Tiga Menguak Tiga Dara

 Gambar dari www.kompasiana.com/planetkenthir.

Berbicara tentang restorasi film Tiga Dara-film kedua setelah Lewat Djam Malam (beredar tahun 1954), karya begawan film Usmar Ismail, setidaknya ada tiga unsur penting yang perlu dikedepankan. Mengingat ini merupakan film lawas, maka urgensi film tersebut diangkat perlu dikuak. Setelah diangkat, restorasi sebagai proyek baru dan langka dalam dunia film tanah air-untuk mengatakan belum banyak terjadi-perlu diperbincangkan lebih jauh.

Tak ketinggalan tokoh-tokoh penting yang terlibat baik dalam pembutan hingga pemugaran kembali film klasik itu patut disebut. Dalam tulisan ini saya membicarakan ketiga hal tersebut secara lebih cair tanpa urutan kepentingan, mengingat semua unsur tersebut sama pentingnya.

Mengapa Tiga Dara?
Pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama mengikuti alur pertimbangan para pihak sebagai pengambil keputusan restorasi tersebut. Dalam hal ini adalah PT Render Digital Indonesia dan SA Films. Kemungkinan lain, dengan melihat relevansi film tersebut untuk konteks saat ini.

Dalam korespondensi melalui surel dengan Michael Ratnadwijanti dari pihak SA Films, saya mendapat sejumlah jawaban. Menurut Michael gagasan restorasi film tersebut sudah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum film film Usmar Ismail lainnya, Lewat Djam Malam direstorasi oleh pemerintah Singapura melalui National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation pada 2011-2012 lalu.

Adalah tuan Orlow Seunke, seorang warga Belanda yang sudah lama menetap di tanah air, yang secara aktif mencari dana untuk proyek restorasi itu. Pemerintah Belanda melalui melalui EYE Museum di Amsterdam mengutarakan kesediaan untuk menjadi sponsor utama. Namun, proyek tersebut terhenti tak lama berselang saat badai ekonomi menerpa Eropa pada 2011. Sementara reel film tersebut pun mendekam di museum tersebut.

Reel film tak bisa terus dibiarkan begitu saja mengingat terpaan vinegar syndrome (sindrom asam cuka yang sering terjadi di negara tropis) membuat kondisi fisiknya semakin terancam. Sementara dari pihak EYE Museum tak juga memberi kepastian tentang nasib proyek tersebut.

“SA Films melakukan pembicaraan dengan EYE Museum, Sinematek Indonesia, dan keluarga Usmar Ismail, untuk melihat kemungkinan mengambil alih proses restorasi,”tutur Michael.

Kesepakatan akhirnya dicapai, SA Films akan mengambil alih proses restorasi bila pihak EYE Museum tak jua berhasil memberikan kepastian terutama kepastian dana hingga akhir Desember 2012.

“Disamping itu, SA Films juga diminta untuk menjamin bahwa proses restorasi dapat berjalan dengan baik, termasuk masalah pendanaannya.”lanjutnya.

Akhirnya tiga bulan setelah tenggat waktu kesepakatan, tepatnya pada Maret 2013, SA Films pun mendapat amanah untuk menjalankan proses penting itu. Segala urusan administrafif pun dilengkapi mulai dari perjanjian kerja sama dengan keluarga Usmar Ismail, pengurusan pengembalian reel film ke Jakarta, penysunan rencana kerja restorasi, pendanaan, kegiatan restorasi hingga analisis awal di Jakarta pun dibereskan satu-satu.

Pihak SA Films memandang penting untuk merestorasi film tersebut. Di satu sisi sebagai bentuk penyelamatan terhadap aset penting dari sutradara legendaris Indonesia dan hasil campur tangan penata musik lintas negara Saiful Bahri. Di sisi lain terkait aktualitas film yang menguak banyak sisi, di antaranya terkait kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan.

Film yang sukses secara komersial di awal kemunculannya (diputar selama 8 minggu beruntun di seluruh Indonesia, hingga menembus bioskop kelas satu yang berafiliasi dengan asosiasi importir film Hollywood yakni AMPI-American Motion Picture Association of Indonesia dan dianggap sebagai sebagai film Perfini paling sukses dengan pemasukan Rp.10 juta) pun didaku sebagai pemenang Fesival Film Indonesia 1960 kategori Tata Musik Terbaik dan sempat berkompetisi di Festival Film Venesia 1969. 

Pesona film tersebut tak hanya menggoda Presiden Soekarno hingga memilih melakukan pemutaran pribadi untuk ulang tahun istrinya Hartini, juga merasuk hingga ke sendi-sendi kehidupan masyarakat dan perfilman saat itu. Film yang diputar pertama pada 24 Agustus 1957 di Capitol Theatre, Jakarta itu menjadi trend-setter film, gaya hidup dan musik pada masa tersebut.
Tiga dara, tiga wanita pemeran utama film Tiga Dara/cinemapoetica.com.

Pertanyaan, kok bisa ya? Seperti sudah disinggung, film tersebut adalah kreasi Usmar Ismail yang merupakan sosok penting dalam sejarah film tanah air. Meski film sudah masuk jauh sebelum Indonesia merdeka, sejak tahun 1900 yang ditandai dengan berdirinya bioskop pertama di Jalan Kebon Jahe, Tanah Abang, baru berkat Usmar Ismail film Indonesia mendapatkan bentuk.

Walau pengkultusan terhadap Usmar bisa menguburkan peran penting produser, sutradara dan tokoh penting lain pada masa itu, namun peran penting Usmar sungguh tak bisa diabaikan. Menurut Asrul Sani, seperti dikutip Totot Indrarto dalam bunga rampai Lewat Djam Malam Diselamatkan, “sejarah film Indonesia tidak bisa ditulis tanpa menulis sejarah hidup Usmar Ismail.”

Meski film tersebut lahir dari sentuhan Usmar dan sukses secara komersial dan berpengaruh di masyarakat, oleh sejumlah pengamat film tersebut dinilai melangkahi idealisme Usmar yang kritis terhadap realitas saat itu. Menurut Misbach Jusa Biran, sutradara film dan pelopor dokumentasi film Indonesia, dalam wawancara dengan Amalia Sekarjati dan dibukukan dalam Lewat Djam Malam Diselamatkan, disebutkan film tersebut dibuat semata-mata untuk kepentingan komersial.

Namun, keputusan tersebut diambil bukan tanpa pertimbangan. Krisis finansial yang terjadi sejak 1957 hingga 1960-an meruntuhkan industri film. “Banyak yang gulung tikar, pegawai keluar atau diberhentikan karena bangkrut. Studio diambil alih oleh bank dan pemerintah,”ungkap Jusa Biran yang meninggal pada 11 April 2012.
Usmar sendiri merasa malu dan mengaku tak pantas membuat film itu, namun pilihan membuat film hiburan yang segar dan lebih menghibur dianggap pas untuk mencari uang. Mengikuti trend film musikal Hollywood yang sedang populer saat itu-karena itu konon mengambil inspirasi dari film komedi musikal Hollywood yang diproduksi tahun 1936 berjudul Three Smart Girls-kelahiran Tiga Dara dianggap membantu. Dan benar-benar terbukti.
Usmar Ismail (paling kanan, bertopi dan berkacamata) dalam salah satu kesempatan pembuatan film/gambar dari www.sulindomedia.com.


Mengapa tak perlu malu?
Bila benar rasa malu Usmar membuncah saat itu, pertanyaannya, masih pantaskah film tersebut kita tonton lagi saat ini? Dengan kata lain, adakah nilai lebih yang melampaui rasa malu Usmar untuk dinikmati generasi sekarang?

Film ini dibuka dengan adega pesta ulang tahun. Usmar sengaja mengawali adegan tersebut untuk memperkenalkan tiga tokoh utama kakak-beradik yakni Nunung yang diperankan Chitra Dewi, Nana (Mieke Wijaya) serta artis pendatang baru saat itu Indriati Iskak yang mengambil peran sebagai Nenny.  

Ketiganya hidup bersama sang ayah bernama Sukardan- diperankan oleh Hassan Sanusi, serta sang nenek yang dimaikan oleh Fifi Young. Kehidupan mereka mulanya berjalan damai seperti tercermin dari pesta ulang tahun ke-29 Nunung, sang anak sulung.

Namun perayaan ulang tahun tersebut sekaligus menjadi titik awal persoalan. Kegelisahan Sang Nenek semakin bertambah melihat cucunya yang mendekati kepala tiga belum juga mendapat jodoh. Kegelisahan Nenek cukup beralasan. Sebagai anak tertua yang telah ditinggal pergi sang ibu, perlu segera mendapat pasangan hidup yang diharapkan turut menopang kehidupan keluarga. Di sisi lain, ada harapan tersendiri sang Nenek agar bisa mengambil bagian dalam perayaan kebahagiaan saat hari pernikahan tiba, sebelum ajal menjemputnya.

Tak hanya merengek, Nenek pun setengah mendesak Sukardan untuk mencarikan jodoh bagi anaknya. Nenek menawarkan cara, mengundang kolega dan rekan kerja Sukardan untuk bertandang ke rumah dalam tajuk acara makan-makan. Siapa tahu pada kesempatan itu ada yang jatuh hati pada Nunung.

Walau terealisasi,bahkan hingga dua kali acara makan digelar, hasilnya diluar harapan. Demikianpun cara lain menggunakan jasa si bungsu Nenny menemui kegagalan yang sama. Tak habis akal, Nenek meminta bantuan Nana.

Sebagai sosok modern yang digambarkan pandai bergaul, modis, dan rajin mengikuti pesta-pesta, Nana diharapkan merasuki sang kakak dengan virus-virus tersebut. Mengajak Nunung ke acara pesta diiniatkan untuk membuka ruang pergaulannya. Siapa tahu berujung jodoh. Dan cara tersebut cukup ampuh. Nunung berhasil diajak ke sebuah pesta.

Namun, Nunung mengalami pergolakan batin saat menghadiri pesta tersebut. Ia merasa terlalu tua untuk pesta seperti itu. Ia merasa diri sebagai seorang tante di antara anak belasan tahun. Ia pun meminta Herman (Bambang Irawan) mengantarnya pulang.

Tentu kita berharap saat itu ada secercah harapan, setidaknya mengawali babak baru dalam kisah hidup Nunung. Bukan Usmar namanya bila alur cerita sedemikian sederhana dan mudah ditebak. Alih-alih menyukai Nunung, Herman yang digambarkan sebagai sosok mahasiswa sederhana telah lebih dulu menaruh hati pada Nan. Walau Nana sendiri menolak mentah-mentah.

Konflik justru baru terjadi saat peristiwa berikutnya. Saat tengah menyebrang jalan, Nunung diserempet scooter yang dikemudikan Toto (diperankan oleh Rendra Karno). Nunung menunjukkan segala kedewasaannya dan disposisi dewasa, dengan tak mudah mengobral maaf, apalagi “disogok” oleh tawaran mengantarnya pulang.

Masalah tak sampai di situ. Diam-diam Toto membuntuti Nunung yang memilih naik becak. Saban hari Toto rajin menjenguk dan membawa bunga. Setiap kali dijenguk dan dibawakan kembang, Nunung tetap berkeras hati. Bergeming. Apakah kekrasan hati Nunung membuat Toto semakin jatuh hati pada Nunung?

Tak mudah menebaknya, karena kemudian yang terjadi justru cinta segi tiga. Dalam situasi seperti itu, Nanang masuk untuk mendekati Toto. Kisah cinta segita menjadi berlapis-lapis. Dengan kepiawaiannya, Usmar mengantar penonton dari suasana riang dan senang, dansa dan pesta, menuju konflik yang rumit. Hingga suatu hari Nana mengutarakan niatnya menikah dengan Toto.

Kisah ini jelas menggambarkan kualitas seorang Usmar. Dengan bumbu-bumbu Hollywood yang tercermin dalam gaya hidup Nana, juga munculnya sejumlah ornamen Barat, Usmar tetap tak kehilangan sikap kritis dan keberpihakannya pada masyarakat. Perhatian berlebihan dari sosok yang dianggap lebih tua, rasa takut pada stigma buruk “perawan tua” yang membungkus upaya perjodohan adalah sebagian dari praktik hidup masyarakat pada zaman itu.

Sayangnya, mengedepankan otoritas kultural dan ketakutan-ketakutan tak berdasarkan pada urusan asmara hingga urusan rumah tangga masih menjadi tema sosial budaya masyarakat Indonesia hingga saat ini. Pengaruh barat, yang sudah ada sejak zaman Usmar dan diangkatnya secara jelas, tak juga mampu mengubah pola hidup masyarakat kita secara signifikan, baik secara positif (dalam arti menyerap nilai-nilai baik seperti sikap kritis dan rasional), juga secara negatif yakni digiring masuk secara utuh dan bulat dalam gaya hidup bebas dan luwes baik itu dalam bergaul maupun berpakaian.

Selain itu, film ini secara tidak langsung mengantar kita untuk bernostalgia dengan Jakarta tempo doeloe. Menurut Produser Eksekutif SA Films, Alex Sihar, rumah besar keluarga Sukardan diidentifikasi berada di seberang jalan Sambas, Jakarta. Sihar memperkirakan bangunan rumah tersebut sudah berganti sebuah bank swasta di Jalan Melawai, yang menghadap arah Jalan Sambas. (Kompas, Minggu 14 Agustus 2016)
Bila saat ini kita ke tempat tersebut, maka yang kita temukan adalah apa yang menjadi potret Ibu Kota saat ini yakni kemacetan, kepadatan, kepengapan, yang menghadirkan kepenatan. Melihat film tersebut, kita seperti merindukan Jakarta masa lalu.
Misbah Yusa Biran, tokoh penting dan pelopor dokumentasi film Indonesia sekaligus pendidi Sinematek/gambar dari Moviespictures.org. Mengapa perlu restorasi?


Mengapa perlu restorasi?
Pertanyaan ini lebih diarahkan pada ihwal restorasi yang dengan sendirinya berkaitan dengan arsip dan dokumentasi. Tiga Dara yang dibungkus oleh kata restorasi sesungguhnya menjadi tema besar dan penting dalam dunia perfilman tanah air.

Pertama, restorasi adalah kerja berat dan melelahkan seperti dijelaskan Michael terhadap seluruh proses restorasi Tiga Dara. Secara teknis tahap pertama restorasi meliputi pemeriksaan fisik atas kopi asli film (seluloid, 35mm), permbersihan secara fisik, perbaikan, dan pemulihan yang masih mungkin dilakukan. Proses ini melibatkan ahli restorasi film dari Indonesia dan Italia, dengan memanfaatkan fasilitas dan teknologi restorasi fisik film terkini.

“Setelah proses pembersihan, perbaikan, dan pemulihan secara fisik tersebut, kopi asli film selanjutnya akan di-scan pada resolusi 2K dan 4K. Hasil scanning pada kedua resolusi tersebut selanjutnya akan melalui proses restorasi digital yang panjang, baik secara manual (frame-by-frame), maupun secara otomatis,”lanjutnya.
Tahap ini sepenuhnya  dikerjakan oleh ahli restorasi digital dari Indonesia (PT. Render Digital Indonesia), dengan supervisi dari beberapa orang insan perfilman Indonesia yang memiliki referensi teknis tentang film tersebut.
Tahap selanjutnya adalah restorasi suara. Tahap ini sangat penting mengingat film tersebut adalah drama musikal. Restorasinya untuk mendapatkan resolusi 2K dengan teknologi laser pada studio restorasi mutakhir yakni laboratorium Film L’immagine Ritrovata di Bologna dan teknologi steen-back manual pada studio PT. Render Digital Indonesia.

Menurut Alex, proses pembersihan dan fisik di Bologna dilakukan menggunakan mesin pembersihan ultrasonik dan kimia berkali-kali. Kondisi film yang cukup parah menuntut proses pembersihan secara manual dengan tangan reel per reel. Setelah jamur dibersihkan dan perforasi diperbaiki, frame yang robek atau pecah dirangkai kembali.

“Hasil scanning dari kedua studio tersebut, selanjutnya akan dikombinasikan, untuk mendapatkan hasil restorasi suara yang paling mendekati sempurna,”lanjutnya.

Proses panjang dan rumit itu, baik restorasi maupun digitalisasi memakan waktu sekitar enam bulan dan menelan dana tak sedikit yakni Rp3 miliar. Itupun sudah ditekan semaksimal mungkin dari kemungkinan Rp5miliar.
Proses pemeriksaan fisik film Tiga Dara di Laboratorium L'immagine Ritrovata/gambar dari Kompas/SA FILM/Yoki P Soufyan.

Kedua, dari restorasi Tiga Dara tercermin jelas seperti apa dokumentasi film di Indonesia. Dari laporan Arie Kartikasari, pengurus database untuk filmindonesia.or.id, hanya sekitar 14 persen dari kekayaan film nasional tersimpan, namun semua dalam keadaan memprihatinkan.

Kurang lebih senada dilaporkan Kompas, Kamis 18 Agustus 2016 di halaman 12. Sekitar 20 persen dari 1.500-an arsip film nasional yang dikoleksi Sinematek Indonesia dalam kondisi kritis. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi gudang penyimpanan yang jauh dari layak. Pendingin ruangan yang tak berjalan baik, ruangan yang bocor dan keterbatasan anggaran menyatu di sana.

Misbach Yusa Biran yang berjasa besar dalam dokumentasi hingga berdirinya Sinematek sudah jauh-jauh hari mengisyaratkan hal itu. Entah apa alasannya hingga kondisinya semakin memprihatinkan. Setelah Misbach meninggal, keprihatinan itu rasanya semakin tebal.

Situasi seperti ini tak hanya mengancam eksistensi aset sejarah yang ada di Sinematek, juga mengancam aset-aset lainnya yang kini banyak tersebar di sejumlah negara. Sejumlah sutradara dan produser lebih memilih menyimpan master film mereka di luar negeri karena lebih aman dan mendapat banyak fasilitas.
Proses restorasi Tiga Dara oleh PT Render Digital Indonesia di Jakarta/gambar dari Kompas/Lucky Pransiska.


Garin Nugroho berterus terang kepada Kompas (Jumat, 19 Agustus 2016, hal.11) bahwa hanya enam dari 18 master film yang dibuatnya disimpan di Sinematek. Selebihnya ia simpan di Library of Congress di Amerika Serikat, National Museum of Singapore dan selebihnya disimpan sendiri.

“Semua (master) film saya disimpan di Fukuoka, Jepang. Hanya beberapa film yang disimpan di Sinematek,”timpal Mira Lesmana, produser film kondang lainnya.

Situasi tersebut tentu sungguh disayangkan. Kita kehilangan begitu banyak karya seni budaya, dan karya kreatif, yang seyogyanya menjadi warisan, rujukan, modal intlektual serta dasar pengembangan budaya masa depan, yang tak ternilai harganya.

Lantas, sampai kapan situasi ini terus berlanjut? Sinematek membutuhkan perhatian. Dunia pengarsipan film kita perlu pembenahan. Jasa besar Yusa Biran sudah mewujud Sinematek dan dokumentasi yang sudah ada dan kini terancam keberadaannya, membutuhkan uluran tangan kita. Tak hanya insan film, pemerintah, swasta dan masyarakat luas pun perlu bergerak serentak.

Selama ini film masih menjadi dunia sepi, kerja segelintir orang dan hunian elitis yang dipandang sebelah mata. Film belum dianggap sebagai kerja budaya, kerja bersama untuk menimbun harta karun budaya yang bernilai tinggi.

Sesuai amanat UU Perfilman No.33 Tahun 2019, belum lama ini, pemerintah melalui Pusat Pengembangan Perfilman Nasional Kemendikbud telah menyusun Peraturan Mendikbud tentang Pengarsipan Perfilman. Namun seperti nasib kebanyakan regulasi di tanah air kita: tak berfaedah. Sehingga butuh keteladanan dan kerja nyata untuk membenahi sinematek, menata kembali arsip film, dan membangun industri film tanah air.

Restorasi Tiga Dara sekiranya menjadi momentum untuk kerja penting itu. Dan lebih dari itu, turut merestorasi sikap dan pandangan kita terhadap film sebagai aset berharga.

Jangan sampai kerja keras Usmar Ismail, Yusa Biran, dan para tokoh penting lainnya, hanya sampai di telinga dan hati segelintir orang. Bila seperti itu adanya maka betapa celakanya kita karena kita akan kehilangan masa lalu kita dalam rupa yang bergerak dan hidup dalam film itu. Sekali lagi, jangan sampai itu terjadi.
filmtigadara, lombanulis, planetkenthir"


Sumber buku:
Lintang Gitomartoyo, Toto Indrarto dkk. Lewat Djam Malam Diselamatkan. Sahabat Sinematek. Tanpa tahun.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 11/09/2016 dan menjadi juara satu lomba menulis bertema Restorasi Film Tiga Dara yang diselenggarakan oleh Planet Kenthir, salah satu komuniktas di Kompasiana.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing