Gregoria Mariska dan Semburat Optimisme dari Yogyakarta
Gregoria Mariska. Gambar: www.badmintonindonesia.org |
Bahwa regenerasi bulu tangkis Indonesia kerap mendapat
kritik memang tak terhindarkan. Bicara prestasi olahraga tepok bulu Indonesia
poin kritis hampir selalu mengerucut pada kaderisasi. Lambannya peralihan antargenerasi
bahkan harapan serah terima tongkat estafet yang tak kunjung terwujud di
sektor-sektor tertentu hampir selalu terdengar.
Sisi lain yang kadang alpa dari pertimbangan adalah susahnya
mencetak prestasi, atau bahkan sekadar mendapatkan bibit unggul. Di tengah iklim
persaingan bulu tangkis yang kian merata dan mendunia kerja regenerasi tentu
jauh lebih berat. Beruntungnya, kita tidak pernah kehilangan harapan. Api optimisme
yang terus dijaga dengan takzim niscaya akan terang benderang pada waktunya.
Bila dalam empat tahun terakhir kita selalu menjadi penonton
munculnya para pemain muda berbakat dari negara lain di panggung BWF World
Junior Championship, tidak demikian tahun ini. Terlepas dari faktor tuan rumah,
kali ini, Indonesia langsung melesat bak
meteor yang menguasai podium-podium tertinggi di GOR Among Rogo, Yogyakarta.
Menyabet dua medali emas, dua medali perak dan satu medali
perunggu di nomor perorangan adalah prestasi luar biasa. Melebihi target PBSI
yang hanya mematok satu gelar juara, dan melampaui prestasi tahun lalu yang
ramai-ramai berguguran di semi final. Bisa jadi ini pelampiasan setelah tak
bisa berbuat banyak di nomor beregu yang berakhir di posisi kelima (tak sesuai
target memang), di belakang Korea Selatan dan Jepang, serta finalis dua musim
terakhir, Malaysia dan pemegang 12 gelar, China.
Mulai bergulir pada 1992 belum pernah Indonesia meraih
medali sebanyak ini. Prestasi terbaik yang pernah diukir, identik dalam hal
jumlah emas, hanya saat menjadi tuan rumah di edisi perdana itu. Saat itu
Kristin Junita (tunggal putri) dan Santoso/Kusno (ganda putra) bersaing dengan
dua juara dunia junior dari China dan satu dari Denmark.
Lepas 25 tahun kemudian Indonesia baru bisa melahirkan dua
juara dunia baru. Gregoria Mariska Tunjung, tunggal putri dan pasangan ganda
campuran Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari memberikan isyarat bahwa sudah
saatnya pemain muda Indonesia berbicara di panggung dunia.
Gregoria mengalahkan wakil China, Han Yue dalam pertarungan
ketat dan melelahkan selama tiga set, 21-13, 13-21 dan 24-22.
Saat menginjak
partai final dan tahu siapa lawan yang bakal dihadapi, peluang wanita 18 tahun
itu lebih besar bila mengacu pada rekor pertemuan. Di pertemuan pertama di
nomor beregu, dara kelahiran Wonogiri itu menang straight set, 21-17 dan 21-17.
Meski menang susah payah, Jorji, begitu wanita yang berulang tahun saban 11
Agustus dipanggil, menunjukkan kelebihan pengalaman atau jam terbang. Sebagaimana
kita tahu bersama Hanna Ramadini dan Fitriani ketiganya sudah terbiasa memikul
tanggung jawab besar di sektor tunggal putri tak lama setelah rantai regenerasi
tiba-tiba saja terputus dan mengharuskan mereka untuk tampil di level senior.
Sementara Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari memberi angin
segar di nomor ganda campuran bersama Rehan Naufal Kusharjanto/Siti Fadia Silva
Ramadhanti yang dikalahkan di partai puncak, 21-23, 21-15 dan 21-18. “All
Indonesian final” ini menjadi pertanda bahwa Indonesia tidak pernah kehabisan
stok di salah satu sektor, di samping ganda putra, yang selalu menjadi
penyelamat wajah kita di kancah internasional.
Kredit juga patut diberikan kepada Jauza Fadhila
Sugiarto/Ribka Sugiarto yang merebut medali perak. Sekalipun finish sebagai
runner up, keduanya telah berjuang sebaik-baiknya saat menghadapi sang juara
dari Korea Selatan, Ha Na Baek/Lee Yu Rim yang menang 18-21, 21-11 dan 21-3.
Jauza dan Ribka, juga Phita Mentari yang sekalipun kurang cemerlang di ganda
putri namun bermain enerjik dan cerdik di ganda campuran, menjadi harapan masa
depan.
Bila ketiga nomor mampu memberikan prestasi, tanda tanya
justru mengemuka di sektor tunggal putra. Setelah menjadi runner up tahun lalu,
Indonesia tak lagi menempatkan wakilnya di babak semi final, apalagi final,
baik itu Kejuaraan Asia Junior maupun Kejuaraan Dunia Junior. Di nomor ini
Thailand mengukir sejarah baru. Kinlavut Vitidsarn “pecah telur” di nomor tunggal
putra usai menang17-21, 21-15, 21-9 dari Leong JH asal Korea Selatan.
Di sini Thailand selangkah lebih maju dari Indonesia. Negeri
Gajah Putih itu sudah tiga kali meraih gelar tunggal putri meski dari Ratchanok
Inthanon seorang. Kini mereka punya harapan masa depan di tunggal putra.
Terlepas dari kekurangan di sana sini, setidaknya prestasi
yang diukir Jorji dan kawan-kawan memberikan angin segar bagi regenerasi bulu
tangkis Indonesia. Para pemain muda ini bermain penuh semangat meski tidak
sedang dalam kondisi prima karena dibayangi cedera dan kelelahan.
Kita memang sudah punya dasar untuk berharap seperti
Intanon, Nozomi Okuhara, Akane Yamaguchi, Viktor Axelsen, atau Chen Qingchen/ Jia
Yifan yang terus merawat prestasi sejak junior hingga kini di level senior. Terus
menyuntikkan kepercayaan diri, memoles skill dan merawat kebugaran, bukan
mustahil Jorji terutama, akan terus merangkak naik ke papan atas.
Namun sudah banyak yang memberi awasan bahwa juara dunia
junior bukan segalanya. Banyak nama yang sekadar menghiasi daftar juara di usia
muda karena layu tak lama berselang. Titian
menuju puncak karier memang masih panjang. Adalah tugas berat banyak pemangku
kepentingan mengkonversi semburat optimisme dari Yogyakarta itu menjadi
prestasi.
hasil WJC 2017/www.tournamentsoftware.com |
Comments
Post a Comment