Mengapa Harus Tonton Indonesia Masters 2018?

Wajah baru Istora Senayan, Jakarta setelah direnovasi/foto PBSI
Selama sepekan sejak Selasa, 23 Januari hingga Minggu, 28 Januari 2018 pencinta bulu tangkis tanah air disuguhkan tontonan menarik bertajuk Daihatsu Indonesia Masters 2018. Bukan hanya karena event ini berlangsung di tanah air yang membuat kita merasa perlu menyaksikannya. Melainkan ada banyak alasan yang membuat kesempatan ini sayang bila dilewatkan.

Berdasarkan format baru yang dirilis BWF tahun lalu, level turnamen ini naik dari Grand Prix Gold menjadi Super 500 atau level 2 grade 4. Dengan kata lain setingkat “super series” bila masih menggunakan penamaan sebelumnya. Dengan demikian para pemain top yang sebelumnya menahan diri di beberapa kejuaraan di awal tahun, hampir pasti turun gunung.  Para pemain terbaik Indonesia sudah pasti ambil bagian. 

Ganda terbaik sekaligus nomor satu dunia, Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon, berikut pasangan ganda campuran peraih emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir. Selain itu ganda putri Indonesia yang tengah naik daun, Greysia Polii dan Apriyani Rayahu. Selain pasangan berbeda generasi yang disebutkan terakhir itu masih banyak lagi para pemain Indonesia yang ambil bagian. Pastinya, Indonesia menurunkan semua amunisi terbaik.

Tidak hanya ingin meramaikan ajang tersebut, PBSI sepertinya tidak ingin melewatkan kesempatan yang ada di depan mata. Ini menjadi kesempatan bagi para pemain Indonesia untuk bersaing dengan para pemain terbaik dari berbagai negara. Jagoan-jagoan dari negara-negara lain seperti Viktor Axelsen (Denmark), Lin Dan (China), dan Carolina Marin (Spanyol)-untuk menyebut beberapa contoh akan ambil bagian.

Di samping itu para pelatih PBSI menjadikan kesempatan ini untuk melihat sejauh mana perkembangan dan prospek anak didiknya untuk diorbitkan di kejuaraan bergengsi selanjutnya. Dalam waktu dekat akan ada beberapa kejuaraan beregu atau ajang multievent yang tidak hanya membutuhkan kualitas individu atau pasangan tertentu tetapi juga sokongan dari pasangan atau pemain lain. Di ganda putri misalnya, pelatih utama, Eng Hian akan mengevaluasi performa dan memproyeksi kekuatan inti untuk Asian Games yang akan berlangsung dalam beberapa bulan ke depan.

Saat ini sektor ganda putri sudah memiliki andalan baru setelah “perceraian” Greysia Polii dan Nitya Krishinda Maheswari. Adalah pasangan beda usia yang melejit ke lingkaran 11 dunia, Greysia dan Apriyani yang menjadi kekuatan baru di sektor ini. Eng masih butuh tambahan amunisi. Siapakah dari antara Rizki Amelia Pradipta/Della Destiara Haris, Anggia Shitta Awanda/Ni Ketut Mahadewi Istarani dan Nitya Krishinda Maheswari/Yulfira Barkah yang bakal menopang Greysia dan Apriyani.
Kita pun tidak hanya ingin melihat bagaimana “The Minions”, julukan untuk Marcus dan Kevin mengawali kiprahnya di tahun 2018. Juga kita ingin menyaksikan jawara Malaysia Masters pekan lalu, Fajar Alfian/Rian Ardianto menjaga tren positif mereka. Bila mampu melewati hadangan Law Cheuk Him/Or Chin Chung di babak pertama keduanya berpeluang menantang unggulan dua asal China, Li Junhui dan Liu Yuchen atau pasangan Denmark, Kim Astrup/Anders Skaarup. Mampukah pasangan muda ini meyakinkan Herry IP dan tim pelatih bahwa mereka bisa memberi harapan sebagai senjata baru di ganda putra Indonesia?

Begitu juga di sektor lain. Para pemain tunggal putra Indonesia yang sempat menggebrak di turnamen level sejenis di Malaysia pekan sebelumnya akan kembali diuji. Srikanth Kidambi (India), Axelsen hingga Chen Long (China) akan menakar sejauh mana perkembangan skill dan ketahanan mental Jonatan Christie, Ihsan Maulana Mustofa, Anthony Ginting dan kawan-kawan.

Apalagi di nomor tunggal putri, sektor yang paling tertinggal di antara sektor lain. Hanna Ramadhini, Gregoria Mariska, Fitriani dan kolega mau tidak mau harus beradu dengan para pemain muda yang telah “mapan” atau bintan-bintang baru dari negara-negara lain.  Para unggulan sekelas Marin, Pusarla V. Sindhu (India), Tai Tzu Ying (Taiwan), Ratchanok Intanon (Thailand) hingga Sung Ji Hyun (Korsel) akan menguji sejauh mana para pemain putri Indonesia menunjukkan diri di hadapan publik sendiri. Berbicara peluang juara untuk sektor ini memang tak ubahnya pungguk merindukan bulan. Namun setidaknya pertemuan demi pertemuan menghadapi para pemain unggulan bakal mempertebal mental dan memacu semanat untuk mengejar ketertinggalan. Bukankah untuk menjadi juara harus melewati tantangan demi tantangan? Tidak ada gelar juara yang jatuh dari langit atau sang juara yang lahir secara instan bukan?

Wajah baru Istora

Selain level turnamen yang meningkat dan persaingan yang sengit, turnamen ini dihelat di tempat yang baru saja direnovasi. Istora Senayan, Jakarta, yang sebelumnya selalu menjadi venue andalan untuk turnamen berkelas di tanah air baru saja selesai bersolek. Pemugaran itu, yang sudah sepantasnya, dalam rangka persiapan ajang bergengsi dalam beberapa waktu ke depan seperti Indonesia Open Level 2- BWF World Tour Super 1000 pada Juli dan Asian Games sebulan berselang.
Seperti diikhtiarkan para pemangku kepentingan, perhelatan Indonesia Masters di tempat legendaris itu dalam rangka persiapan untuk kejuaraan yang lebih besar tersebut. Ia tak ubahnya “test event” meski tidak dalam arti sepenuhnya.

Setelah direnovasi Istora tampil dengan wajah yang lebih berseri dan berkelas. Bila sebelumnya kita kerap mendapati atap stadion bocor, kali ini fenomena tersebut dipastikan tak terjadi lagi. Selain itu Istora mengalami perbaikan mendasar terutama dalam tiga aspek utama. Selain “flooring” (karpet dan lantai dasar lapangan), “lighting” (pencahayaan lapangan) dan kondisi angin pun dipantau.

Sebagai stadion yang menjadi ikon bulu tangkis Indonesia dan juga mendapat tempat di hati para pebulutangkis kelas dunia, Istora kini hadir sebagai venue olahraga terkini. Pengaturan tempat duduk penonton telah dibuat menjadi lebih baik. Kita mendapati Istora saat ini dengan deretan “single seating” yang membuat para penonton bisa menyaksikan pertandingan dengan lebih nyaman.

Di samping itu pencahayaan stadion dengan kualitas terbaik. Penggunaan lampu LED tanpa “heating” membuat pemandangan menjadi lebih jelas dan hawa tak terasa panas. Para pemain akan merasa lebih nyaman karena lampu yang digunakan tidak membuat panas. Mengutip pernyataan Achmad Budiharto, Ketua Panitia Pelaksana Daihatsu Indonesia Masters 2018, kualitas pencahaan di Istora kali ini jauh lebih baik dibanding Indonesia Open Super Series Premier tahun lalu yang berlangsung di Jakarta Convention Center.

“Walaupun sudah 2000 lumens, tetapi tidak panas, akan membuat pemain lebih nyaman. Di JCC kemarin, kami pakai 1200 lumens tetapi pemain sudah merasa gerah, karena jenis lampunya berbeda. LED terangnya oke dan tidak panas,” ungkap Budiharto yang juga menjabat Sekjen PP PBSI kepada Djarumbadminton.com.


Peremajaan itu tidak hanya memanjakan para pemain tetapi juga penonton. Ini menjadi daya tarik lain yang membuat perhelatan Indonesia Masters kali ini layak ditonton. Bila memungkinkan sejauh dapat merapat ke Istora, melihat dari dekat para pemain terbaik berlaga di Istora yang tampil kekinian. Mengeluarkan kocek sebesar Rp 25 ribu (untuk kelas I pada babak kualifikasi), atau bila perlu Rp 300 ribu untuk kelas VIP (saat partai final) sepertinya tak ada artinya dengan sajian yang bakal dinikmati.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...