P. Kalixtus Suban Hadjon, SVD dan Coklat Silverqueen

*P. Christoforus Abhayandi Sans, SVD

Namanya Kalixtus Suban Hadjon. Pada masa kecilnya ia biasa disapa No Itu (ini kami dengar dari P. Frans Pora, SVD yang biasa memanggilnya demikian).

Periode 2005-2007, saya masuk dan menjadi calon SVD sebagai novis di Novisiat Sang Sabda Kuwu (NSSK). Bersama 60-an teman lainnya kami diterima sebagai novis angkatan ke-13 dalam sebuah perayaan ekaristi meriah penerimaan jubah kebiaraan, 25 Agustus 2005.

Salah seorang yang turut menjadi konselebran dalam perayaan itu adalah P. Kalix Suban Hadjon, SVD. Perawakannya cukup tinggi, berambut putih hampir seluruhnya, dan selalu menebarkan senyum. Kala tahun ajaran atau perkuliah dimulai, P. Kalix mengampu mata kuliah spiritualitas SVD. Ia selalu menyisipkan diskusi-diskusi menarik seputar SVD dan perkembangannya, juga tentang kaul-kaul.

Waktu berlalu begitu cepat. Angkatan kami yang menyisahkan 30-an orang diperkenankan mengikrarkan kaul pertama. Kami dianggap telah menjadi anggota resmi SVD. Hari istimewa itu jatuh pada 15 Agustus 2007.

Setelah itu, kami hijrah ke Ledalero, Maumere. Kami melanjutkan ziarah spiritual dan akademik di Bukit Sandar Matahari. Kenangan akan NSSK tak bisa lenyap begitu saja. Banyak hal tetap tersimpan dalam memori kami, terutama hal-hal gila yang pernah kami lakukan di Kuwu.

Ada banyak cerita yang menjadi kenangan bersama. Selalu kami putar kembali dengan kadar reaksi yang tak pernah berkurang. Suatu ketika saat “Tablo” (acara visualisasi atau teatrikal penyaliban Yesus Kristus), seorang teman kami, Rofinus Mambo (berperan sebagai serdadu) secara spontan berteriak agar Yesus (diperankan oleh P. Atel Lewokeda, SVD) dibuang ke kali di sisi timur Lopo Areopagus, alih-alih segera disalibkan.

Ada juga kenangan tentang salah seorang teman kami yang bergerak cepat bersembunyi di bawah kolong tempat tidur saat tengah menggelar “pesta” mie, sebagai reaksi penyelamatan diri saat Magister mengetuk salah satu pintu kamar.

Selain itu, ada juga kisah yang aksinya masih terpelihara hingga sekarang. Kami menyebutnya “joak” (baca: tipuan) spiritual saat masa AJS (Arnold Janssen Spirituality).

Tentang ini, ada teman yang pernah berbagi pengalaman spiritual dengan P. Kalix yang menjadi pendampingnya. Usai berkontemplasi ia begitu berapi-api berbagi pengalaman “ekstase” dengan sang pendamping.

Namun, reaksi apa yang ia peroleh? P. Kalix mengatakan bahwa kontemplasinya itu belum mendalam. Maksudnya, ia belum sampai pada tahap perjumpaan spiritual dengan Tuhan berbasiskan teks Kitab Suci.

Tanggapan P.Kalix itu sungguh diluar dugaan. Ia cukup kecewa. Ia merasa perjuangannya berkontemplasi dan sharing tak mendapat sambutan yang diharapkan.

Ia pun tak habis akal. Demi mendapat pengakuan dari P.Kalix, ia pun coba merangkai cerita menjadi lebih mengena. Imajinasi yang sesungguhnya dibuat-buat agar mendapat kesan positif.

“Nah, itu. Kau sudah masuk dalam kontemplasi itu.” Begitu respon P.Kalix. Ia pun semringah.

Cerit-cerita demikian masih sering kami putar kembali. Terkadang menjadi bumbu kelakar di ruang WhatsApp group kami hingga saat ini.

Kesetiaan

Pada 1 Februari 2016 saya berangkat menuju Ruteng sebagai seorang imam baru yang mendapat perutusan untuk berkarya di Provinsi SVD Ruteng. Tak lama berselang, 3 Februari 2016, dengan diantar oleh P. Provinsial (P. Yosef Masan Toron, SVD) dan Br. Alo Lanang, SVD, kami menuju ke NSSK, tempat tugas pertamaku sebagai imam baru. Saya menjadi pendamping (Socius) bagi para frater novis.

Di depan pendopo utama, kami menyebutnya pendopo agung, saya diterima oleh Magister dan para frater novis dengan upacara adat Manggarai yang disebut Kepok. P. Yan Djuang, SVD dan P. Kalix, SVD menyambut dan menyalamiku. P.Kalixtus Suban Hadjon tampil dengan senyumnya yang khas, hangat dan menyejukkan.

Beberapa tahun sebelum itu, kami pernah hidup bersama sebagai formator dan formandi, maka saat itu saya menjadi rekan formator di salah satu rumah formasi dasar SVD itu.

Selama kurang lebih lima tahun hidup bersama P. Kalix, ada banyak hal yang saya pelajari dan peroleh dari beliau. Dua di antaranya adalah tentang KESETIAAN dan REMI.

Tentang KESETIAAN. Kesetiaan seorang Kalix Suban Hadjon, baik sebagai pribadi maupun imam, tercermin dalam keseharian hidupnya di Novisiat. Mulai dari pagi hingga malam hari.

Sakit jantung yang ia derita sejak menjadi imam muda mengharuskannya untuk setia dan tertib dalam menjalani hidup. Setiap hari ritmenya sama, mulai dari bangun pagi pukul 05.30 WITA dan istirahat malam pada pukul 21.00 WITA. Selalu sama dan tepat.

Tak heran ia beroleh umur panjang hingga sebelum maut merenggutnya di usia 84 tahun. Ia selalu mengawali harinya dengan ekaristi pribadi yang dilakukan di kapela kecil dekat kamarnya. Setiap perayaan ekaristi yang ia persembahkan selalu ia catat pada sebuah buku. Saya masih ingat pada perayaan panca windu imamatnya, 2006 silam. Ia bercerita kepada kami bahwa semua intensi dan “kurban” misa yang ia persembahkan sejak ia ditahbiskan itu sudah mencapai 6000-an.

Sebelum saya berangkat ke Jakarta dan selanjutnya ke Roma, ia sempat menunjukkan kepada saya jumlah perayaan ekaristi yang sudah ia persembahkan. Lebih dari 12.000 kali.

Meski sering sakit dan bolak-balik Jakarta-Ruteng, beliau tidak pernah lupa akan tugasnya menjadi bapak rohani dan pengakuan bagi para novis dan para suster dari komunitas sekitar Novisiat.

Ia juga tidak akan lupa tanggung jawabnya sebagai seorang guru, dosen di Novisiat. Baginya itu merupakan panggilan yang menyenangkan.

Pernah sekali waktu beliau mengeluh kepada saya dan juga di hadapan komunitas karena tidak lagi diberi jam untuk mengajar. Rektor dan magister menjawab bahwa kesempatan itu ada hanya sering bertepatan dengan waktu ketika ia pergi melakukan general check-up.

Sungguh disayangkan, dua tahun terakhir, beliau tidak bisa lagi melakukan general check-up di Jakarta seperti tahun-tahun sebelumnya. Opa Kalix, begitu kami menyapanya, juga tidak bisa lagi makan bersama para “profes” (formator/pembina). Sebab, setiap kali mencoba berjalan beberapa langkah, opa sering mengalami pusing. Oleh karena itu, beliau sendiri memutuskan agar ia makan di ruang minum "profes" yang letaknya terpisah dari kamar makan.

Seiring perjalanan waktu dan kondisi kesehatannya semakin memburuk, ia hanya menghabiskan waktu di kamar. Makanan pun harus diantar ke kamarnya oleh adik-adik karyawati dan para frater yang selalu setia melayaninya.

Selama masih di Novisiat, saya kerap berkunjung dan bercerita dengannya, menyampaikan informasi penting berkaitan dengan komunitas yang perlu ia ketahui pula, juga membantu rektor dan suster yang menangani dapur komunitas, dalam kaitan dengan makanan beliau.

Kami harus lebih banyak memaklumi beliau. Di usia yang sudah semakin sepuh, tanpa sadar, ia berperilaku dan berpikir seperti masa-masa awal kehidupan seorang anak manusia.

Beberapa kali saya mendapat laporan dari karyawati bahwa Opa Kalix rewel soal makanan. Walau sudah diberi makan, kadang kala beliau mengeluh belum diberi makan. Kadang ia minta buburnya diblender lagi, padahal sudah cukup halus. Terkadang ia menuntut agar sayur, bubur, dan lauk mesti diblender sekali lagi.

Pada kesempatan lain, ia justru mengeluh bahwa buburnya terlalu lembek seperti air. Masih banyak keluhan lainnya.

“Yang kita layani ini adalah orang tua. Meski banyak rewelnya, layani saja dengan sabar. Kalian dapat berkat itu.” Demikian peneguhan saya kepada para karyawati dan frater yang melayani Opa Kalix.

Adik-adik karyawati tidak pernah marah dan ngambek. Mereka tetap setia melayani opa. Mereka justru senang karena kerap mendapat camilan gratis seperti coklat dan biskuit.

Soal ini, saya sering berseloroh, ”Kamu itu kalau puji opa terus, pasti akan dapat banyak coklat ka.”

Jika ada hajatan besar di tingkat komunitas, Opa Kalix selalu ingin hadir dan turut terlibat di dalamnya. Untuk itu ia harus rela dipapah oleh para novis.

Beberapa hari sebelum saya berangkat ke Jakarta, Opa Kalix melakukan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit St. Rafael, Cancar. Sepulang dari rumah sakit, beliau memanggil saya ke kamarnya. Opa lalu menyampaikan bahwa dokter menganjurkan agar setiap pagi ia harus berjemur di bawah sinar matahari. Selain itu, harus ada orang yang membantunya menepuk-nepuk punggungnya.

Mendengar itu, saya lalu menyampaikannya kepada magister agar mengizinkan dan menugaskan dua orang novis untuk membantu Opa Kalix setiap pagi setelah sarapan pagi. Magister pun tak keberatan. Maka, ditugaskanlah dua orang novis untuk membantu Opa Kalix saban pagi, hingga sebelum ajal menjemput.

Coklat silverqueen

Opa Kalix di kalangan kami di Novisiat dikenal sebagai orang yang suka bermain kartu remi. Ia sanggup bermain hingga larut malam, terutama jika dia belum berkesempatan menang.

Agar Opa Kalix tak harus bertarung hingga mengorbankan waktu istirahatnya, kami terpaksa mengakali supaya beliau bisa menang. Kami tahu hanya kemenangan yang bisa menggerakannya kembali ke kamar untuk beristirahat.

Ada dua cerita lucu tentang Opa Kalix dan permainan kartu remi. Sekali waktu, pada jam rekreasi, Opa Kalix, Bruder Dede, Pater Okto Obe, dan Bruder Anton Kaba bermain remi bersama. Permainan sangat seru. Mereka tertawa dan saling mengolok. Yang kalah selain mendapat olokan juga harus menerima hukuman tambahan yakni merapihkan, mengacak, dan membagikan kartu kepada para peserta.

Saking senangnya, Okto Obe sampai kebagian coklat silverqueen dari beliau. Situasi kemudian berbanding terbalik. Opa Kalix sudah mulai kalah dan tersudut. Tak sampai di situ. Pater Okto pun tak lupa mencandai beliau. Suatu kesempatan Opa Kalix mendapat momentum bangkit. Ia pun menang. Seketika itu juga ia mengambil kembali silver queen yang belum lama berpindah tangan.

Ada cerita lain. Suatu ketika P. Sebas Hobahana, SVD (saat itu menjabat Magister NSSK) bermain remi bersama konfrater lainnya. Opa Kalix kebetulan lewat di situ dan hendak ke ruang minum untuk mengambil air panas.

Beliau lalu bertanya kepada Pater Sebas. “Sebas, engkau mau apel ka?”. Pater Sebas lalu menjawab, “Saya mau ka, Pater”.

Beliau lalu kembali ke kamarnya, mengambil apel dan memberikannya kepada Pater Sebas.

Terkadang muncul banyak hal tak terduga dari opa kelahiran Waibalun, Flores Timur, 17 April 1937.

Mendapat berkat

Saya merasa bersyukur bahkan merasa mendapat kehormatan ketika ia mempercayakan saya mengurus pembangunan jalan setapak menuju pekuburan Provinsi SVD Ruteng yang berada di salah satu sisi Novisiat, lalu mengurus makanan dan minumannya, hingga mengurus beberapa hal yang ia butuhkan.

Ia merasa diperhatikan oleh semua anggota komunitas kami. Bagiku yang terpenting dari pelayanan terhadap orang tua seperti Opa Kalix adalah berkat. Saya sangat beruntung sebab sebelum berangkat study, saya sempat meminta berkat darinya.

Hal terakhir yang dapat saya lakukan bagi Pater Kalix adalah saat menjadi penghubung antara beliau dan P. Budi Kleden, SVD (Superior Jenderal SVD).

Jumat lalu, 25 Februari 2022, ketika saya melakukan panggilan video (video call) dengan Opa Kalix yang tengah terbaring lemah, beliau berpesan agar saya menyampaikan salam darinya kepada Pater Budi.

Saya sangat yakin saat itu, jauh di lubuk hatinya, Opa Kalix mempunyai kerinduan untuk berbicara dengan Pater Budi. Maka saya pun menghubungi Pater Budi yang tengah menjalani “visitasi generalat” di Kenya.

Gayung bersambut. Kami pun melakukan telewhatsapp. Percakapan pun dimulai di antara keduanya. Setelah selesai berbicara dengan Opa Kalix, Pater Budi tak lupa mengucapkan terima kasih kepada kedua frater novis yang menemani P. Kalix di rumah sakit. Telepon pun kami matikan.

Setelah itu, saya kembali melakukan video call dengan Opa Kalix. Beliau mengucapkan terima kasih dengan senyum khasnya. Ada satu kalimat yang keluar dari mulutnya saat itu. “SAMPAI BERTEMU LAGI E”. Saya lalu membalas, “Ia Pater, saya pulang nanti dari sini kita bertemu lagi e.” Opa Kalix hanya tersenyum. Percakapan kami pun berakhir.

Awal Maret, tepatnya Rabu, 2 Maret 2022, setelah kuliah, saya menelepon dan melakukan panggilan video dengan Dolly, salah satu adik karyawati yang setia mendampingi Opa Kalix. Kami dua berbicara dan saya sempat melihat Opa Kalix merasa gelisah. Bahkan ia tidak ingin lagi diberikan infus. Sedih memang melihat kondisi beliau saat itu.

Ternyata Tuhan memiliki rencana tersendiri baginya. Tak berselang lama, Kamis, 4 Maret 2022, Pukul 09.30 pagi waktu Roma atau Pukul 16.30 WITA, Opa Kalix menghembuskan nafas terakhirnya disaksikan para novis yang menjaganya dan juga adik Dolly.

P. Kalixtus Suban Hadjon, SVD telah memenangkan banyak jiwa selama pengembaraannya di dunia ini. Menjalani kaul-kaul kebiaraan dengan tekun selama 62 tahun dan menjadi imam Tuhan yang setia selama 56 tahun.

Dalam iman yang satu dan sama, kita yakin bahwa ia pasti akan bertemu lagi dengan sang empunya kehidupan.

Riposa in Pace Opa Kalix. Doakan kami dari surga. E l’anima se ne va, verso l’eternita. Dan jiwa ke sana, menuju keabadian.

* Pernah menjadi Socius d Novisiat Kuwu, saat ini sedang tugas belajar d Roma, Italia.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing