SEBUAH KETUKAN PADA TENGAH MALAM
(Cerpen Gusty Fahik)
Satu dua kata mulai luruh di atas buku harian
lusuh. Malam belum lagi larut, tetapi hati telah cukup kalut. Senja tadi kota
kecilku diselimuti kabut, digempur gerimis dan dilengkungi pelangi. Lampu kamar
kubiarkan terus menyala walau mata seakan meredup, ditampar gelisah dan
kerinduan. Selembar potret perempuan itu masih terus tergantung dan tersenyum
mengejek. Limapuluh pekan, dua hari dan delapan jam, itulah rentang waktu yang
telah memisahkan kami. Kutahu waktu pun bisa membuat jarak yang tak
terseberangi, sebab ia tak terjembatani.
Namun malam ini semuanya terasa lain. Ada sekeping optimisme timbul dalam
hatiku, membuat api harapanku kembali
bernyala, setelah sebuah periode kesendirian dan pengosongan dari kenangan.
Adalah pelangi, adalah angin, adalah gerimis yang
membawa perempuan itu kembali ke pelupuk kenangan dan ingatan yang kian
usang. Selepas senja aku merasa sesuatau
akan terjadi, dan itu berhubungan dengan perempuan itu. Apakah ia akan mengirim
satu dua pesan singkat lewat SMS kepadaku? Mungkin pula esok pagi seorang
tukang pos akan datang dengan tergopoh dan memberiku sepucuk surat tak
beralamat, hanya bertuliskan nama perempuan itu. Bisa jadi juga seseorang
mengetuk pintuku malam ini dan setelah kubuka ternyata perempuan itu sedang
berdiri menahan gigil dingin yang menusuk sendi. Aku mencoba mereka-reka,
memikirkan kemungkinan-kemungkinan kejadian yang berhubungan dengan perempuan
itu. Jangan sampai pula namanya akan disebut dalam berita tentang orang hilang,
atau potret sesosok jenazah tak bertuan yang setelah kuamati ternyata wajahnya,
wajah perempuanku.....sebuah wajah tak bertuan.
Kuputuskan mengakhiri menulis buku harian dan
beralih memasang telinga melawan gemuruh
hujan. Jangan-jangan ia telah mengetuk pintuku sedari tadi, tapi telah pergi
lagi ketika ternyata aku tak juga membukakan pintu baginya. Ah....betapa
menyesalnya aku bila itu benar-benar telah terjadi. Kuperhatikan detik-detik
bergulir perlahan membawa batang-batang waktu menunjuk angka-angka dalam kotak
berkaca. Pukul 22.00.
Setengah jam sebelum tengah malam, hujan telah susut, hanya butiran air yang
tersisa pada dahan dan daun jatuh satu-satu, terpukul angin. Kudengar
ketukan-ketukan perlahan menghantam pada pintu rumah mungilku. Kubiarkan
ketukan itu berulang sekali, dua kali, tiga kali, sambil mendalami pergolakan
dalam bathinku, antara beranjak membukakan pintu atau membiarkan ketukan itu
berlalu bersama angin dan dingin malam. Siapakah manusia yang mengetuk pintu
pada malam begini buta di sela desah angin? Siapa tahu itu bukan manusia tetapi
makhluk-makhluk yang berkeliaran di alam lain yang kebetulan tersesat dan kalut
lalu ingin menggangguku. Kalaupun itu manusia aku tak bisa memastikan apakah
dia orang baik-baik atau seorang yang datang dengan sejumlah maksud
tersembunyi, orang yang hatinya penuh kebusukan dan kepalanya merancangkan
berbagai-bagai kejahatan. Ini kan
rumahku maka aku berhak mencurigai siapapun yang mengetuk di malam hari, ketika
gelap tak tersentuh cahaya.
Bayangan atau mungkin khayalan bahwa yang mengetuk
itu adalah perempuanku, memberanikanku mengayunkan langkah ke arah pintu. Aku
tak lagi takut sebab yang ada dalam hatiku adalah rasa kasihan berbalut gembira
bahwa perempuanku tersesat di tengah malam berhujan lalu mengayuh langkah ke
rumahku dan meminta aku menerimanya kembali, seperti dahulu. Kurasakan degup
jantungku berdetak lebih kencang, memompa darah ke seluruh tubuhku ketika aku
meraih gagang pintu. Perempuanku akhirnya datang juga bersama
kerinduan-kerinduannya, kenangan-kenangan kami dan semua mimpi indah masa
lampau. Ah....
Pintu terbuka, yang kusaksikan hanya gelap, sebab
lampu depan rumah telah berhari-hari tidak lagi berfungsi normal. Kepak sayap
kelelawar terdengar lalu dalam samar, mengarungi kebutaan malam. Kuakrabkan
mataku dengan kegelapan itu, sampai sebuah suara kecil menyapaku dengan amat lembut,
membuatku tersentak seolah berhenti aliran darahku. Seorang gadis kecil berdiri
di hadapanku dengan tinggi badan tak sampai ke pinggangku.
“Ada apa gadis kecil, mengapa malam-malam begini
berjalan sendirian?” tanyaku sekenanya. Aku mencoba menenangkan diri, menarik
napas panjang dan melepasnya perlahan.
“Om tidak mau membawaku masuk?” ia bertanya dengan
polos.
“Baiklah, kamu boleh masuk ke rumah Om.....”
Antara kecewa dan curiga kusuruh ia duduk. Ia
bukan perempuanku, ia hanya seorang gadis kecil yang kelihatan ramah, dengan
sweater kuning dari bahan halus. Ia mengikuti ajakanku, duduk di dengan amat
sopan sambil menunduk, menghindari
tatapanku.
“Om akan membuatkan kamu segelas teh hangat dan
menghangatkan sayur untuk kamu makan. Kamu kelihatan lapar ya....”
Ia mengangguk perlahan.
Kubakar sebatang rokok sambil menunggui ia
menghabiskan makanannya. Kepalaku kini berputar-putar oleh kehadiran begitu
banyak pertanyaan mengenai sosok kecil
ini. Mengapa ia bisa sampai ke sini? Bagaimana bila esok orangtuanya
mencari-cari lalu melaporkan kepada polisi tentang kehilangan seorang anak
kecil lalu polisi mencari dan menemukannya di rumahku dan aku dituduh menculik
anak-anak. Kemudian aku akan diadili dengan tuduhan bahwa aku adalah bagian
dari mafia perdagangan anak-anak yang sekarang sedang ramai diberitakan di
televisi. Ah.....mengapa aku harus menerima anak pembawa musibah ini? Aku ingin
menikmati hidupku dengan tenang.
Ia menyelesaikan makannya dan memperhatikanku membereskan peralatan
kotor itu.
“Foto di atas itu isteri Om ya....” ia bertanya
menunjuk pada fotoperempuanku.
“Bukan, itu foto teman Om. Teman sekolah dulu....”
“Aku kenal sama wajahnya....” ia berkata lagi.
Kali ini aku menjadi lebih tertarikl mendengarkan si kecil ini.
“O ya. Tapi siapa nama kamu? Om dari tadi belum
tahu”
“Nama saya
Rina. Teman Om itu orangnya baik seperti
Om. Tadi ia menurunkan Rina di depan rumah Om dan menyuruh Rina masuk ke
rumah Om.”
Apa-apaan ini?
Rupanya perempuan itulah yang
menyuruh gadis kecil ini ke sini.
“Terus ke mana perginya teman Om itu?”
“Tadi sore Rina jalan-jalan sama mama. Waktu hujan
kami berteduh di depan toko orang China. Lalu
Rina masuk ke dalam toko untuk melihat-lihat. Tiba-tiba seorang lelaki
memberikan Rina sebuah boneka dan mengajak Rina ke mobilnya untuk mengambil
mainan lain. Sampai di mobil Rina langsung dimasukkan ke dalam dan pintu mobil
ditutup lalu mobil berjalan kencang sekali. Rina berteriak tetapi mama tidak
mendengar sebab hujannya lebat sekali.”
“Rina ketemu
teman Om itu dimana?”
“Orang-orang itu membiarkan Rina terkunci dalam
mobil lalu mereka turun dan pergi makan di sebuah warung. Lama sekali mereka
makan. Lalu mereka kembali dan melarikan mobilnya ke arah sini. Sampai di depan
rumah Om mobil berhenti dan mereka turun untuk buang air. Ketika itu teman Om
datang dan menurunkan Rina. Ia menghantar Rina ke depan pintu Om dan mengetuk
pintu. Orang-orang jahat itu mencari-cari Rina tetapi mereka tidak melihat
sebab lampu depan rumah Om padam dan teman Om berdiri melindungi Rina.”
“Kenapa teman Om itu tidak masuk bersama Rina?”
“Ia meninggalkan Rina ketika mendengar langkah
kaki Om mendekat ke pintu. Katanya Rina harus masuk ke rumah Om, dan ia pergi
begitu saja”
Aku memikirkan cerita itu sambil menatap
bayang-bayang yang kuabadikan dengan kameraku, yang kini tergantung pada
dinding rumah. Si Rina telah kubiarkan tidur di dalam kamarku sementara aku
menghabiskan malam di atas sofa dengan aneka pikiran tentang perempuanku yang
tidak mau masuk ke rumahku. Rupanya ia menyelamatkan si Rina dari kawanan
penculik. Huh, bila kami jadi menikah tentulah ia akan menjadi seorang ibu yang
penuh kasih dan perhatian atas anak-anak kami.
Namun hampir setahun ini kami berpisah dan itu membuat beban dalam
kepalaku kian berat saja rasanya. Aku seperti tidak bisa tidur lagi
menghabiskan sisa malam yang telah retak oleh kokok ayam.
Hari masih pagi ketika gadis kecil itu bangun dan
membangunkanku yang tergolek lemas di atas sofa. Ia mengeluarkan secarik kertas
dari saku sweaternya. Kertas itu berisi beberapa angka yang tidak lain adalah
nomor telepon rumahnya. Kutelepon ke rumahnya dan tidak sampai setengah jam
ayah ibunya telah bertamu ke rumahku, mengucapkan terima kasih atas bantuanku
dan mengundangku ke rumah mereka bila aku tidak berkeberatan. Mereka menawarkan
imbalan tetapi kutolak dengan berbagai cara. Aku hanya berjanji akan berkunjung
ke rumah mereka pada hari liburan kerjaku. Rina mengecup kedua belah pipiku dan
melambaikan tangan ke arahku sambil tersenyum ketika mereka pergi.
Setelah mobil mereka menghilang baru kusadari
bahwa ayahnya melupakan surat kabar pagi
yang tadi dibawanya masuk ke rumah mungilku. Ketika kucoba membacanya kutemui
berita tertangkapnya dua orang anggota sindikat penjualan anak-anak ketika mobil
mereka terjaring operasi di pos perbatasan antarkabupaten. Mereka tertangkap
dalam keadaan mabuk, dan ketika diinterogasi polisi menemukan kecocokan wajah
mereka dengan wajah anggota sindikat mafia perdagangan anak yang selama ini
masuk dalam daftar buruan polisi.
Di halaman terakhir kulihat potret sesosok wajah
yang sama persis dengan yang tergantung di dinding rumahku. Di bawahnya kubaca
dengan mata mengabur oleh air mata
sendiri berita pengumuman pemakaman perempuan itu, yang telah meninggal dua hari
lalu akibat leukimia. Penyakit jahanam inilah yang membuat kami berpisah sebab
ia bilang tak ingin merepotkanku dan membuatku sedih dengan keadaaannya yang
kian memburuk. Kucoba bertahan menghadapi sikapnya, tetapi ia adalah batu
karang yang sulit dihancurkan. Kini ia telah menyerah.
Semalam ia
datang mengucapkan selamat tinggal kepadaku.
Hatiku kalut oleh kesedihan, tetapi telah kuputuskan untuk menghadiri
pemakamannya. Aku mungkin akan pergi sendiri, atau mengajak serta si gadis
kecil, aku belum tahu pasti. Aku hanya ingin mengucapkan selamat jalan kepada
perempuanku, yang namanya sama dengan
nama si gadis kecil yang ditolongnya, Rina.........
*Pernah dimuat di Pos Kupang, Minggu 28 Desember 2008
Comments
Post a Comment