Dua Gelar dari Thailand, Harapan di Tengah Tantangan


Berry/Hardi di podium juara Thailand GPG 2017/badmintonthaitoday.com

 
Indonesia sukses mempertahankan tradisi juara di turnamen level Grand Prix Gold Thailand Open. Sejak 2012-kecuali 2014 karena tur dibatalkan-Indonesia tidak pernah pulang dengan tangan kosong. Minimal satu gelar dibawa pulang dari turnamen yang tahun ini dihelat di Nimibutr Stadium, Bangkok itu.

Melampaui pencapaian tahun lalu dengan satu gelar, tahun ini Indonesia menyabet dua gelar. Gelar pertama disumbangkan pasangan ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu yang turun di partai pembuka. Greysia/Apriani mengalahkan wakil tuan rumah Chayanit Chaladchalam/Phataimas Muenwong, 21-12 dan 21-12. Satu gelar lagi juga dari nomor ganda melalui Berry Angriawan/Hardianto yang membekuk satu-satunya wakil Eropa, Raphael Beck/Peter Kaesbauer juga dengan straight set, 21-16, 21-16.

Gelar yang diraih kedua pasangan ini memiliki kisah tersendiri. Bagi Greysia dan Apriyani ini menjadi gelar pertama dalam tur perdana mereka. Keduanya baru berpasangan saat tampil di Piala Sudirman yang dihelat beberapa pekan lalu di Gold Coast, Australia. Pasangan yang berbeda usia 11 tahun ini menunjukkan tren positif sejak menyulitkan pasangan Denmark nomor urut dua dunia, Kamilla Rytter Juhl/Christina Pedersen di ajang beregu campuran dua tahunan itu.

Gelar ini tidak lepas dari peran Grace, sapaan Greysia, sebagai katalisator sekaligus mentor bagi Apriyani yang baru berusia 19 tahun. Saat memasuki arena, Apri terlihat tegang. Raut wajah wanita kelahiran Kendari, Sulawesi Tenggara itu tidak secerah seniornya yang selalu mengumbar senyum.

Namun ketegangan itu bisa terurai di lapangan. Semangat yang diberikan Grace membuat Apri mampu mengatasi segala tekanan dan hambatan psikologis dan fokus pada pertandingan. Suntikan semangat tersebut terbukti mampu membakar daya juang Apri yang terlihat pantang menyerah. Lutut Apri sempat berdarah. Namun wanita yang berulang tahun saban 29 April ini tak peduli, atau mungkin tidak tahu, sampai diingatkan wasit.
Greysia dan Apriani merebut gelar pertama di tur perdana mereka/
badmintonthaitoday.com
 
Meski berpostur pendek dan gempal, Apri memiliki kelenturan yang baik. Agresivitas dan daya jelajahnya cukup baik sehingga bisa mengamankan area pertahanan. Selain itu, tidak diragukan lagi ia memiliki skill yang bagus.

Grace menunjukkan betapa pentingnya pemain senior di lapangan. Ia menjadi stimulus untuk “mengangkat” performa para junior.  Kerendahan hati Grace pun patut diacungi jempol. Sebagai pemain paling senior di Pelatnas PBSI, Grace masih mau merendah untuk membimbing adik-adiknya.

Setelah tandem sepadan, Nitya Krishinda Maheswari harus menepi karena cedera, Grace memikul tanggung jawab untuk memacu prestasi para penerus. Berpasangan dengan Apri, harapan baru itu muncul. Prestasi Grace kali ini membawa kita ke tahun 2013 lalu. Di turnamen yang sama pemain 29 tahun ini berhasil naik podium tertinggi di turnamen pertama setelah berpasangan kembali dengan Nitya, yang sempat bersamanya sejak 2009 hingga 2010.

Menanjak

Performa Berry/Hardi pun tak kalah ciamik, bahkan sedikit lebih mentereng. Kemenangan atas pasangan Jerman menambah lagi koleksi gelar mereka di tahun ini. Pasangan yang kini berada di rangking 31 dunia juga sukses meraih gelar di tur perdana di turnamen level serupa, Malaysia Masters.

Sepanjang  turnamen yang diikuti di tahun ini Berry/Hardi hampir selalu lolos dari babak pertama, bahkan nyaris menjadi langganan perempat final. Kecuali tersisih di babak pertama India Super Series, Berry/Hardi berhasil membuat kejutan seperti lolos ke semi final India Grand Prix Gold, semi final Thailand Masters, semi final Singapore Super Series dan China Grand Prix Gold.

Hasil yang ditunjukkan Berry/Hardi membawa angin segar bagi sektor ganda putra. Secara khusus bagi karier keduanya. Dengan Hardi, performa Berry terus menanjak. Fluktuasi prestasi Berry/Hardi jauh lebih terkendali ketimbang saat Berry masih berpasangan dengan Rian Agung Saputro. Baru menjalani tujuh turnamen, Berry/Hardi kian merangsek di tabel rangking BWF. Pekan depan, keduanya akan berada di peringkat 25 dunia.

Meski begitu Berry dan Rian, yang kini telah berpasangan dengan pasangan senior Mohammad Ahsan, lebih dulu menulis sejarah juara di turnaen ini. Tahun lalu keduanya menjaga muka Indonesia di turnamen ini dengan membawa satu-satunya gelar ke tanah air.

Antiklimaks

Indonesia sejatinya bisa menambah gelar melalui nomor tunggal putra. Sayang Jonatan Christie gagal mencapai klimaks. Menghadapi wakil semata wayang India, Sai Praneeth, Jojo, begitu Jonatan disapa, menyerah setelah bertarung rubber set, 17-21 21-18 21-19.

Performa Jonatan di pertandingan ini tidak terlalu mengecewakan. Namun pemain 19 tahun ini kurang berhati-hati dai game penentuan. Meski begitu hasil ini tidak buru bagi pemain rangking 27 dunia yang kerap terhenti di babak perempat final.

Sementara bagi Praneeth kemenangan ini melanjutkan tren positifnya di tahun ini. Pemain berperingkat  24 dunia sudah menabung satu gelar super series yang direbut di Singapura. Hasil ini mengisyaratkan agar para pemain tunggal putra Indonesia semakin mewaspadai kebangkitan para pemain India sebagaimana terlihat di Piala Sudirman beberapa waktu lalu.

Jojo harus puas sebagai runner up/@toysport


Seperti tunggal putri, di tunggal putra para pemain Indonesia ketiadaan panutan. Para pemain harus berjuang sendiri dengan bertumpu pada kekuatan sendiri.  Tiadanya trendsetter yang bisa dijadika rujukan dan tempat bersandar untuk menimba kekuatan menuntut kerja ekstra dari para pemain muda untuk mencetak prestasi.

Setelah ini para pemain akan kembali dan bersiap menghadapi turnamen akbar di tanah air, super series premier Indonesia Open. Jojo akan kembali bertemu pemain India dengan peringkat tertinggi, Ajay Jayaram di babak pertama. Andai saja mampu melewati rintangan pertama itu, pemain kelahiran Jakarta ini akan menghadapi jagoan China, Chen Long.

Kita boleh saja kecewa gagal memanfaatkan semua peluang di Thailand. Namun hasil ini jauh lebih baik dari dua tahun lalu yang meloloskan tiga wakil namun hanya membawa pulang satu trofi melalui Ade Yusuf/Wahyu Nayaka. 

Hasil ini lebih dari cukup mengulangi catatan terbaik di tahun 2013, saat Greysia/Nitya dan Markis Kido/Pia Zebadiah menjadi juara, sehingga mengukuhkan Indonesia sebagai juara umum. Terlepas dari segala kekurangan, performa yang telah ditunjukkan para pemain menyemburkan secercah harapan bagi masa depan bulu tangkis Indonesia yang sedang dalam tantangan serius.



Selamat kepada para pemenang!

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing