CERITA DI KAMAR PASTOR

(Cerpen Atel Lewokeda)

“Tak ada yang pernah tahu kapan kami pertama kali bertemu. Tak seorang pun tahu kapan kami mulai ada rasa. Satu yang kutahu waktu itu, tiap kali saling berpapasan di jalan-jalan sekeliling asrama, kami ingin saling memandang untuk sedikit lebih lama lagi sebelum lonceng-lonceng berdentang memanggil kami untuk kembali. Perbedaan tempat tinggal ternyata selalu menjadi penghalang untuk bisa bertemu kapan saja. Sementara itu rasa diri sebagai orang desa yang beranjak dewasa semakin menegaskan pernyataan diri bahwa saya hanya orang kampung yang coba mengaduh nasib di lembah yang dingin itu.”
Cerita baru dimulai, sang pastor perlahan membenarkan posisi duduknya agar bisa mendengar dengan lebih jernih dan cermat pengalaman yang dialami oleh anggota binaannya. Kami akhirnya saling kenal. Perkenalan kami sedikit lebih jauh dan tidak hanya sebatas nama dan alamat saja, juga tidak hanya asal dan cita-cita. Ada rasa mulai tumbuh di antara kami. Rasa itu mengalir dan terus bertumbuh untuk saling menjadikan satu sama lain sebagai orang-orang yang sangat istimewah. Dalam perasaan ini kami coba untuk jalani bersama walau kami tahu jalur yang kami lewati berbeda dan hampir tidak pasti untuk bertemu. Sekali lagi jarak dan waktu selalu mengalahkan keinginan dan niat kami untuk bertemu lebih lama lagi. Sang pastor mulai membakar rokok untuk ketiga kalinya. Diisapnya dalam-dalam dan mempersilahkan saya melanjutkan kisah hidup tadi. Sebelum aku meninggalkan lembah pendidikan menengah atas, dia lebih dulu dua tahun meninggalkan lembah yang sama. Sang pastor dengan nada kelakar berujar, “citlok terjadi ya? Orang bisa jatuh hati kalau  sering ketemu.” Aku dengan sedikit malu hanya mengganguk untuk membenarkan komentar sang pastor.
Dua tahun berlalu hampir tak ada cerita. Dan kisah baru dimulai lagi dalam sebuah pekan di tahun terakhirku. Aku hampir tidak percaya kalau niatnya untuk berlibur kembali selama pekan suci benar-benar dilaksanakan. Saat itulah aku menjadi yakin bahwa aku sendiri mulai merasakan bagaimana rasanya jatuh dalam cinta. Saat itulah aku pertama mulai memandang mata seorang dara dengan jarak yang sangat tipis. Sejak saat itu juga saya mulai sulit untuk tidur lebih nyenyak seperti malam-malam sebelumnya. Sejak saat itu, aku mulai berani bermimpi untuk memeluknya ketika malam tiba dan mendekapnya untuk sebuah kehangatan. Berulang kali kami saling memandang dan aku sendiri tak bisa pastikan berapa banyak dia memberikan senyum untukku.
Malam itu tepat hari ulang tahunku yang ke dua puluh empat. Langit masih dengan tenang menebar cahaya dari kedipan bintang-bintang. Bulan sudah sedikit jauh pergi saat aku coba membaca lagi tulisan mininya.  Sementara cakrawala masih berparodi dari satu sketsa ke sketsa yang lain. Semakin jauh menelusuri tiap goresan tangannya, rasa tidak percaya semakin memberontak dalam tubuhku. Seluruh tubuh tiba-tiba menjadi dingin dan butiran–butiran bening mulai jatuh satu per satu melewati garis wajahku. Tepat tengah malam sebelum hari berarak pergi dan segera akan berganti hari baru aku memberanikan diri menulis pada sebuah lembar putih yang kupungut dari laci mejaku.
Dia pergi begitu saja tanpa sedikit pun ada pesan. Aku tidak tahu entah kenapa, dua minggu lebih, sedikit pun kabar tidak terdengar. Aku juga tidak tahu entah kenapa kesetiaanku selama delapan tahun berpanenkan kekecewaan. Tadinya aku tidak menyangkah, tapi aku akhirnya juga menjadi tahu bahwa seorang hawa juga bisa tidak setia dan sanggup menyakiti seorang adam. Tapi aku sadar dan selalu tahu diri, mungkin ini adalah nasib saya sebagai orang yang tidak layak untuk dicintai. Selamat untukmu yang pernah menjadi istimewah di singgah sana hatiku, dan semoga bahagia selalu. Satu hal yang aku minta, jangan paksa aku untuk melupakan dirimu. Salam dan doaku untukmu. Aku menutup tulisan itu dengan menyebut namanya dalam hatiku.
Tak terasa senja mulai pergi dan malam datang menyeka tepian langit yang masih memberi setetes harapan untuk terus maju dan menjadi diri sendiri. Sang pastor masih tenang mendengarkan pengalamanku hingga kami lewatkan kesempatan doa bersama dengan anggota binaan yang lainnya.
“Kadang aku berpikir dirinya adalah orang yang terakhir untukku, yang tak akan pergi meninggalkan aku lagi. Mungkin aku terlalu cepat percaya diri. Tapi harus aku akui dia orang pertama yang mengajari aku tentang cinta. Dia orang pertama yang memberi jawaban bagaimana mencintai seseorang. Sekalipun ia pernah menulis untuk saya bahwa ia akan bahagia melihat saya pergi membawa cintanya; tapi kini ternyata aku menjadi tidak pantas membawa cintanya pergi karena kutahu dirinya bukan lagi milikku. Dia punya pilihan bebas dan mungkin saja sudah menemukan yang terbaik bagi dirinya. Aku harus dewasa menghargai itu karena aku juga mencintainya. Dalam kaca wajah yang seperti ini, aku harus turut berbahagia dengan pilihan dan keputusannya meskipun pilihannya meninggalkan luka tersendiri untukku.” Sang pastor menatap dalam ke arah mataku dengan penuh perhatian yang anggun berkata; “Luka memang membuat kita sakit, tapi kita harus berjalan terus. Berjalan dari satu kehidupan menuju kehidupan yang lainnya, meskipun langkah kita tidak sekuat seperti sebelum kita terluka.” Kata-kata sang pastor membuat aku berpikir panjang sambil terus bertanya; Apakah keputusanku dulu menyakiti dan membuatnya kecewa?  
“Kami pernah saling mengunjungi ketika musim liburan tiba; bahkan dia lebih sering mengunjungi aku. Bukan aku tidak ingin mengunjunginya lebih lama tapi karena selalu saja keterbatasan waktu yang harus membuat saya lebih dulu minta pamit. Dan sebagai orang-orang punya rasa yang sama, selalu saja ada air mata darinya yang menitip pesan bahwa kami selalu saling merindukan. Aku masih ingat ketika kunjungannya yang terakhir sekaligus sebagai pamitan untuk tidak datang lagi dalam waktu yang cukup lama. Ternyata pamitannya adalah pamitan untuk meninggalkan aku yang telah coba bersabar hingga tahun ke delapan.“ Pastor pendampingku masih tenang dan setia mendengar cerita hatiku, sambil memberi komentar; “Delapan tahun bukan waktu yang singkat”. Kadang aku menjadi orang yang tak punya tumpuan ketika terlalu memikirkan keputusannya untuk pergi. Bukannya aku tidak mau atau melarangnya; karena aku tahu terlalu egois kalau aku sampai melarangnya, hanya aku masih tidak percaya tanpa sepatah kata pun yang ditinggalkan. Terus terang, rasanya sia-sia menahan diri dan dengan sekuat tenaga coba untuk setia. Namun aku belajar banyak dan menjadi tahu betapa menyenangkan membangun rasa cinta di atas kesetiaan, mempertahankannya dengan saling percaya dan memeliharanya dengan saling terbuka.
Sang pastor memegang bahuku dan mulai berbicara dengan lebih santai. Untuk orang yang saling mencintai jarak selalu menjadi tantangan yang sulit diatasi. Kamu bisa saja dengar suaranya setiap hari. Mungkin saja kamu selalu memandang fotonya setiap saat. Tapi kamu harus tahu; kedalaman arti dari memandang fotonya dan mendengar suaranya tidak sebanding dengan sentuhan yang datang dari pancaran kedua bola matanya saat memandangmu. Demikian juga dia pasti akan merasakan hal yang sama ketika kamu memandangnya; apa lagi jarak pandang kalian menjadi sangat tipis. Begitu kuatnya rasa yang kalian miliki kadang-kadang bisa terjadi pada saat yang sama kalian sangat merindukan. Merindungan kesempatan dimana kalian pernah ada; mungkin di pantai, di pelabuhan, di sebuah warung makan atau waktu menghadiri sebuah pesta dan…, sambil mengangguk pelan pastor melanjutkan, mungkin juga dalam sebuah perjalanan baik dengan sepeda motor atau dengan bus.
Begitu kuatnya perasaan kalian bisa juga membuat kamu seperti orang yang sudah mulai gila; senyum sendiri, tertawa sendiri atau bahkan tidur sambil membanting-banting badan. Sambil mendengarkan petuah dari pastor, dalam hati kecilku aku berujar benar juga apa yang disampaikannya. Ternyata beliau juga mungkin punya banyak pengalaman yang sama dengan apa yang aku alami. Sambil merapikan buku-buku di atas mejanya sang pastor melanjutkan. Sebagai manusia biasa yang memiliki banyak kelemahan dan kekurangan kita tidak bisa bersembunyi dari perasaan kita sendiri. Adalah kurang bijak kalau kita menipu diri dan perasaan kita sendiri ketika kita tertarik dan mungkin saja punya perasaan istimewah dengan orang lain, ya katakan saja kita jatuh cinta kepadanya. Justru kalau kita tidak jujur dengan diri sendiri, kita akan sangat tersiksa dan menyengsarakan diri sendiri dengan perasaan yang terpendam. Kamu harus bersyukur bahwa kamu pernah punya perasaan seperti itu kepada seorang gadis. Ada orang yang sama sekali tidak punya perasaan seperti itu. Dan kamu harus melihat pengalaman delapan tahun bersama dia adalah sebuah anugerah terindah yang Tuhan berikan untuk kalian. Saya percaya sempat putus asa adalah hal wajar; tapi sampai bertindak yang mencelakakan diri sendiri bukanlah sebuah bukti pertanggungjawaban terhadap diri sendiri. Karena mencelakakan diri sendiri bukan jalan terbaik. Aku bangga dengan kamu yang mampu membuat keputusan pribadi dengan bebas. Harus kamu ingat dalam setiap kesempatan, kamu tidak bisa jalani sebuah kehidupan hanya untuk memenuhi harapan orang banyak atau hanya untuk menyenangkan orang lain. Masih ingatkah film 3 idiots yang kita nonton bersama seminggu yang lalu? Sang pastor mengambil jedah sedikit lalu melanjutkan lagi; kamu tidak bisa jalani kehidupan dengan alasan agar orang lain merasa bangga terhadapmu. Yang menjalani keputusanmu adalah dirimu sendiri, sehingga kamu tidak akan bahagia kalau keputusanmu berdiri di atas dasar agar orang lain senang, bahagai dan bangga. Jikalau kamu memaksakan diri sendiri maka yang terjadi adalah kehidupanmu merupakan perjalanan untuk menyiksa diri sendiri dan bukannya mendatangkan kebahagian. Aku akan selalu berdoa untukmu. Aku doakan semoga keputusanmu senantiasa membahagiakanmu dalam setiap tugas, karya dan pelayanan di mana pun kamu akan berada.
Aku baru keluar dari ruangan pastor setengah baya itu ketika lonceng ruangan memanggil penghuni asrama lainnya untuk acara santap malam bersama. Aku putuskan untuk menyendiri dalam kamar sambil membongkar kembali lembaran-lembaran bergambar yang dititipkan Monike kepadaku waktu masih bersama dulu. Tiap lembaran bergambar mengingatkan aku akan kesempatan bersama. Ada canda di pantai Wato Tena yang berpasir putih.  Ada wajah kedinginan di lembah berhutan kopi. Ada suasana makan malam di dermaga Lorens Say. Ada lambaian tangan di dermaga bolok Kupang. Ada senyum di emperan asrama. Hingga di akhir halaman ada wajah polos Monike waktu masih kecil. Aku hanya sanggup memandang dan berkata dalam hati sendirian. Aku harus iklas menerima keputusannya. Aku harus dewasa dan menghargai pilihannya sendiri. Aku harus memberi kebebasan kepadanya untuk berjalan dengan keputusannya sendiri. Aku tidak bisa memaksanya untuk berjalan pada dua jalur sekaligus dalam waktu yang sama.
Aku masih sabar memandang satu persatu foto-fotonya. Pada lembaran yang mulai terlipat aku coba untuk memperbaikinya sedapat mungkin. Tepat di halaman-halaman yang mulai berdebu aku dengan tenang membersikannya sehingga kelihatan seperti baru kembali. Ada beberapa lembar yang sudah terlepas dari albumnya. Setelah menutup lembaran-lembaran wajah gadis pertamaku itu aku berujar pelan, “Aku memang bukan lagi wajah yang kamu butuhkan Monike, tetapi saat kamu membutuhkannya, aku akan selalu hadir dalam pikiranmu dan senantiasa ada dalam hatimu”.

Kututup hari ini dengan ucapan syukur atas mutiara-mutiara kebijaksanaan yang dianugerahkan lewat perkataan sang pastor. Tak henti-hentinya aku mengucapkan terima kasih untuk cahaya baru yang aku terima dalam kamar pastorku yang bijaksana. Malam ini aku ingin tidur dengan lebih nyenyak sambil mengenakan baju hadiah ulang tahun yang diberikan Monike tujuh tahun yang silam.******

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing