadi masalah. Tetapi tidak sedikit orang yang telah termanipulasi secara psikis sehingga begitu ada model HP terbaru di pasaran, mereka merasa harus membelinya sekalipun HP yang dimiliki masih memadai.
Kebutuhan buatan yang diciptakan kapitalisme ini akan terus mamacu kita untuk membeli lebih banyak, lebih baru dan lebih hebat. Tampak bahwa kapitalisme tidak hanya mempromosi barang-barang kebutuhan yang terus meningkat dalam jumlah tetapi serentak memperkenalkan dewa baru yang banyak dipuja yakni wellness. Inilah berhala baru yang menyempitkan wawasan kita pada satu nilai esa: kesenangan pribadi.
Kebutuhan pribadi yang sedemikian diagungkan membuat kita mengalami dua kehilangan sekaligus yakni kehilangan orientasi diri dan kepedulian sosial. Kita terasing dari diri yang sebenarnya karena yang kita butuhkan adalah hasil sugesti yang manipulatif. Karena terdorong oleh keinginan untuk terus membeli yang lebih baru maka kita bisa menjadi apatis dan kehilangan empati terhadap kekurangan yang dialami sesama kita. Yang diutamakan adalah apa yang lebih menyenangkan. Bahayanya, kita bisa kehilangan apa yang sesungguhnya lebih bernilai daripada sekadar kesenangan pribadi. Ketika sedang menyembah sang wellness di shoping center dan gerai-gerai produk terbaru, masihkan kita berpikir kalau di luar sana antrean kaum miskin tak berpunya (the haves not) kian memanjang dan betapa sulitnya mereka mendapatkan sesuatu barang cukup untuk mengganjal perut semalam? Jika berpikir saja tidak, apalagi bertindak!

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing